Trauma

4 2 2
                                    

CRAAANGGG!!!! BRAAKKK!!!!
Suara dentuman gelas dengan tengkorak kepalaku. Pusing dan semakin lama semakin kabur lalu gelap.

Ciittt ciitttt ...
Suara roda besi yang beradu dengan lantai, dan suara berisik manusia yang sepertinya sedang mengobrol. Sedikit demi sedikit mataku mulai terbuka. Ku lihat plafon putih bersih, lalu tiang besi dan infus, kemudian selang yang mengarah ke kaki kanan depanku.
"Ini dimana? Benda apa ini? Kenapa ini tersambung ketubuhku?" Sambil mencoba memaksakan tubuhku untuk bangun.
"Hitam Manis jangan bangun dulu ya, kita keruang operasi dulu. Kamu harus segera di obati, yang kuat ya?!" Ucap wanita muda yang memakai pakaian serba putih.
"Hah? Operasi? Apa lagi itu? Apakah menyakitkan?"
"Mom, aku takut."

Waktu terus berjalan. 45 menit kemudian, Dokter dan para Asistennyapun keluar dari ruangan yang aku tempati, mereka terlihat puas dengan yang mereka lakukan.

"Gimana Dok ?" Terdengar sayup-sayup dari luar ruangan.
"Alhamdulillah lancar, tapi Hitam Manis mungkin butuh waktu lama untuk pulih. Berdo'a saja semoga Hitam Manis bisa kuat melawan rasa sakitnya." Ucap sang Dokter sambil membungkukkan tubuhnya.

Setelah itu Dokterpun pergi dan beberapa orang di sana yang sepertinya mengkhawatirkanku terisak, terdengar tangisan histeris dari mereka.
"Apa ini? Kenapa mereka menangis?"
"Perasaan aneh apa ini? Mereka mengkhawatirkanku?"
Rasa sakit yang ku rasakanpun seolah menghilang sedikit demi sedikit.
"Apa aku akan punya keluarga baru?"
"Tidak mungkin, bagaimana bisa nenek itu menerimaku. Ah aku ingat, nenek itu yang membuatku jadi seperti ini."

Dalam kebingungan akupun mendengar suara tangis seorang nenek.
"Bagaimana bisa aku melakukan hal seperti itu? Aku berdosa. Aku benci diriku!" Ucap sang nenek sambil menyeka air matanya yang terus keluar.

...
Seminggu kemudian, setelah aku pulang dari rawat inap, ku dapati sang Nenek menungguku di depan pintu rumah. Dia tersenyum menatapku, melambaikan tangannya dan mencoba meraih tubuhku, tapi aku takut. Aku takut dia melakukan hal buruk lagi kepadaku.
"Halo Hitam Manis, apa kabar? Wah udah sehat ya?" Sapa sang Nenek dengan ramah.
"Apa ini? Haruskah aku percaya?"
"Bagaimana bisa nenek ini begitu ramah padaku. Aku ingat betul dia yang melempar gelas itu."
"Sini nenek gendong." Ucap nenek sembari menyentuh kepalaku.
"Rrrrrrr...... Meooonggg." Teriakku pada sang nenek, tidak sudi tubuhku di sentuh olehnya.
"Maafkan nenek Hitam Manis, nenek akan merawatmu dengan baik." Sambil terisak dia mengatakan hal yang membuatku sedikit bertanya.
"Apa dia tulus? Apa dia hanya merasa bersalah? Atau hanya pura-pura supaya dia bisa mencelakaiku lagi? Aku tidak bisa percaya!"
"Rrrrrrrr........" Lagi-lagi ku tunjukkan taringku padanya.

Selang 2 hari setelah aku kembali. Nenek itupun tak pernah menyerah mendapatkan perhatianku. Dia selalu memberiku makanan enak, membuatkanku susu hangat, hingga membelikan mainan-mainan kecil untukku. Tapi aku tetap tidak percaya.
Hingga suatu hari nenek sakit, dia hanya terbaring di tempat tidurnya, beralaskan kasur empuk dan selimut.
"Ali, tolong ini kasih ke Hitam Manis, dia pasti belum makan. Karena nenek sedang sakit jadi kamu tolong Ibu ya!" Ucap wanita paruh baya yang dulu membawaku kerumah ini.
"Iya bu," jawab Ali singkat seraya berlari kearah sumber suara tersebut.
Tidak lama kemudian Ali datang.
"Empuuss mamam ya, nenek lagi sakit jadi nenek gak bisa kasih mam empus." Dengan suara lucunya dia meletakkan ikan rebus favoritku.
"Hah, nenek sakit? Apa karena tingkahku yang menyebalkan?"
Aku yang khawatirpun datang kekamar nenek setelah menghabiskan makananku tanpa sisa. Ku lihat dia terbaring lemah menutup matanya sambil terdengar suara lantunan ayat suci pada radio usang miliknya.
Ku dekati dia secara perlahan, ada rasa trauma saat aku melihat wajahnya. Tapi sekarang berbeda, wajah itu terlihat layu seperti bunga yang tak pernah tersentuh air hujan.

"Meong..." Ku coba bersuara untuk membangunkannya.
"Meoongg" Sekali lagi ku lakukan, tak ada balasan darinya.
"MEOONGGG!!" Ku Keraskan suaraku dan membuatnya tersentak.
"Ahh?!" Dengan terkejut nenekpun terbangun.
"Apakah dia marah?" Sambil berlari aku sembunyi di balik lemari.
"Hitam Manis, sini naik ketempat tidurku, tidurlah bersamaku." Ucap nenek dengan tersenyum.
Akupun beranikan diri melangkah perlahan naik ke tempat tidur, dan bersandar pada tubuh nenek. Nenekpun menceritakan bagaimana dia bisa sangat membenciku saat pertama kali melihatku. Dia bilang bahwa dia pernah memiliki kucing hitam yang sama persis sepertiku, dia bermain dan tinggal layaknya keluarga.
Hingga suatu hari kucing itu bermain ditaman tapi dia tidak pernah kembali. Nenek marah dan sedih, hingga membuat nenek tidak makan berhari-hari sampai dia sempat di rawat karena terus memikirkan kucing itu. Sejak saat itu nenek tidak mau pelihara kucing berwarna hitam. Alasan dia sampai berlaku kasar padaku, itu hanya karena rasa bersalahnya dan rasa benci pada dirinya sendiri.
Akupun mendengarkan dengan seksama hingga tertidur.
"Maafin nenek ya, nenek gak ada maksud menyakitimu."
"Mulai hari ini kita keluarga." Ucap nenek sambil memelukku dengan erat.
"Terima kasih nenek, aku akan jadi anak yang baik."

~Bersambung~

Bạn đã đọc hết các phần đã được đăng tải.

⏰ Cập nhật Lần cuối: Nov 30, 2020 ⏰

Thêm truyện này vào Thư viện của bạn để nhận thông báo chương mới!

Black CatNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