50

578 68 8
                                    

"KENAPA KAU TAK MEMBERITAHU TADI, HAH?!"

'Maaf, Nona. Hehehe.'

Untuk yang kesekian kalinya, aku sangat ingin mematahkan tongkat ini atau mencekik Axlizus. Aku tak tau apakah dia sengaja tak memberitahuku atau memang lupa. Tapi tetap saja, menyebalkan. Aku hanya membuang waktu.

'Aduh, jangan marah dong, Nona.'

Aku tak mengacuhkannya lalu menjejalkan Tongkat Axlizus ke tas. Wajahku yang masam menjadi pusat perhatian. Makhluk itu memandangku penasaran sekaligus geli. Seli dan Ali terperanjat karena teriakanku –– apalagi aula ini menciptakan gaung. Ketiga hewan bayangan mengaum pelan dan menatap prihatin –– jangan tanya aku bagaimana aku bisa mengetahuinya, mungkin karena hubungan antar anak buah dan majikan –– pada Tongkat Axlizus.

Aku menaikkan alis. Sedetik kemudian wajahku berkeringat. Makhluk itu sudah mengetahui Tongkat Axlizus, lalu apakah mereka akan mengambilnya dariku? Demikian pemikiranku.

Semoga mereka tak berpikir aneh-aneh. Anggap saja aku sinting atau yang lainnya. Tapi jangan merebut tongkat ini dariku. Yah, bukan berarti aku mau disebut sinting.

"Tongkat apa itu?" tanya Laius.

Aku membuang wajah. Menatap sembarang arah selain makhluk itu. Kupikir mereka mengetahui Tongkat Axlizus, ternyata tidak. Tetapi mereka tau bahwa tongkat ini bukanlah tongkat biasa. Sama berbahayanya, kurasa.

"Tidak. Kalian taulah, tongkat magis yang tak sengaja kami temukan." Aku mengangkat bahu –– berusaha tak acuh –– walau jadinya malah bahuku yang bergetar.

Definisi 'tak sengaja' memang sangat tak cocok untuk sebuah tongkat magis yang secara harfiahnya memiliki kekuatan. Kekuatan tongkat sangat menarik perhatian dan semua orang pun tau bahwa dia memiliki kekuatan besar. Tapi semoga makhluk itu bodoh-bodoh amat sampai tak menyadarinya.

"Yah, barangkali begitu. Lalu apa? Kau akan membunuhmu dengan tongkat itu? Aku tau tongkat itulah yang menciptakan hewan-hewan hitam itu 'kan?" Dia menunjuk pada ketiga hewan di tangga. Mereka sontak menggeram.

"Aku tau tongkat itu bukanlah tongkat biasa. Aku bisa merasakan kekuatannya. Kekuatan besar ... tapi kebalikan dari Panah Pavleur," jawab Liales

Aku melirik Seli, dia melirikku. Panah  Pavleur di tangan kanan dan busur di tangan kirinya. Dia mengernyit padaku, bertanya lewat kode 'kenapa kau berteriak tadi?'. Aku menggeleng lemah. Belum saatnya memberitahu mereka apa yang diucapkan Axlizus. Salah satu dari kami harus mengalihkan perhatian makhluk itu sementara aku memecahkan bola kacanya.

Ali yang mengerti gelenganku, mengangguk. Dia paham ada sesuatu yang penting.

Liales menggoyangkan ekor ularnya. Ekor itu melesat ke Seli yang masih termenung lalu melilit kakinya. Seli terjatuh ke lantai dengan suara debum keras dan dentangan busur. Dia berteriak kesakitan. Ekor ular menggeretnya ke hadapan makhluk itu. Seli tak sempat melawan karena kepalanya yang terbentur amat keras mengeluarkan darah.

"Lepaskan dia!" teriak Ali.

Ekor ular kini melilit tubuhnya. Mata Seli setengah terpejam. Kemungkinan kesadarannya juga menipis. Dia meronta-ronta dengan lemah.

"Halo, Sayang. Kau akan menjadi santapan pertamaku," kata Louis. Seli menggertak. "Takkan pernah. Aku takkan mati di lilitan ular menjijikkanmu ini." Dengan gagah beraninya, Seli meludah. Tidak meludah tepat ke wajah mereka, tetapi meludah ke samping. Tetapi mereka tetap marah.

"Berani-beraninya kau," desis Louis. Seli hanya menyeringai sebagai balasannya. Kepalanya tertunduk, beberapa kali dia menggeleng-gelengkan wajah. Kuduga matanya mengabur.

A Story of Raib Seli AliWhere stories live. Discover now