8-Jajjangmyeon

64 10 8
                                    

Seokjin berdiri bersidekap di ambang pintu. Matanya dari bawah topi menatap ke arah punggung gadis yang tertutupi oleh surai cokelat membelakanginya menghadap ke arah piano di tengah-tengah ruangan. Sesekali berdecak kagum dalam hati, bagaimanapun permainan gadis itu tampak sempurna dimatanya, terdengar indah melodi yang menelisik melalui telinganya. 

Begitu nada terakhir diselesaikan, Seokjin lantas menurunkan masker yang menutupi separuh wajahnya. "Aku belum pernah dengar lagu ini sebelumnya."

Gadis itu sontak tersentak dan langsung berbalik. Arin mengerjap, mendapati Seokjin yang masih berdiri di ambang pintu. Membuatnya buru-buru berdiri menghampiri lelaki tersebut. Seokjin pun nampak heran melihat Arin dengan raut wajah kaget tatkala melihatnya.

Menarik lengan mantel Seokjin dan menyeret lelaki itu masuk ke dalam ruangan, buru-buru Arin menutup rapat pintu di belakang Seokjin tersebut. Ia menelan saliva, kembali berdiri berhadapan dengan Seokjin. Sedikit menengadah, mencoba menatap Seokjin yang lebih tinggi darinya tanpa memudarkan ekspresi kagetnya. "Kok ada disini?" katanya tiba-tiba, "kalau ada yang mengikutin bagaimana?"

Melihat ekspresi cemas Arin yang tak biasa membuat Seokjin tertawa geli. Lelaki itu lantas menggeleng pelan. "Tidak, aman kok," katanya, "guru piano ku juga salah satu mentor disini, jadi aku mengunjunginya sebagai murid yang baik eh ternyata seorang Kim Arin juga memilih berlatih di tempat ini."

"Serius, nih?" Arin menaikkan sebelah alisnya. "Guru piano Kim Seokjin berasal dari tempat latihanku?"

Seokjin kembali tertawa. Kim Arin benar-benar lucu. Lelaki itu belum lama berlatih dengan guru disini, hanya sekedar mengisi waktu luang. Baru tahu ternyata Kim Arin berada disini. 

Hendak merespon, Seokjin ikut menaikkan sebelah alisnya. "Serius, nih? Seorang pianis hebat seperti Kim Arin masih membutuhkan mentor?"

Mendengar perkataan Seokjin yang menurutnya terkesan berlebihan, membuat Arin kemudian melengos dan menatap malas. "Ayolah, jangan menggunakan kata berlebihan begitu," keluhnya, "kau ini membuatku jadi tidak percaya diri."

Arin tidak begitu suka jika ada orang lain yang menyebutnya seperti itu. Akan langsung membuatnya kepikiran. Sebab rasanya, predikat seorang pianis hebat benar-benar tidak pantas untuk disandangnya kendati semua orang pun tahu bagaimana menariknya seorang Kim Arin ketika berhadapan dengan sebuah piano dan memainkan sebuah nada bertemankan seutas partitur dan page turner di sisinya. Terkadang pun ia mampu main tanpa partitur sekalipun.

"Baiklah, baiklah, aku tidak akan membebanimu." Seokjin seolah mengerti isi kepala Arin. Mereka berdua berada di industri yang sama walaupun dalam konteks berbeda, tentu Seokjin bisa mengerti dan paham betul tentang yang dirasakan Arin barusan walau tidak dijelaskan. Lelaki itu kembali memusatkan atensi. "Kau sudah makan malam?"

Arin menggeleng pelan merespon pertanyaan Seokjin yang tiba-tiba.

"Kalau begitu, ayo denganku saja," kata Seokjin lagi, "kau tidak sedang diet, kan? Aku traktir, deh."

Gadis itu terdiam, menatap tanpa arti mendengarkan tawaran Seokjin yang lebih tiba-tiba lagi, lantas ia menghela pelan. "Serius, nih? Orang sibuk ini mengajakku makan malam diluar?"

***

"Apa aku betulan boleh kesini?" Arin mengedarkan pandangan ke seisi ruangan dari salah satu gedung agensi yang menaungi Seokjin.

"Tentu saja boleh." Lelaki itu meletakkan plastik putih yang dibawanya ke atas meja sebelum melepaskan mantelnya dan menyampirkan benda itu pada sofa biru di belakang mereka. "Duduklah," katanya pada Arin yang masih memperhatikan seisi ruangan.

"Ah, iya." Mata Arin masih menelisik seisi ruangan dimana terdapat sofa dan kursi disana, juga beberapa komputer di sisi lain ruangan. Sebelum kemudian gadis itu mengikuti Seokjin untuk mendaratkan diri di atas sofa. "Aku kira betulan mau mengajakku makan malam diluar," katanya sembari melepaskan mantel yang ia kenakan. "Ternyata memilih tempat yang lebih aman."

