Nisan Bernama Kinara

16 0 0
                                    

Mataku tertuju pada gundukan tanah merah di depan kami. Masih ada hamparan bunga rampai yang telah melayu dipeluk angin semalam. Hatiku hancur, terasa kosong, duka kehilangan semakin menggerogoti kalbu. Aku mendekat, kemudian duduk dan memastikan bahwa nama di batu nisan putih itu bukanlah nama sahabatku, Kinara. Aku masih berharap semua ini hanya mimpi, tapi sekali lagi aku salah. Kinara benar-benar telah pergi.

Semua larut dengan kesedihan masing-masing. Kinara adalah seorang gadis yatim piatu. Penderitaan memang telah menjadi teman baiknya, hingga mungkin ia merasa terlalu lelah dan memilih mengakhiri penderitaan hidupnya dengan caranya sendiri. Aku tahu, ia hanya tak ingin menjadi beban bagi siapa pun, apalagi sejak hubungannya dengan Bimo berakhir. Setahun sudah Kinara tinggal di sekitar pantai. Ia menyambung hidup dengan berjualan, tetapi beban berat mungkin sudah tidak sanggup lagi ia tanggung, hingga akhirnya ia nekat bunuh diri.

Ada rasa nyeri yang menghunjam hati, andai saja Kinara mau sedikit mengalah pada takdir. Aku semakin larut dalam kesedihan yang kian mendalam. Bagiku, kehilangan Kinara adalah kehilangan sebagian cahaya hati. Meski ia memiliki hubungan terlarang bersama Bimo, tetapi aku tahu pasti, Kinara hanyalah korban permainan jalan takdir yang tak pernah berpihak padanya.

Di hadapanku, Bimo tampak tersungkur menangisi kepergian Kinara. Siapa sangka, di balik sikapnya yang keras, ternyata masih ada cinta yang ia simpan untuk Kinara. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Bimo hanya bisa menangis dan menyesali semuanya. Aku tahu, Bimo pasti menanggung kesedihan yang teramat dalam, dibanding aku dan yang lainnya. Tebersit rasa iba untuknya, yang dalam hitungan detik, kembali menjelma menjadi benci.

“Sea, istigfar! Jangan terlalu larut. Kasihan Kinar,” ujar Rince mengingatkanku. 

“Kita harus ikhlas, Sea. Kita semua kehilangan Kinar. Biarkan dia pergi dengan tenang, jangan menambah berat langkahnya.” Cia ikut duduk di sampingku.

Aku bersandar di pundak Cia, masih dengan air mata yang menggenang, kucoba untuk menerima kenyataan ini. Tak kuhiraukan lagi penjelasan tetangga Kinara, yang sedang asyik menuturkan kisah perjuangan Kinara selama hidup di sini pada Rince. Aku terus menangis, hingga akhirnya tak sadarkan diri.

****

Samar, kudengar suara tangisan bayi, hingga membuatku terbangun. Masih sedikit pusing, kucoba beranjak dari tempat tidur. Dengan wajah bingung, aku mencari keberadaan teman-temanku yang lain. Akhirnya kubisa bernapas lega, ketika kulihat Rince sedang berdiri di dekat jendela.

“Eh, udah bangun, Sea? Syukurlah!” serunya dengan senyum mengembang.

“Kamu pingsan tadi. Sekarang kita ada di rumah Pak Lurah,” jelasnya tanpa kuminta.

“Yang lain ke mana?” tanyaku heran.

Rince memintaku untuk meminum segelas teh manis hangat yang sudah disiapkan untukku. Perlahan, kuhabiskan teh itu. Aku merasa lebih nyaman dan hangat setelah meminumnya.

“Yang lain lagi di luar. Ada anak Kinar di sini.” Rince menjawab pertanyaanku sambil menoleh ke luar pintu kamar.

“Benarkah? Aku ingin melihatnya,” pintaku tulus.

“Sebentar, akan aku bawa ke sini. Kamu tunggu di sini aja.” Rince memintaku untuk menantinya di kamar.

Beberapa menit kemudian, Rince dan yang lainnya masuk ke kamar. Bersama mereka, ada seorang bayi mungil dalam pelukan Rince. Aku segera berdiri karena tak sabar ingin melihat rupa bayi mungil tersebut.

“Ini Kirana, Kirana kenalkan ini Sea sahabat ibumu,” ujar Rince mengenalkanku pada Kirana.

Aku tertegun, hatiku terenyuh, air mata lagi-lagi turun tak bisa kubendung. Kutatap wajah cantik Kirana penuh sayang. Semoga nasib baik selalu mengiringi langkahnya, doaku tulus untuk bayi mungil berumur tak lebih dari dua bulan ini.

