Serius putus?

1 0 0
                                    

"Kak buka pintunya."

Pintu kamar gue terus di ketuk sama mama, gue tetep kekeuh nggak mau buka.

"Bilangin dia suruh balik sekolah ma." Ujar gue rada teriak.

"Kak dia nggak mau, rey mau marah di bawah."

"Aku juga nggak mau ma please aku mau istirahat."

Gila aja selang beberapa menit telpon tadi gue matiin Rey ternyata langsung ke rumah, bolos sekolah. Nggak peduli juga, ah sial salah juga gue minta putus pas sekolah.

Akhirnya mama udah nggak gedor pintu lagi, terdengar suara langkah kaki turun ke bawah dan berbarengan dengan suara langkah kaki ke atas.

"Na, ini aku."

Gue membeku denger suara dia, dada gue mulai sesak. Mata gue memerah mau nangis tapi harus gue tahan—lagi.

"Na, tolong na. Na aku mau marah tapi nggak bisa, na bukain."

Gue semakin mencengkeram selimut di tubuh gue, gue bingung harus bagaimana. Gue nggak mau tambah terluka lagi setelah ini tapi gue nggak tega liat Rey begini.

Sebenernya kamu suka sama siapa sih rey?

Pernyataan itu terlintas di benak gue, apa iya selama ini gue cuma dijadiin pelampiasan sama dia? Ah gue nangis lagi.

"Na aku mohon."

"Ini." Terdengar suara mama samar samar di luar, terus setelah itu gue denger suara kunci dibuka dari luar.

Curang, mama ngasih kunci cadangan ke dia. Gue semakin tenggelemin badan di bawah selimut. Posisi badan gue nyamping membelakangi dia.

Rey masuk dan malah jongkok sejajar depan gue. Gue bisa liat bayangan dia dari balik selimut.

"Na, udah diminum obatnya?"

Gue masih diem, gue kira Rey bakal marah marah tadi.

"Na, aku cuma mau bilang..." Dia ganti posisi buat duduk, "Makasih udah mau nerima aku selama ini."

Gue gigit bibir bawah kuat kuat, gue nggak mau nangis dan ngebuat diri gue hancur di depan dia. Dan juga gue nggak mau denger dia mau ngomong apapun.

Kalo kamu mau ucapin ucapan perpisahan aku nggak butuh, batin gue.

Rasanya tenggorokan gue seperti disumbat sampe nggak bisa ngomong.

"Maaf kalo selama ini aku jadi beban buat kamu."

Nggak Rey nggak! kamu nggak pernah jadi beban buat aku.

"Maaf karena aku nggak pegang ponsel kita jadi nggak kayak pasangan yang lainnya."

"Maaf juga kalo aku nggak selalu ada buat kamu."

Nggak masalah Rey, kita memang punya kepentingan masing-masing. Kamu emang nggak selalu ada tiap hari tapi kamu selalu ada disaat aku butuh kamu.

"Aku jadi merasa bersalah banget suka sama kamu." Gue denger dia menghela.

"Makasih ya udah mau ngertiin aku."

Rey udah! Aku nggak kuat lagi, aku pingin meluk kamu.

"Na aku sayang kamu." Kata dia terus meluk gue dari luar selimut. Gue kaget, seperti main telepati sama dia.

Akhirnya tangis gue tumpah lagi, bukan isakan lagi yang terdengar tapi bener bener suara tangis gue yang keluar.

Rey buka selimut gue, "Maaf maaf maaf." Kata dia berulang ulang sambil nyiumin pucuk kepala gue.

Gue halau tangan dia, dan jauhin badan gue, "Pergi Rey pergi!" Hardik gue dengan suara parau.

"Na aku bisa jelasin."

"Jelasin apa? Jelasin kalo kamu emang jadiin aku pelampiasan?"

Rey terhenyak, "Siapa yang bilang gitu?"

"Bener kan?!" Timpal gue mulai berani, "Dari awal gue harusnya nggak perlu ngerespon lo, selain buang buang waktu gue juga udah buang buang perasaan yang sama sekali nggak layak buat lo dapetin."

"Gue seharusnya tau kalo mencintai itu kita bahagia atas apa yang dilakukan pasangan, tapi apa? Lo malah semakin bikin masalah yang ngebuat gue jadi banyak pikiran dan parahnya lagi ternyata lo itu lebih menjijikkan dari yang gue kira." Gue masih bicara lantang tanpa kendali, emosi gue udah nggak terbendung lagi.

