xii. Love Letter (II)

3.4K 358 39
                                    

      Selama dua tahun duduk dibangku SMA, Renjun tidak pernah merasa sepatah hati ini. Tampak berlebihan, tetapi Renjun tidak bisa menyanggah. Perasaannya pada Jeno tidak seringan itu.

Dalam sejarah percintaan Renjun,—yang mana hanya berisi ia jatuh cinta pada seseorang dan berakhir dengan perasaan itu hilang entah kemana—ia tidak pernah barang sekalipun menyatakan cintanya. Tidak ada surat cinta yang dikirim diam-diam keloker, tidak ada.

Hanya pada Lee Jeno, Renjun melakukannya. Karena perasaan pemuda itu pada Jeno terlalu dalam, tidak seperti yang ia rasakan biasanya. Bahkan salah satu boneka Moomin di kamarnya ia beri nama Jeno.

Dan setelah kejadian kemarin dimana Jeno membantunya dengan seulas senyuman manis, Renjun tidak bisa untuk tidak berharap. Mau bagaimana lagi? Renjun merupakan seorang daydreamer, plus, sifatnya yang hopeless romantic itu membuatnya sering terbawa perasaan hanya dengan perhatian kecil.

Apalagi dari seorang Lee Jeno, yang amat dicintainya?

Memang memalukan, namun Renjun semalaman menghayalkan tentang Jeno, Jeno, dan Jeno. Ia membayangkan apabila Jeno ternyata menyukainya juga, mengajaknya berkencan ke Lotte World, kemudian makan malam bersama di sebuah restoran cepat saji.

Seragam olahraga yang Jeno pinjamkan buru-buru ia cuci—yang membuat ibunya bertanya-tanya mengapa anak bungsunya seketika menjadi rajin—dengan sabun yang banyak, dan ia keringkan dengan hati-hati.

Pagi tadi seragam itu telah kering, dan Renjun menyetrikanya hingga licin. Kini seragam itu telah berada di dalam ranselnya. Renjun membayangkan akan mengembalikan seragam itu pada Jeno, lalu mengakui tentang surat itu.

Tetapi nyatanya harapan itu hancur.

Siyeon, gadis manis itu telah resmi menjadi kekasih Lee Jeno. Siyeon tampak begitu bahagia, ia duduk di sebelah Jeno dan memeluk lengannya sambil mengoceh tentang hal-hal random.

Renjun hanya bisa mengubur kembali khayalannya. Bahkan ia tidak bisa menatap punggung Jeno terlalu lama. Pemuda itu takut air matanya akan meleleh.

Renjun menggoreskan pensilnya di atas buku sketsa. Entah sudah lembar keberapa yang ia gambari wajah Jeno. Pada saat seperti ini, Renjun bersyukur ia tidak memiliki teman sebangku. Karena Renjun bisa dengan bebas menggambar, lalu merenung, lalu menggambar lagi.

Tetapi tentu saja, pikirannya jadi terus berkubang dengan luka. Ia pun butuh seseorang untuk mengajaknya ngobrol, menghibur atau sekedar mengalihkan perhatiannya dari Lee Jeno.

Renjun memutuskan untuk menyudahi menggambar Jeno. Matanya semakin panas apabila diteruskan. Maka pemuda itu hanya merenung dan menyayangi guru yang tidak kunjung masuk, karena Siyeon jadi semakin leluasa berduaan dengan Jeno, dan Renjun harus melihat itu.

Oh, bahkan Siyeon sekarang mengusir Na Jaemin, teman karib Jeno. Renjun sedikit merasa geli melihat wajah Jaemin yang kesal, namun ia juga merasa iba kepadanya.

Jaemin bangkit dari kursinya dan... Oh, tidak. Dia kesini. Renjun tiba-tiba merasa gugup. Terus terang, ia ingin menjaga jarak dari Jaemin. Pemuda itu tahu satu rahasia besarnya.

Jaemin dengan santai duduk di sebelahnya dan tersenyum lebar. “Hai, Injun-ie!

“Ah...? Injun-ie?” Gumam Renjun.

“Boleh kan aku memanggilmu begitu?”

“T-tidak masalah...”

Jaemin tersenyum lagi. Kali ini senyumnya berbeda.

“Menyebalkan ya? Siyeon.”

Renjun menegang mendengar ucapan Jaemin. “Kenapa menyebalkan?”

a Big Book of NorenWhere stories live. Discover now