Bab 16

64 8 0
                                    

Ara berdebar menunggu Mika mendekat. Dia takut, kakaknya itu masih akan mengatainya seperti di dalam tadi.

"Ra, gue mau balik dulu. Lo masuk gih. Mami sendirian."

Mika berkata tanpa menoleh Risyad sama sekali. Dia sudah terbiasa melihat Ara bersama cowok lain. Pikirnya, Risyad hanyalah satu di antara lelaki pemuja adiknya itu.

Satu hal yang membuat Mika jauh di bawah adiknya adalah dalam hal sosial. Ara cepat sekali membaur, mudah dikenal dan mengenal orang lain, sementara dia cenderung tertutup. Dia tak terlalu suka orang asing.

"Ada temen gue, Kak," elak Ara pelan.

Mika hanya melirik sekilas. "Ajak masuk aja. Ntar kalo Mami bangun bisa ngomel kalau nggak ada yang nungguin."

Ara mengangguk tanpa kata.

"Tumben fans lo keliatan cowok baik-baik, biasanya ngaco semua!" Mika menyempatkan berkomentar dalam bahasa Jerman.

Kebiasaan mereka memang sering memakai bahasa yang campur aduk. Sesuka mereka untuk menyembunyikan apa yang mereka bicarakan. Mika bahkan jauh lebih fasih berbicara dalam bahasa Rusia dibanding adiknya.

Ara melirik Risyad sesaat sebelum tersenyum. Dia hanya memastikan lelaki di depannya itu tidak memahami yang Mika katakan.

"Dia bukan fans. Dia temen gue, Kak," balasnya juga dalam bahasa yang sama.

"Sama aja." Mika mencebik lirih, nyaris tak terdengar. "Udah ah, sana, masuk. Gue balik."

Ara hanya melambai saat kakaknya berpamitan. Matanya mengikuti hingga Mika berbelok di ujung coffeeshop.

"Pernah tinggal di Jerman?" tanya Risyad tiba-tiba.

"Tujuh tahun di sana." Ara seperti diingatkan sesuatu. "Kamu paham bahasa Jerman?"

Ada nada khawatir dalam suaranya. Tak enak rasanya kalau Risyad sampai tahu apa yang dikatakan Mika tadi. Untungnya Risyad menggeleng.

"Sebulan di sana tidak akan membuat saya memahami bahasa itu dengan baik." Lelaki itu tersenyum.

Ara membuat huruf o dengan bibirnya sebelum mengulas senyum.

"Aku harus kembali ke kamar Mami. Mas Risyad mau ikut, masih pengin di sini, atau--"

"Ada yang harus saya temui setelah ini. Mungkin nanti saya bisa mampir menengok ibumu. Kamar berapa?"

"VVIP 3. Aku lupa nama kamarnya." Ara menyesap tandas kopi di cangkirnya. "Maaf, aku duluan ya, Mas."

Risyad tersenyum. "Ok. Terima kasih untuk kopi hari ini."

Ara yang sudah berdiri balas tersenyum. Traktiran ini tidak sebanding dengan jamuan yang diberikan ibunya Risyad.

"Aku yang harusnya berterima kasih. Aku menerima jauuh lebih banyak dari semua ini."

Dia sudah nyaris melangkah saat Risyad memanggil lagi.

"Tidak melupakan sesuatu?" Senyum belum pupus dari bibir lelaki itu.

Kening Ara berkerut, mencoba mengingat apa yang dia lupakan. Tagihan semua di meja sudah dibayar. Apa lagi?

"Assalamualaikum warahmatullaah," ucap Risyad perlahan. "Semoga Allah selalu melindungimu."

Ara tertegun. Malu. Jengah. Haru. Matanya berkedip cepat untuk menahan kaca di matanya tetap bertahan.

"Waalaikumussalaam warahmatullaahi wabarakatuh." Ara mengucapkan persis seperti yang diajarkan Bu Hasna.

Badannya berbalik lalu melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Buliran air mata sudah menerobos keluar tanpa tertahan. Sapaan salam itu sudah hampir terlupakan, meski saat di Wonosobo, hampir setiap hari dia mengucapkan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Nov 20, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

NadamWhere stories live. Discover now