"Suka berantem, emang lo pikir gue mau punya pacar model begituan? Suka ngerokok? Minum minum? Anjing! Demi apa gue kenapa bisa nerima lo."

"Gue harusnya tau kalo gue cuma dijadiin pelampiasan doang, jadinya gue cuma cukup kasih perhatian bukan kasih hati ke lo."

"Gue benci sama kenyataan kalo gue cinta sama lo, gue nggak bisa buat jauh dari lo, gue benci kalo liat lo sama cewek lain."

"Gue nggak seharusnya dapat ini semua, sakit tapi gimana lagi. Gue lebih kecewa karena lo udah bohong selama ini ke gue, bilangnya nugas, tapi ternyata kamu ketemuan sama si cewek jalang itu kan?!"

Setelah meluapkan emosi tadi gue langsung duduk lemas di atas kasur. Rey masih bungkam di tempatnya, gue bersihin sisa air mata di pipi. Gue ngerasa omongan gue ini berbanding terbalik dengan apa yang gue rasain.

"Na aku nggak tau kalo kamu semenderita itu gara gara aku."

"Aku nggak tau harus gimana sekarang, aku tau kenapa kamu bisa seperti ini. Aku udah bertekad mau pertahanin kamu, aku udah nggak ada perasaan lagi sama Zea dari sebelum aku ketemu kamu. Dia cuma masa lalu dari sikap kekanakan aku, sama dia aku nggak pernah ngerasain sensasi seperti aku bareng sama kamu."

"Aku serius sama kamu na, lebih dari itu aku nggak takut papa bakal gimana kalau tau aku lebih milih kamu. Waktu itu aku nggak langsung jawab papa karena aku nggak mau kamu liat papa marah dengan mata kepala kamu sendiri. Dan ya... Aku rasa kamu udah tau kalau seorang Rey punya kemauan pasti bakal dia perjuangin sampe dapet."

Jadi dia milih gue gitu? Bukan Zea?

"Tapi keputusanku mungkin berubah na, setelah denger omongan kamu tadi. Aku jadi ngerasa...ya bener aku ngerasa nggak layak buat dapetin kamu. Aku emang jadi beban di kehidupan kamu, jadi mungkin aku bakalan nyerah buat pertahanin kamu." Aku dongak buat natap matanya, syok ternyata hubungan gue sama dia bakal bener bener berakhir karena emosi gue tadi.

Padahal semua itu nggak bener, gue cuma kebawa emosi. Sehingga ngelantur mulu.

"Susah na, aku udah sayang banget ke kamu. Bahkan aku sering bicara sama mama bakal jadiin kamu sebagai menantunya. Tapi dengan tau penderitaan yang kamu pendam selama ini membuat aku terluka sendiri. Ternyata orang yang aku cintai malah aku buat menderita."

"Dan untuk ucapan kamu yang terakhir, iya bener aku bohong sama kamu. Karena ini masalah privasi, aku nggak bisa bilang apa apa ke kamu. Yang jelas aku sama dia udah nggak ada perasaan satu sama lain."

Cih, bangsat! Maksud lo apa privasi privasi? Hello, gue pacar—ups udah jadi mantan sih. Ya pantes aja gue jadi dianggap asing.

"Kamu bisa lakuin apa pun ke aku, pukul aku atau apapun itu yang bisa bikin penderitaan kamu hilang." Dia jongkok terus kepalanya nunduk.

"Penderitaan itu emang bisa ilang tapi tentu aja masih ada bekasnya. Sampai kapanpun lo nggak bakal bisa hilangin bekas itu."

Dia dongak, "Iya tapi setidaknya ada yang hilang dari penderitaan itu."

"Aku nggak terbiasa buat main fisik sama orang."

Rey bangkit terus duduk di depan gue, "Aku sayang sama kamu." Tiba tiba bicara gitu, "Makasih buat 9 bulannya, mungkin abis ini langsung lahiran."

Gue berdecak, masih aja bercanda di situasi begini.

"Jadi...kita putus?"

Gue ragu mau jawab, ya sebenarnya gue agak berat. Tapi gue lihat tatapan papa Rey ke gue itu kayak nggak suka. Ya mau gimana lagi kalo nggak putus. Meski gue tau Rey emang serius suka sama gue.

"Iya." Ujar gue lirih.

Abis denger itu Rey langsung keluar dari kamar gue tanpa ngomong apa apa.





HOMEWhere stories live. Discover now