DUA

11.9K 997 70
                                    

Terkadang aku merasa heran dengan orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Maksudku, mereka tidak memiliki kepentingan apa pun tapi malah bersikap seolah-olah mereka akan rugi besar kalau cuma diam-diam saja. Bahkan hal sekecil apa pun nggak lepas dari komentar mereka.

"Mbak Kin, katanya sarjana, kok sekarang belum dapat kerjaan sih?"

Itu adalah pertanyaan yang selalu mereka gaungkan untukku. Tahu apa responsku? Cuma menarik dua sudut bibir sampai membentuk senyum simetris. Dipikir cari kerja itu semudah mengais sampah di tempat sampah kali, ya? Cari kerja zaman sekarang itu masih sesulit cari jerami ditumpukan jarum. Sudah susah, malah sakit kena tusuk pula, tapi mayoritas orang mah, mana peduli? Yang mereka pedulikan ya cuma kekurangan orang lain.

Ada lagi yang tanya begini, "Mbak Kin, Mbak Kin nggak nikah Mbak? Udah dua-dua harusnya udah nikah lho Mbak. Anak saya yang masih dua-satu aja udah punya anak, masa Mbak Kin enggak. Hati-hati Mbak, jadi perawan tua."

Dan responsku cuma bisa memutar bola mata. P*rsetan dengan kesopanan, pertanyaannya saja sudah terlalu lancang, menikah atau enggaknya itu kan urusanku, bukan urusan mereka. Aku tahu mereka cuma mau menyindir kesendirianku. Aku sendiri begini bukan berarti tidak laku, tapi karena memang masih ingin sendiri saja. Lagi pula, aku juga belum mau menikah, belum ada pandangan untuk melangkah ke jenjang yang seserius itu. Begini-begini aku juga pengin jadi orang sukses dulu, banggain Bapak-Umi meski cuma sebatas guru honorer nanti yang moga kelak bisa jadi guru PNS dan dapat gaji lumayan. Tapi, jangankan menjadi guru honorer, lamaranku di beberapa sekolah saja mendapat tolakan mentah-mentah. Alasannya, kemampuanku masih kurang. Aku sadar diri soal ini, IPK-ku saja pas-pasan. Salahku memang, masuk ke jurusan yang bukan minatku dan tidak sesuai dengan kemampuan otakku. Lagi, menikah itu tanggung jawabnya besar. Aku yang masih muda begini bisa jadi orang yang paling egois, padahal ada suami dan mungkin anak yang harus kupikirkan juga. Intinya, aku belum siap untuk menikah.

"KIN! KINARA, JANGAN NGEDEKEM DI KAMAR DOANG DONG! BANTU UMI SINI. BERES-BERES RUMAH!" Itu suara Umi yang sedang berteriak dari lantai bawah. Suaranya memang senyaring itu, aku sudah pernah bilang, kan?

"Bentar, Umi! Tanggung ini!"

"BANTU UMI CEPETAN!" Umi berteriak lagi. Aku lalu mem-pause layar HP-ku yang sedang menampilkan tutorial 'cara membobol wifi yang digembok'. Rencananya nanti kalau aku sudah paham betul ilmu-ilmu yang ada di tutorial itu, aku bakal membobol wifi Bapak. Kuotaku sudah sekarat, sementara kantongku sudah level tiarap, benar-benar mengenaskan. Tidak tertolong.

Tidak tahan dengan suara Umi yang menggelegar memenuhi rumah, bahkan bisa aku pastikan sampai ke rumah tetangga, aku dengan berat hati turun ke bawah. Kulihat Umi sedang mengepel lantai, lalu adik laki-lakiku yang cuma beda lima tahun dariku sedang menata ulang lemari dengan Bapak. Hari Minggu begini memang tugasnya beres-beres rumah. Bapak nggak ke kantor, Umi nggak ngajar, sementara Rajasa, adikku itu libur sekolah, kalau aku? Sejak nggak jadi mahasiswa lagi kerjaanku cuma gegoleran di kasur atau keliling komplek, main-main ke rumah Tsani kalau anak itu sudah pulang.

"Umi, jangan teriak-teriak dong, nggak malu apa sama tetangga?" ujarku sambil memanyunkan bibir.

Umi mendongak dan menatapku dengan tatapan tajamnya. "Ya kamu, udah besar masa nggak mau beres-beres rumah? Masa harus Umi ingetin berkali-kali? Masa harus Umi teriakin biar mau?" omel Umi lalu kembali sibuk dengan gagang pelnya.

"Kan aku tadi juga lagi usaha di kamar Mi," belaku.

"Halah, palingan cuma rebahan di kasur, Mi." Rajasa menyahut dengan tengilnya. Otomatis aku mendelik pada cowok tanggung berbadan kurus itu dengan sinis. Dia memang ada benarnya, tapi ada salahnya juga. Aku nggak cuma rebahan, tapi aku lagi usaha bobol wifi Bapak. Ingat itu.

Dear Mas Suami [TAMAT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora