22

663 156 7
                                    

***

Ten menemukan dompet Lisa. Tapi sayangnya, setelah pria itu membuka dompetnya kemudian melihat brosur terlipat tentang sebuah villa di dalamnya, Ten tidak membawa dompet itu. Sederhana saja, Ten tidak ingin Jiyeon melihat dompet itu dan marah karenanya. Jadi, dengan kesadaran penuh, ia menitipkan dompet itu pada karyawan cafenya. Namun Lisa bukan seorang profesional kalau ia tidak memikirkan keadaan itu sebelumnya.

Tiga puluh menit setelah Lisa meninggalkan cafe, gadis itu mendapatkan sebuah pesan dari nomor yang tidak ia kenal. Isi pesannya sangat singkat– B– yang artinya kalau mereka akan melanjutkan rencananya dengan plan B.

"Besok apa rencanamu, oppa?" tanya Lisa membuat Jiyong mengingat-ingat jadwalnya. "Kau ada rencana bertemu dengan Jiyeon?"

"Tidak ada, aku sudah membatalkan semua persiapan pernikahan kami, tapi karena orangtua kami tidak mengetahui apapun, Jiyeon tetap mengurus persiapan pernikahan ini tanpaku. Dia bilang kalau aku sibuk dan kemarin aku kena marah orangtuaku karena menolak datang-"

"Besok kau harus datang," potong Lisa. "Datang ke tempat persiapan itu bersama Jiyeon. Beralasan saja kau datang karena di paksa orangtuamu. Tapi selama di sana, telepon aku. Kita harus membicarakan villanya, liburan kita tapi pastikan Jiyeon mendengarnya. Pastikan dia cemburu, atau setidaknya kesal karena kau akan pergi berlibur ditengah kekacauan ini. Ah! Beritahu juga teman-temanmu kalau kau akan berlibur selama beberapa hari, bohongi mereka, bilang kalau kau akan pergi dengan Jiyeon. Berpura-pura lah kalau masalahmu dengan Jiyeon sudah selesai dan kalian akan pergi berlibur setelah beberapa kali bertengkar. Lakukan semuanya dengan halus... Ku beri waktu beberapa hari. Untuk sekarang, katakan kau akan berlibur akhir pekan ini,"

"Ini benar-benar misi bunuh diri?" tanya Jiyong, sedikit ragu sebab Lisa membuat nama misi mereka terdengar mengerikan. Jiyong tidak ingin kehilangan apapun termasuk nyawanya sendiri.

"Tidak perlu khawatir, kalau pun harus ada yang mati, aku yang akan mati," yakin Lisa, sembari mengingat-ingat isi villa di pinggir kota itu. Tempat itu punya ruang bawah tanah, mirip bunker yang sebelumnya dipakai untuk menyimpan senjata namun kini di rubah jadi gudang anggur. "Aku hafal luar dalam villa itu. Dulu villa itu adalah tempat persembunyian kami, aku pernah tinggal di sana setidaknya enam bulan. Bahkan kalau terjadi badai topan di sana, aku tahu tempat bersembunyi. Oppa hanya perlu mempercayaiku," ucap Lisa sembari menepuk-nepuk punggung tangan Jiyong yang tengah mengemudi. Lisa harus bertindak sejauh itu agar ia bisa segera pergi dari Jiyong, dari Ten, dari tempat yang membuatnya dapat peran memalukan itu.

Di percepat sampai di keesokan harinya, Jiyong melakukan apa yang Lisa minta. Tentu tidak dengan serta-merta datang ke butik tempat tuxedonya dibuat. Pagi harinya, Jiyong menelepon ibunya untuk sekedar berbasa-basi. Ia katakan pada sang ibu kalau ia merindukannya, kemudian meminta maaf sebab ia terlalu sibuk akhir-akhir ini. Pancingannya berhasil, menyinggung tentang kesibukan membuat sang ibu kembali mengomeli Jiyong. Wanita itu memarahi putranya yang membiarkan calon menantunya sibuk sendirian dan kini Jiyong punya alasan untuk menemui Jiyeon di butik.

Sayangnya, kehadiran Jiyong di sana justru tidak membuat Jiyeon jadi senang. Plan B yang Lisa buat, ternyata sukses membuat Jiyeon naik pitam. "Untuk apa kau kesini?" tanya Jiyeon, luar biasa sinis di saat ia yang sedikit terlambat melihat Jiyong sudah ada di butik. Jiyong sedang minum teh yang disediakan butik itu saat Jiyeon datang.

"Beritahu eommaku kalau aku sempat menemanimu ke butik hari ini," jawab Jiyong, sengaja tidak langsung menjelaskan alasannya datang.