"Sangat tiba-tiba." Seokjin tertawa kecil menanggapi. Tangannya bergerak mengeluarkan beberapa makanan yang sempat ia beli —ah tidak, Kim Arin yang turun membeli mereka semua tadi. Mana mungkin gadis itu membiarkan Kim Seokjin ikut turun.

Arin lantas meraih kaleng soda yang baru saja dikeluarkan oleh Seokjin. "Apa kau betulan tidak sibuk?" tanyanya sembari mencoba membuka kaleng soda di tangannya tersebut.

"Sekarang tidak," jawabnya. Melihat Arin yang sepertinya kesusahan untuk membuka kaleng tersebut, membuat Seokjin kembali tertawa kecil dan meraih kalemg itu dari tangan Arin begitu saja untuk membukanya. "Kau pianis, jarimu tidak perlu terlalu dipaksakan. Nanti terluka," katanya lagi sembari menyodorkan kaleng itu pada Arin.

Beberapa kali sudah Arin mendengar kata-kata yang menurutnya terlalu berlebihan dari mulut Seokjin. Padahal, membuka kaleng tidak akan membuat jarinya lepas kendati ia memang selalu kesulitan dalam hal membuka kaleng minuman.

Arin kemudian meraih kaleng soda tersebut dari Seokjin sembari tertawa kecil. "Terluka karena kaleng tidak akan membuatku berhenti bermain piano, Kim Seokjin."

"Haha, kau benar." Seokjin melontarkan tawa khasnya secara singkat. Sebelum tangannya beralih membuka bungkus jajjangmyeon dari atas meja. "Kau tahu? Jungkook sangat nenyukaimu rupanya." Lelaki itu kembali berujar sembari meraih sumpit dan mengaduk sebentar jajjangmyeon itu sebelum memberikannya kepada Arin.

Arin meraihnya. "Itu terbalik, harusnya aku yang menjadi penggemarnya."

Mendengar perkataan Arin lagi-lagi membuat tawa Seokjin terdengar. Lelaki itu bergerak membuka bungkus jajjangmyeon yang satu lagi untuk dirinya. "Daripada jadi penggemar Jungkook, lebih baik kau jadi penggemarku saja."

Tangan Arin yang sedari tadi mengaduk-aduk  jajjangmyeonnya dengan sumpit lantas terhenti. Pandangannya terangkat, menatap lelaki di hadapannya dengan kedua alis yang tertaut tidak mengerti. Namun, sesaat kemudian dia mengangguk paham. "Harusnya aku mengatakan kalau lebih baik aku menjadi penggemar grup kalian saja."

"Kemana saja kau selama ini?" Seokjin menyahut dengan kekehannya sebelum akhirnya melanjutkan. "Sampai-sampai kau belum juga menjadi ARMY sampai sekarang."

"Yah... Aku kan... " Perkataan Arin terhenti, tatkala ia menyingkap rambut namun tangannya terhenti pada bagian belakang kepalanya. Ia meletakkan jajjangmyeonnya ke atas meja dan melirik tangan kirinya yang masih di kepala. "Yah, gelangku tersangkut."

Seokjin yang melihat itu langsung meletakkan makanannya ke atas meja dan menggeser duduknya mendekat kepada Arin. "Sini." Tangannya bergerak ke pergelangan tangan kiri Arin dimana gelang-gelangnya memang tersangkut pada ikat rambut yang mengikat separuh rambutnya. "Tidakkah tanganmu berat dengan gelang rantai segini banyak."

Tak menjawab, Arin melirik wajah Seokjin dari samping dengan ekor matanya. Arin meneguk saliva. Nafas Seokjin yang terasa pada telinga kirinya seketika membuat debaran dalam dadanya. "Kau ini tampan sekali."

Seokjin yang menggenggam pergelangan Arin, hendak menarik tangan gadis itu seusai melepaskan kaitan gelangnya menghentikan langkah. Terdiam seketika. Ia mengalihkan pandangan kepada wajah Arin yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya.

"Apa harus sedekat ini baru kau menyadari?" suara Seokjin yang pelan menelisik. Lagi-lagi membuat Arin menelan saliva gugup.

Suara pintu terbuka yang tiba-tiba terdengar mengalihkan perhatian mereka. Keduanya menoleh, masih dengan posisi dan posisi tangan Seokjin yang menggenggam lengan Arin tidak berubah.

Disana, Taehyung terpaku memandangi keduanya. Memandangi Arin dan Seokjin bergantian. "Uh-oh, maaf. Silahkan lanjutkan." Lelaki itu berucap cepat dan kembali menutup pintu ruangan dengan rapat.

Seokjin mengerjap, buru-buru ia melepaskan tangannya dari Arin dan menggeser duduknya.

Gadis itu lagi-lagi menelan saliva, menarik tangannya sembari menggigit bibir bawah. Astaga, ini mendebarkan dalam batinnya. Ia menarik napas sejenak. "Ayo, lanjut makan," katanya mengalihkan, "aku jadi makin lapar."

.
.
.
tbc







Crystal Story ✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang