Chapter 6: Terlunta-lunta

399 31 20
                                    

Keesokan harinya, Alecta dibuat kaget oleh pemilik toko yang menyiramkan air di wajahnya. Pemilik toko itu mengusir Alecta dengan makian dan hinaan yang sangat kasar. Ia juga menatap jijik seakan Alecta pembawa kesialan untuk tokonya.

“Pergi dari sini!”

Alecta buru-buru menyeret tasnya yang berat, dan pergi dari depan toko barang kebutuhan pokok itu. Tadi malam dia terpaksa tidur di depan toko itu karena nyala lampunya yang terang, dan dekat dengan jalan raya.

Alecta berjalan seperti tunawisma yang tak memiliki arah untuk pulang, ditambah badannya terasa demam karena hujan kemarin. Alecta memang masih terbilang warga baru di Kota Dennosam, baru tiga tahun menetap di kota ini. Itupun secara terpaksa.

Alecta terus berjalan hingga sampai di sebuah rumah yang sudah lama ditinggalkan. Beruntung Alecta mendatangi rumah itu di saat matahari sudah muncul, jika malam pastilah aura rumah itu sudah berbeda. Seperti di alam dunia lain.

Alecta memperhatikan anak tangga yang dilalui, banyak tanaman liar yang merambat. Ketika memasuki rumah itu, lantainya sangat kotor karena keramiknya yang sudah retak di makan akar-akar tumbuhan. Banyak jendela tanpa kaca, ada juga kaca yang sudah retak sampai pecah.

Di sudut rumah terdapat banyak sekali botol bir yang kondisinya kotor dan pecah. Kemungkinan ada seseorang yang pernah ada di tempat yang mengerikan ini, begitu pemikiran Alecta.

“Setidaknya tempat ini bisa digunakan untuk sementara waktu.” Alecta menyemangati dirinya sendiri.

Alecta berjalan menyusuri rumah tak berpenghuni itu, di bagian luar ada keran. Dia mencoba untuk memutar keran itu, dan air jernih keluar dari lubang kecil.

“Wah, bisa buat cuci muka.” Tanpa pikir panjang lagi, Alecta membasuh mukanya yang kusut dan cemong. Setelah itu dia menengadahkan tangan agar bisa menampung air keran itu lalu meminumnya.

“Segarnya.” Alecta masih memiliki sisa keberuntungan, setidaknya air yang dia minum aman, tidak berbau dan tidak berwarna. Prinsip sebuah air yang bisa diminum, kurang lebih seperti itu di pikirannya.

Alecta kembali ke dalam rumah tak berpenghuni itu. Dia membongkar tasnya yang super berat karena kehujanan. Hampir semua pakaian di dalam tas itu dalam keadaan basah. Dia harus mencari amplop cokelat yang diberikan Freya tiga hari yang lalu, saat diculik.

“Astaga!” Jerit Alecta, saat melihat amplop berserta isinya juga basah. Dia harus cepat menjemur kertas-kertas itu.

Alecta mulai menata kertas-kertas yang basah itu di dekat jendela yang terpapar sinar matahari.

“Bodoh!” Alecta memukul kepalanya sendiri menyadari sebuah kecerobohan yang amat sangat tidak bisa dimaafkan. Kemarin setelah diusir oleh Mami Gendut, Alecta memang masih berdiri di taman saat hujan membasahi langit Kota Dennosam. Dengan dungunya, dia berteriak mengikrarkan balas dendamnya kepada Freya, tanpa memerdulikan tasnya yang kebasahan.

Alecta baru menyesal sekarang. “Ternyata penyesalan selalu datang di akhir. Haciuhhh!” dia juga bersin dan sedikit beringus karena hujan semalam.

“Aku tak mau bermalam di tempat seperti ini.”  Aleta menggeleng sembari mencari-cari nomor telepon Freya di kertas-kertas kontrak yang dijemur itu.

Sejujurnya kondisi kertas-kertas kontrak itu sudah luntur di beberapa tempat. Sekali lagi semua ini karena kebodohan Alecta.

“Ketemu!” Akhirnya Alecta menemukan nomor telepon Freya. Beruntung kertas itu tidak terlalu basah. Dia merobek bagian nomor telepon Freya, lalu menyimpannya di saku kemeja yang dipakainya. Alecta akan menghubunginya ketika nanti ada orang yang berbaik hati meminjamkan ponselnya, sebab dia tidak punya ponsel, barang mewah yang ingin dia punyai sejak dulu.

Tiba-tiba suara perut Alecta terdengar nyaring. “Aku lupa makan kemarin. Sekarang aku lapar sekali.”

Alecta merogoh saku celana panjangnya dan menemukan ada selembar uang seratus ribu. Uang yang tersisa dari uang pesangonnya. Itu pun karena tiga debt collector yang memberikannya sebagai tanda belas kasih. “Cukup untuk makan dua kali.”

Tepat saat Alecta keluar dari rumah itu, dua ekor kecoak berjalan di sepatunya. Sontak dia menjerit dan melompat-lompat geli karena binatang itu. Kecoak jatuh dari badan Alecta, seketika Alecta langsung menginjaknya sampai gepeng.

“Yang satunya lagi mana?” Alecta masih mencoba meraba-raba dan menajamkan matanya menemukan binatang itu.

“Sepertinya yang satu udah kabur.” Alecta yakin, karena tidak menemukan si kecoak itu. “Oke, saatnya keluar.”

Alecta menuruni tangga rumah itu, lalu mencari rumah makan terdekat. Dia harus melewati jalan yang menurun. Untung saja Alecta pernah berkeliling di tempat ini beberapa bulan yang lalu untuk mencari pekerjaan sebelum diterima di pabrik saus.

Selama berjalan, Alecta merasa gelisah. Ada sesuatu yang seakan berjalan mengelilingi tubuhnya. beberapa kali dia harus mengecek sekeliling tubuhnya. Dia sangsi kalau satu kecoak itu sudah hilang. Alecta benar-benar yakin jika ada dua ekor kecoak yang mengerubunginya tadi.

Tangannya berhasil merasakan tubuh binatang yang menggelikan itu. Refleks Alecta menjerit lagi, hingga dia tak sadar ada mobil yang melaju cukup kencang.

“Aaaaakkk!” Alecta memejamkan mata, lalu menjerit hingga tubuhnya sedikit terdorong ke belakang. Dia baru membuka mata dan menyadari jika jarak wajahnya dengan ujung depan mobil sangat dekat. Jantungnya berdegup kencang, Alecta baru saja selamat dari kematian.

“Anda tidak apa-apa?” tanya seorang pria berjas hitam dan memakai sarung tangan warna putih. “Hei! Apakah Anda terluka?” tanyanya lagi.

Dipublikasikan, 21 Juli 2021
Novel ini bisa diakses di app GoodNovel

(Not) A Queen (21+) TAMATWhere stories live. Discover now