Kakek bercerita, memulai perbincangan hangat kala dingin dan kelam malam menusuk sukma. Beliau bilang, masa bocah desa miskin seperti dirinya habis tuk sengsara. Kurang sandang jua pangan. Begitu kuat makna kalimat, paceklik tergurat nyata di raut wajahnya. Saat kali kecil di desa pelosok kami masih besar sekali bentuknya, jembatan belum tercor beton. Hanya belabak kayu seadanya, yang berisik nian tiap dilewati siapa saja. Pulang sekolah, kata Kakek. Tahun sembilan belas enam puluhan. Kerap ada mayat manusia ikut terbawa lewat di alirannya. Orang-orang pribumi priayi, ditilik dari baju bagus dan perhiasan mewah melekat pada jasadnya. Tak ada yang berani mengambil. Naas, leher tak tersambung lagi pada badan. Pun ketika seluruh warga desa kami tahu kejadian itu, semua memilih bungkam. Sebab satu alasan, PKI.
*Selamat pagi, cerita lama yang kudapat semalam kutuang aksara. Semoga kalian juga suka.
~Aya