BAB IV : Terlalu Rumit untuk Dimengerti

12 4 0
                                    

Langkah kaki yang berat memasuki ruang tunggu kepolisian. Sachi menghapus sisa air mata yang membekas di kedua pipinya. Meski sulit untuk tersenyum, Sachi tetap berusaha untuk menampilkan wajah yang ramah.

"Okaa-san, ada seseorang yang telah menemukan anak anda." Sachi mendongak menatap dua polisi dan seorang laki-laki bertubuh jangkung di sebelah mereka. Laki-laki itu mengambil tempat duduk di hadapan Sachi sembari menampilkan senyum yang menawan. Sepertinya laki-laki itu berumur sekitar 40 tahun sama sepertiku, tebak Sachi di dalam hatinya.

"Anak anda berada di rumah saya. Saya menemukannya pingsan di perjalanan menuju pasar." Penjelasan laki-laki itu membuat Sachi dapat bernapas legah. Seperti memenangkan lotre, wajah Sachi memancarkan cahaya.

"Saya ingin bertemu dengan anak saya," pinta Sachi yang dibalas dengan anggukan dari lawan bicaranya. Mereka bangkit dan tak lupa berterima kasih pada polisi, sebelum bersama-sama menuju tempat di mana Tsoa berada.

Sachi melirik laki-laki yang mengaku menyelamatkan anaknya itu. Dia tidak sepenuhnya percaya, tetapi naluri Ibu mengatakan bahwa orang tersebut tidak berbohong. Matanya memancarkan ketulusan dan kedamaian. Rahang yang kokoh itu menunjukkan kewibawaannya sebagai laki-laki yang bertanggung jawab.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Sachi yang merasa familiar dengan proposional wajahnya. Rambut hitam legam, sorot mata yang tajam, dan hidung seperti Gunung Fuji. Ah, seketika wajah Sachi berbinar seperti berhasil menarik sesuatu dari ruang penyimpanan memorinya.

Wajah itu, wajah yang sama dengan lukisan yang ada di kamar Tsoa. Sachi yakin seratus persen bahwa anaknya melukis wajah laki-laki itu meski pun dalam versi yang berbeda. Di lukisan milik Tsoa wajahnya terlihat lebih muda, tanpa kerutan dan bercahaya.

"Saya baru pindah seminggu yang lalu ke kota ini." Sachi menyatukan kedua alisnya saat mendengar jawaban yang tidak memuaskan itu. Dia yakin bahwa laki-laki ini sudah sering bertemu dengan anaknya. Kalau tidak dari mana sumber lukisan itu berasal? Apakah mereka sempat bertemu tetapi terpisahkan oleh jarak? Atau ada laki-laki lain yang memiliki wajah serupa dengannya.

"Oh begitu. Nama saya Sachi, anda?" tanya Sachi sembari mengulurkan tangannya.

"Takaoka." Telapak Sachi menghangat saat Takaoka membalas uluran tangannya. Senyumnya yang menawan seakan menghipnotisnya. Laki-laki ini terlalu berbahaya. Pesonanya sungguh memabukkan.

Dengan hati-hati Sachi menarik tangannya dan berusaha menetralkan kembali detak jantungnya. Umurnya memang sudah tidak muda lagi, tetapi hatinya masih mendambakan seorang laki-laki seperti Takaoka. Mengingatkannya pada kekasih yang tak ingin dia kenang itu. Ayah Tsoa, yang juga merupakan suami dari perempuan lain.

"Ini rumah saya, selamat datang." Takoka membuka gerbang rumahnya yang sederhana dan mempersilahkan Sachi untuk masuk. Tak berbeda dengan tempat tinggal Sachi, rumah Takoka juga berasal dari kayu yang kokoh. Di dalamnya terdapat dapur sederhana yang menyatu dengan ruang tamu.

"Anak Okaa-san ada di lantai 2, pintu sebelah kiri. Saya akan menyediakan air terlebih dahulu." Sachi mengangguk dan bergegas menuju tempat anaknya berada. Saat Sachi membuka pintu kayu di sebelah kiri, dia menemukan tubuh Tsoa berbaring dengan damai di atas Futon atau kasur lipat berwarna putih yang tebal.

Dia berjalan mendekati Tsoa dengan perlahan. Tentu saja dia tidak ingin merusak wajah damai itu dengan suara decitan kayu saat terinjak.

Sachi membelai lembut rambut coklat Tsoa yang mirip sekali dengan warna rambut ayahnya. Meskipun Tsoa sering kali mengingatkannya pada laki-laki berengsek itu, Sachi tidak pernah membenci Tsoa. Malah sebaliknya, Sachi menyayangi Tsoa segenap hatinya. Bagaimana bisa seorang Ibu mengabaikan anaknya yang secantik ini. Terlalu kejam cerita opera sabun di mana seorang Ibu tega menukar anaknya dengan pundi-pundi emas.

Sachi merasakan langkah kaki seseorang yang mendekat ke arahnya. Dia tidak perlu berbalik untuk memastikan siapa orang itu, karena sudah jelas jawabannya adalah Takaoka.

"Ini teh melati dan kue keringnya, silahkan dinikmati," ucap Takoka sembari menaruh nampan di samping Sachi. Wanita paruh baya itu tersenyum dan menikmati teh pemberian Takaoka. Seperti ada bunga yang mekar di dalam mulut Sachi, wangi teh melati itu memenuhi seluruh indera penciumannya. Perpaduan manis dan kehangatan yang pas membuat tubuh Sachi menjadi lebih rileks.

