Part 3

597 89 6
                                    

Angin malam berhembus menerpa helai rambutnya, matanya tak lepas dari partitur yang terdiri dari not not balok yang sedang dipelajarinya. Tangannya dengan lihai memainkan busur dan menggesekannya pada senar biola.

"Lio, ayo makan dulu nak."

Suara teriakan dari seorang wanita berhasil menghentikan kegiatannya. Lio mengakhiri permainannya, membereskan violinnya. Pemuda itu segera turun dari kamarnya menuju tempat makan.

"Malam bunda." Sapa Lio pada wanita yang dipanggilnya bunda.

"Malam sayang, gimana sekolah barunya? Maaf karena kerjaan bunda, kamu jadi harus pindah sekolah." Ada penyesalan mendalam di mata Yuna.

"Gak apa-apa bunda, Lio seneng kok sama sekolah barunya." Kata Lio jujur, hari pertama di sekolah barunya terasa sangat nyaman, meski sangat tanggung karena dia masuk setelah ujian dan sebentar lagi libur. Ia senang, saat mendapatkan teman baru.

"Dada kamu gimana? Masih sering sesak?"

"Kadang sesak bun, tapi udah mendingan kok."

Entah kenapa Lio sering merasa sakit di beberapa bagian tubuhnya, padahal saat diperiksa tidak ada masalah dalam tubuhnya.

"Besok ke rumah sakit aja yuk."

Lio menggeleng cepat.

"Ga usah bunda, nanti juga sembuh sendiri bun."

Yuna tersenyum, mengusap pipi yang terasa tirus itu. "Jangan sakit, jangan tinggalin bunda."

Lio menggenggam tangan wanita yang masih terlihat muda, lalu membawanya ke dalam dekapannya.

"Gue selalu berharap takdir segera mempertemukan kita dan bisa kembali bersama, gue kangen banget sama lo."

☆☆☆

"Mau pulang." Rengekan lemah itu terus terdengar di ruangan VVIP, meski ruangan itu telah disulap menjadi seperti kamarnya di rumah. Ia tak nyaman, Leo selalu merasa sedang sekarat jika berada disana.

"Leo kan baru siuman, nak. Tunggu beberapa hari ya sampai dokter ngizinin"

Mario menggenggam tangan Leo yang terbebas dari infus, lalu menciuminya. Berusaha memberi kekuatan pada bungsunya itu.

Semalam kondisi Leo kembali drop setelah menjalani operasi tulang rusuknya, sempat membuat Mario dan para dokter khawatir, mereka takut Leo mengalami komplikasi, tapi syukurnya tidak.

Mario tak tega sebenarnya, namun melihat wajah anak bungsunya yang kuyu dan pucat, bahkan tangan anak yang hampir berusia 17 tahun itu masih di ikat dengan restrain, agar tak bergerak banyak dan mengganggu proses recovery.

Anak muda itu mendengus kesal, ia tidak bisa menggerakan tubuhnya. Leo merasa tidak nyaman ketika alat-alat medis menempeli tubuhnya, mendengar suara monitor detak jantungnya yang berada disamping brankarnya membuatnya semakin gila.

Raganya memang tidak pernah merasakan sakit, namun ia selalu merasa jiwanya tertekan saat berada di ruangan itu.

Mario mengusap rambut Leo yang membuatnya mengantuk namun berusaha agar ia tak jatuh tertidur lagi. Obat-obatan yang masuk ke dalam tubuhnya membuat dirinya mudah sekali tertidur.

"Kangen bunda." Lirih Leo dengan matanya yang mulai memejam. Mario terkesiap, meski putranya masih menggunakan alat bantu nafas, namun ia masih dapat mendengar gumaman itu.

Pria yang baru memasuki kepala 4 itu memandang sendu wajah putra bungsunya. Ia menyesali setiap perbuatan yang dilakukan kepada mantan istrinya. Mario masih sangat mencintainya, dia selalu mengirim orang-orang kepercayaannya untuk mendapatkan kabar sang mantan istri dan anak sulungnya. Mario sungguh merindukannya.

Another SkyМесто, где живут истории. Откройте их для себя