Kehadiran Kirana

14 0 0
                                    

Sejak hari itu, tangis dan gelak tawa Kirana menjadi candu. Perhatianku bersama empat sahabat yang lain, terpusat hanya untuk Kirana. Jangan tanya bagaimana repot dan sibuknya kami membagi waktu agar bisa merawat Kirana. Apalagi sebagai perawan, tentu membesarkan bayi adalah hal yang tak mudah untuk kami.

Perlahan kesedihanku karena kehilangan Kinara  mulai terobati oleh kehadiran Kirana. Semua waktu, cinta, dan kasihku tercurah hanya untuknya. Aku sampai rela membayar seorang pengasuh untuk menjaga Kirana ketika harus bekerja. Dan pada akhirnya kami  sepakat memutuskan untuk pindah dan menyewa sebuah rumah untuk kami tempati bersama.

Menempati hunian baru artinya kami memulai semua dari awal. Semua semakin lengkap karena kehadiran Kirana. Tak lagi ada kesedihan yang merenggut cerah hari. Semua terasa lebih berwarna dan bergairah. Kami berenam bersama Bimo kompak dan saling bahu membahu memenuhi kebutuhan malaikat kecil itu.

Usia Kirana telah menginjak bulan ke enam saat ini. Tiga bulan telah berlalu semenjak kepergian Kinara. Kirana tumbuh menjadi bayi yang sehat dan gesit. Hali itu tentu saja  membuatku merasa bahagia, begitu juga dengan yang lain.

Seperti ucapannya, Bimo juga turut serta membantuku untuk membiayai kebutuhan Kirana. Sesekali ia akan berkunjung untuk melihat perkembangan bayi ini. Hubungan kami berangsur membaik. Setelah masa-masa penuh amarah itu berlalu dilahap laju hari. Perlahan, kehidupan Bimo juga berangsur membaik. Sepertinya, ia benar-benar ingin berubah menjadi lebih baik sesuai dengan harapan Kinara sebelumnya.

Ada hal aneh yang masih belum kutemukan jawabannya. Jujur saja, aku tak pernah bisa jauh dari Kirana. Entah mantra apa yang dipakai bayi menggemaskan itu, sehingga pikiranku akan selalu tertuju padanya jika sedang tak bersamanya. Seperti yang terjadi siang ini, saat aku sedang berdua bersama Ligar, kekasihku.

“Kapan kamu punya waktu untukku?” tanya Ligar datar.

Aku tahu ada rasa kecewa dari nada bicaranya. Ligar, lelaki yang telah menjadi kekasihku sejak dua tahun yang lalu, telah merasa tersisihkan dengan kehadiran Kirana. Aku menghela napas dalam, berharap kecewa ini akan segera sirna.

“Kumohon mengertilah, Gar. Aku capek harus ribut karena masalah ini lagi,” ucapku memelas.

“Apa aku aja yang harus mengerti. Lalu, bagaimana denganmu? Apa kamu bisa sedikit mengerti tentang perasaanku?” ujarnya sinis.

Aku memalingkan wajah, merasa lelah dan putus asa. Sejak awal, ligar memang keberatan dengan kehadiran Kirana. Menurutnya, aku terlalu berlebihan karena berani mengambil hak asuh Kirana. Ligar bersikeras memaksaku untuk mencari Dewa dan mengembalikan Kirana padanya.
Entah ke mana rasa iba Ligar telah menghilang, tak sedikit pun ia sudi berbagi kasih pada Kirana. Hatiku hancur, ternyata Ligar terlalu egois. Aku iri melihat pasangan sahabatku yang lain, mereka malah rela ikut membantu dan menyayangi Kirana.

“Aku capek, Gar. Lebih baik kita sudahi saja.” Akhirnya aku menyerah.

Ia tampak kaget, wajahnya memerah karena menahan amarah. Dengan geram ia mencoba meraih tanganku, tapi secara refleks aku menolak. Kafe ini tidak begitu ramai, tetapi tetap saja sikap Ligar membuat kami berdua menjadi pusat perhatian.

“Jadi, kamu lebih memilih bayi sialan itu?” Ia mulai berkata kasar.

Aku masih berusaha untuk tidak emosi dan tetap tenang. Namun, di depanku Ligar telah murka dan menghempas meja. Sontak aku terperanjat dan mulai naik pitam.

“Ligar, ternyata selain egois kamu juga kasar. Begini ya sifat aslimu?” Aku berteriak tak sanggup lagi menahan emosi.

“Persetan! Dasar perempuan tak tahu di untung!” teriaknya sambil menunjuk mukaku.

Aku menatapnya dengan mata menyala, kuraih segelas air di atas meja dan menyiramkan air itu tepat di wajahnya. Tak kupedulikan lagi beberapa pasang mata yang menjadikan pertengkaranku dan Ligar sebagai tontonan. Ligar pantas mendapatkan sedikit kejutan dariku sebelum aku meninggalkan tempat ini dan dirinya selamanya.

“Kurang ajar! Dasar perempuan iblis!” teriaknya yang tak lagi aku hiraukan.

Aku berlari dan memberhentikan sebuah taksi tepat di depan kafe tersebut. Air mataku jatuh menahan sakit hati yang telah ditoreh Ligar. Aku tak pernah menyangka, Ligar bisa setega itu. Sedikit pun tak ada penyesalan karena berpisah darinya. Aku justru merasa bersyukur karena Tuhan telah memperlihatkan watak aslinya sebelum hubungan kami melangkah ke arah yang lebih serius.

Ligar, lelaki bijaksana yang dulu berhasil merebut hatiku telah berubah menjadi sosok yang tak punya hati. Entah ke mana lautan kasih miliknya dulu, telah lenyap hanya karena rasa tersisih oleh kehadiran seorang bayi mungil yang tak berdosa, Kirana.

Dalam Pelukan LautWhere stories live. Discover now