"Terima kasih, teh ini enak sekali," puji Sachi dengan wajah yang sumringah. Takoka yang ikut mengambil tempat di sebelah Sachi membalas pujian itu dengan senyum tipis. Dia memandangi wajah Tsoa dan seakan tak mau beralih darinya. Tak bisa dipungkiri wajah gadis itu sungguh menarik perhatian seluruh laki-laki di dunia ini. Matanya yang terpejam memancarkan aura kedamaian. Hati Takaoka tergelitik. Sudah lama dia tidak merasakan sensasi ini. Cinta yang seharusnya sudah mati, mengapa seperti berkobar kembali. Apakah ini hanya perasaan takjub semata akan kecantikannya?

"Hm, apakah wajah anak saya begitu menarik?" Takaoka tersentak kaget. Merasa tertangkap basah memperhatikan Tsoa, seketika wajah Takaoka memerah menahan malu. Namun, Takaoka berusaha mempertahankan gengsinya. Dia memasang wajah datar sembari menatap Sachi dengan tatapan bingung.

"Ta..kaoka, aku juga mencintaimu." Suara parau itu datang dari bibir seorang gadis yang sedang terpejam. Baik Takoka dan Sachi mereka sama-sama merasa terkejut.

"Hahh..., jangan. Jangan. Takaokaaa!!!" Suara teriakkan Tsoa menggema ke seisi ruangan. Teriakan itu seakan mengantar Takaoka ke 20 tahun silam. Tubuhnya seakan melayang bersama memori-memori terdahulu. Yuko berlari menghindari beberapa laki-laki bertato yang ingin menangkapnya. Kaki Takaoka bergetar. Suara gemuruh dari dalam hatinya menghantarkan arus listrik ke seluruh tubuhnya. Siapa sebenarnya Tsoa. Ada hubungan apa dirinya dengan Yuko.

"Takaoka?" Sachi berusaha menyadarkan Takoka dari lamunannya. Dia menguncang-guncang tubuh Takaoka yang terbujur kaku. Matanya tak lagi memancarkan cahaya. Seperti sebuah raga tanpa jiwa, begitu gelap dan mencekam.

"Takaoka, apakah kau baik-baik saja?" Sachi mulai panik. Sudah kehabisan akal akhirnya Sachi melayangkan pukulan ke wajah Takaoka. Suara gesekan kulit yang saling bertemu membuat orang yang terkena pukulan itu langsung tersadar dengan tubuhnya yang ikut terjungkal ke belakang.

"Aw...," gumam Takoka sembari mengusap pipi kanannya yang kini memerah. Sachi terlihat menyesal setelah menampar wajah yang mulus itu. Namun, dengan cara itu setidaknya Takoka berhasil dia sadarkan.

"Kau pasti ada hubungannya dengan Tsoa 'kan?" selidik Sachi sembari menatap tajam Takaoka yang masih pada posisi canggung. Tubuh Takoka separuh terlentang di atas lantai berkayu dengan sikut kiri yang menahan tubuhnya.

"Ah, saya benar-benar tidak mengenal anak anda. Kami baru saja bertemu kemarin malam." Lagi-lagi mata Takaoka memancarkan kejujuran. Sachi pun mulai goyah. Dia seperti dibawa terombang-ambing bersama rahasia dan fakta. Faktanya tentu saja Tsoa seharusnya mengenal Takaoka. Begitu banyak bukti yang menunjuk ke arah sana. Namun, Takaoka juga sepertinya tidak berbohong. Dari jarak umur mereka pun seharusnya Tsoa tidak pernah bertemu dengan Takaoka sebelumnya. Bagi Sachi hal ini terlalu rumit untuk dimengerti, tetapi sejak dulu pun dia tak pernah mengerti Tsoa.

"Kalau begitu tadi itu apa? Jelas sekali anak saya menyebut nama anda di dalam tidurnya." Nada Sachi mulai naik satu oktaf yang menandakan bahwa emosi telah mengambil alih tubuhnya. Perasaan campur aduk ini membuatnya merasa marah. Dia ingin mengetahui faktanya, tetapi tak ada yang ingin memberitahukannya. Sebenarnya ada apa? Apa yang sebenarnya Sachi telah lewatkan selama ini?

"Sa...saya juga tidak tahu," lirih Takaoka sembari memasang wajah bersalah. Perasaan ini bukan timbul untuk Tsoa, tetapi perasaan ini timbul untuk kekasihnya Yuko. Dia menyimpan perasaan bersalah hampir seumur hidupnya. Perasaan rumit yang bahkan tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata.

"Anda terlihat sangat tertekan. Saya tidak tahu apa permasalahannya, tetapi saya akan menanyakannya pada Tsoa setelah dia terbangun. Saya harap anda telah berkata jujur," ucap Sachi sembari membelai lembut wajah Tsoa.

Tak ada satu pun yang mau kembali membuka percakapan. Mereka sama-sama meratapi isi pikirannya masing-masing. Takaoka sudah beralih dimensi. Pikirannya dipenuhi oleh wajah Yuko dan Tsoa. Dua orang yang berbeda, tetapi dapat membuatnya merasakan yang sama. Raga yang berbeda, tetapi dapat menggerakan hatinya dengan cara yang sama. Senyum mereka berbeda, tetapi memancarkan aura yang sama. Kalau orang yang sudah mati dapat terlahir kembali, mungkin hal ini tidak mustahil untuk terjadi. Namun, sayangnya Takaoka tak pernah percaya pada takhayul seperti itu. Logikanya terlalu realistis untuk menangkap hal yang mistis.

Keajaiban di Kota Magome [END]Where stories live. Discover now