“Biarkan Kirana tinggal bersama kami, Insya Allah akan kami rawat seperti anak sendiri.” Tiba-tiba Pak Lurah membuka suara.

Semua terdiam dan menunduk, isak tangis kembali tumpah. Kirana, betapa berat cobaan yang menimpa hidupnya bahkan sejak sebelum ia dilahirkan.

“Tidak, Pak. Kirana akan ikut bersamaku,” ucapku mantap.

Semua mata tertuju padaku, mereka memasang mimik kaget dan tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Entah mendapat kekuatan dari mana, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku sadar, membawa Kirana bersamaku bukan perkara mudah. Aku tahu, hal ini akan menambah kerikil kecil dalam hidupku. Namun, entah kenapa rasanya aku rela menghadapi semua itu. Kirana telah membuatku jatuh cinta sejak sebelum aku melihatnya. Semoga Kinara akan bahagia dan tenang, melihat Kirana bersamaku.

“Apa Non yakin? Jika Non berubah pikiran, jangan ragu untuk pulangkan Kirana pada kami,” ujar Pak Lurah hati-hati.

“Tenang, Pak. Saya yakin dengan keputusan saya. Saya akan merawat Kirana seperti anak saya sendiri. Saya akan menua bersamanya,” tegasku sembari menghapus air mata.

Di sudut ruangan, Bimo tertegun menyaksikan semuanya. Ia menatapku dalam, entah apa yang sedang dipikirkannya. Bagiku itu bukanlah hal yang penting. 

Setelah mengurus semua keperluan Kirana, kami pamit dan mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga Pak Lurah. Meski masih dalam suasana duka yang kental, kehadiran Kirana mampu memberi secercah harapan bagi hatiku yang gersang karena kehilangan Kinara, ibunya.

“Sea, nanti kerjaan kamu gimana?” tanya Cia dalam perjalanan kembali ke Jakarta.

“Akan aku pikirkan nanti, Cia. Saat ini yang aku tahu, Kirana harus ikut bersamaku. Itu saja, cukup,” ucapku sambil menatap wajah Kirana yang sudah terlelap digendonganku. 

“Sea, benar. Yang penting Kirana ikut bersama kita. Kita bisa jadi ibu untuknya. Bukan begitu, Sea?” Rince melirik ke arahku.

Aku tersenyum kemudian mengangguk. Di belakang kami, Cia dan Mika berseru setuju dan kami pun sepakat untuk saling membantu dalam membesarkan Kirana. 

“Ya, aku rela jika harus membesarkan bayi ini bersama-sama,” sambung Dena tulus.

“Kita akan hadapi ombak dan badainya. Kirana adalah bidadari dari Tuhan yang ditakdirkan untuk kita jaga bersama,” timpal Mika tak mau kalah.

Kami tersenyum bahagia dan diam-diam melangitkan banyak doa untuk Kirana. Aku merasa bersyukur karena memiliki mereka dalam hidupku. Kinara pasti akan bahagia dan tenang di alam sana.

“Izinkan saya ikut membesarkan Kirana bersama kalian.” Suara Bimo tiba-tiba mengagetkan kami. 

Sambil mengemudi, sesekali Bimo ikut nimbrung dalam obrolan. Aku hanya diam mendengarkannya, entah kenapa aku masih merasa benci setiap kali mengingat perlakuan Bimo pada Kinara.

“Kirana bukan anakmu, Bim,” ucapku sinis.

Masalah ini memang bukan rahasia lagi karena aku sudah menceritakan semua pada Rince, Mika, Dena, dan Cia.

“Aku tahu, Sea. Aku ingin menebus kesalahanku pada Kinar,” sesalnya dengan suara parau.

“Kesalahan yang mana, Bim? Bukankah kamu mempunyai segudang salah pada Kinar?” serbuku dengan nada meninggi.

“Coba kasih tahu kita. Kamu ingin menebus salah yang mana?” desakku semakin kesal.

“Kesalahanku yang paling fatal, memaksa Kinar menggugurkan kandungannya, darah dagingku sendiri. Tiga kali, tiga kali aku menyeretnya dalam lembah dosa.” Bimo menghentikan mobil, kemudian tersedu menyesali segala dosanya.

Kami semua terdiam, seperti ingin memberi waktu pada Bimo untuk meluapkan penyesalannya. Seperti anak kecil ia menangis, sesekali terdengar isaknya memanggil nama Kinara dan memohon ampun. Aku tersenyum getir, merasa puas juga sedih di waktu yang bersamaan. 

Dalam Pelukan LautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang