Cerita Yang Lain

30 3 0
                                    

"Lihat. Sudah jam berapa ini? Mau sampai kapan dia tidur? Bagaimana badanku tidak tipis begini kalau seharian ditiduri terus!" keluh Kasur. Di atas tubuh si Kasur, ada manusia yang tengah tidur dengan damainya.

Kipas butut yang menyala pun sejak tadi protes dengan suara bisingnya. Ketek ketek ketek, begitu bunyinya tiap kali lehernya berputar berganti arah.

"Aku juga sudah lelah! Leherku mau patah rasanya bergerak terus. Ketek. Dasar manusia pemalas! Kerjanya cuma tidur saja. Ketek"

"Benar, tuh!" sahut Piring di atas meja. "Kalau gak tidur, kerjanya cuma makan saja!"

Hari sudah senja saat itu, dan seiring mentari tenggelam, para benda di dalam rumah itu terus protes. Menghujat manusia yang berada dalam rumah itu.

Hujan yang awalnya turun rintik-rintik di luar perlahan mulai deras. Sendal dan Jepit duduk termenung di atas tanah. Rupa mereka sudah jelek. Sendal bagian ujung kepalanya sompek. Sisi pinggir Jepit sudah mengelupas. Bagian bawah keduanya pun telah menipis.

"Dia belum keluar juga, ya," kata Sendal. Tubuhnya sudah basah kuyup dan sedikit terkena lumpur yang memercik.

Jepit menghela napas untuk ke sekian kalinya. "Sabar, Sendal. Mungkin dia kelelahan. Lagi pula, sekarang hujan. Aku, sih, tidak masalah kena hujan, tapi aku takut kamu kedinginan."

Sendal mencibir ucapan Jepit. "Itu kalimat untuk Sepatu, bukan sandal macam kita! Tapi apa kamu tidak khawatir? Hari sudah mulai malam, aku takut dia terlambat."

"Kalau dia terlambat, kita hanya perlu menemaninya berlari mengejar waktu," balas Jepit.

"Itu, sih, sudah pasti."

Jepit melirik Sendal yang masih memasang wajah murung. "Dia bekerja dari malam hingga pagi, pasti saat pulang siangnya dia lelah."

"Benar, dia bekerja sangat keras. Tapi aku sering dengar Kasur, Kipas dan Piring bilang dia pemalas. Mereka bilang kerjanya hanya makan dan tidur saja di dalam rumah. Apa mereka tak tahu betapa lelahnya dia di luar?!"

Jepit tersenyum maklum melihat Sendal yang marah. "Pertanyaanmu sudah kau jawab sendiri. Mereka tidak tahu. Mereka hanya menyimpulkan berdasarkan apa yang mereka lihat sendiri."

"Kalau tidak tahu kenapa tak mencari tahu?"

"Untuk apa mereka tahu? Toh, dia tak melakukannya untuk mereka."

Sendal terdiam. Jepit pun diam. Malam berlalu, yang ditunggu Sendal dan Jepit tak juga datang. Dia yang dikeluhkan Kasur, Kipas dan Piring tak juga pergi.

Waktu pun berlalu. Mereka baru tahu kalau sang manusia mengembuskan napas terakhirnya senja itu.

"Saya kaget waktu tahu dia meninggal. Tiba-tiba banget, ya?" ujar seorang wanita berambut keriting di depan sebuah rumah.

Sendal dan Jepit masih ada di sana. Mereka agak tersisih ke samping, dekat batang pohon mangga yang sudah ditebang. Si Keriting menaikkan kedua bahunya sambil menatap ke arah rumah itu.

Di samping si Keriting, ada seorang wanita lagi. Tubuhnya kurus tinggi. Si Jangkung mengisyaratkan agar yang lain mendekat padanya. "Saya sering lihat dia keluar tiap malam terus pulangnya pagi. Perempuan apa, tuh, tiap malam keluyuran gitu. Apa tidak bisa jaga diri?"

"Iya, benar! Saya juga sering lihat! Mungkin dia meninggal karena ada kaitannya dengan kerjaannya yang keluyuran malam-malam itu, ya?" balas wanita lain yang alisnya menukik tajam, mengalahkan siluet lukisan gunung Semeru. "Kasihan keluarganya di kampung. Begitu dia pulang malah harus ngurusin jenazahnya."

Di tempat lain seorang bocah laki-laki dan gadis remaja duduk di samping pusara yang masih basah. Mata keduanya masih memerah dan sembab karena terlalu lama menangis.

"Kak, aku dengar orang kampung ngomongin ibuk lagi. Kenapa Kakak tidak ngomong sama mereka? Bilang kalau ibuk tak seperti yang mereka sangka."

"Untuk apa, Dek? Toh, ibuk melakukannya untuk kita, bukan untuk mereka. Ibuk sendiri yang bilang begitu. Yang penting kita tahu ibuk sayang dan kerja di kota demi kita." Si Kakak tersenyum, tapi air matanya kembali menetes.

Melihat kakaknya menangis, si Adik matanya berkaca-kaca lagi. "Kenapa harus kayak gitu, Kak? Aku tidak suka dengar ucapan mereka tentang ibuk."

"Nanti, kamu akan tahu alasannya. Saat kamu mencintai seseorang dengan tulus. Saat itu, tak peduli apa pun yang harus kamu lakukan untuknya, kamu tak peduli pandangan orang lain. Kalau ditanya kenapa, jawabannya cuma karena cinta. Sebab memang cinta sesederhana itu. Berkorban tanpa merasa terbeban."

Sekian.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 20, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Semesta BerkisahWhere stories live. Discover now