Jiyeon memalingkan wajahnya. Kedua tangannya mengeras, jemarinya mengepal, meremas pegangan tasnya, menahan emosi. Di saat yang sama, Jiyong justru meletakan cangkir tehnya kemudian bangkit dari duduknya. Pria itu hendak pergi, namun Jiyeon sudah lebih dulu melempar sebuah dompet ke lantai. Dompet itu jatuh di depan kaki Jiyong, dompet merah muda yang tidak Jiyong kenali. Tanpa perlu sebuah naskah, Jiyong bertanya dompet apa dan milik siapa itu. Dompetnya terlihat murah, juga lusuh, sebab empat sudutnya sudah mengelupas. Pria itu langsung membeku saat Jiyeon mengatakan kalau dompet itu milik wanita simpanannya.

Jiyong sama sekali tidak tahu kalau Jiyeon akan memiliki benda itu. Tidak ada skenario bagus yang bisa ia pikirkan sekarang. Satu-satunya hal yang terlintas dalam benaknya adalah Jiyeon sudah lebih dulu melukai Lisa bahkan sebelum mereka sempat menjalankan misi bunuh diri kemarin.

"Kenapa ini ada padamu? Apa yang kau lakukan pada Lisa?" tanya Jiyong, terlihat panik tanpa dibuat-buat. Matanya membulat dan tubuhnya kaku, terlihat marah meski ia sendiri tidak tahu apa alasannya marah. Rasanya lebih menyesakan dibanding saat Jiyong tahu Jisoo terluka karenanya. "Ya! Park Jiyeon! Kau-"

"Aku apa? Kau takut aku melukainya? Kenapa? Kau benar-benar mencintainya? Wanita yang hanya memanfaatkanmu itu? Bajingan sialan." Jiyeon mencibir, terdengar begitu sinis meski ia tidak berteriak. Jiyeon masih menahan emosinya, ia enggan mempermalukan dirinya sendiri di depan para pelayan butik itu sementara seorang manager butik yang ada di sana bergegas menarik keluar staff-staffnya. Lebih baik mereka tidak mendengar pertengkaran calon pengantin itu. "Kalau kau memang mengkhawatirkannya, setidaknya beritahu dia untuk tidak muncul di depanku," kesal Jiyeon, bersamaan dengan dering handphone Jiyong.

Lisa menelpon Jiyong di waktu yang sangat tepat. Jiyong yang sebelumnya khawatir, kini bisa menghela nafas lega sebab ia bisa mendengar suara ceria gadis itu seperti seharusnya. Namun sayangnya, panggilan itu justru membuat Jiyeon semakin marah. Jiyong memang sengaja menjauhi Jiyeon untuk menjawab panggilan itu, namun si calon pengantin wanita tentu tahu siapa yang tengah Jiyong ajak bicara itu. "Kau benar-benar tidak terluka kan? Kau baik-baik saja, bukan?" desak Jiyong begitu ia mendengar Lisa menyapanya di telepon.

"Apa definisi dari baik-baik saja? Aku sedang senang sekali," ucap Lisa, tanpa berbasa-basi. Dompet yang ia tinggalkan, pasti sedang berkelana sekarang– yakinnya. "Aku berhasil membujuk atasanku. Aku bisa cuti beberapa hari, mulai dari Senin depan. Kalau kita berangkat akhir pekan nanti, kita bisa berlibur setidaknya empat hari. Sabtu, Minggu, Senin dan Selasa, seperti rencanamu. Villanya juga kosong di hari-hari itu, aku sudah memesannya. Tapi aku hanya membayar uang mukanya beberapa ratus ribu, aku baru kehilangan dompetku... Kartu debit yang oppa berikan ada di sana, bagaimana ini? Oppa harus memblokir kartunya."

"Syukurlah kalau kau baik-baik saja... Dompetmu ada padaku," jawab Jiyong. Ia sedikit heran, sejak kapan ia memberikan kartu debitnya pada Lisa. Ia tidak ingat kalau ia pernah memberikan kartu itu. "Tidak perlu khawatir... Akan ku berikan dompetmu nanti," susulnya, ditambah ungkapan-ungkapan kebahagiaan lainnya. Jiyong jadi bersemangat saat Lisa membahas tentang villa itu. Ia bahkan menyebutkan lokasi villa itu juga beberapa lokasi lain yang bisa mereka kunjungi. "Di dekat villa itu ada pemandian air panas, kita bisa berkunjung ke sana. Lalu restoran BBQ di dekat sana juga enak. Restoran BBQ tempat kita makan siang minggu lalu, di ujung jalan," ocehnya, memberi beberapa petunjuk agar Jiyeon tahu dimana lokasi villa itu meski ia sendiri belum pernah ke sana. Lisa sudah memberitahu banyak petunjuk pada Jiyong kemarin, mereka sudah merencanakannya. Terlebih kalau Jiyeon membuka dompet Lisa, mengeluarkan semua isinya kemudian melihat-lihat semua kartu yang ada di sana.

Sejauh ini semuanya berjalan lancar. Sejauh ini Jiyeon terlihat seolah akan terjerumus dalam skenario jebakan itu.

***

Can't SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang