Sepuluh

3.6K 506 171
                                    

Ketika gue membuka mata, gue mendapati Kava sedang komat-kamit diatas sajadahnya. Seperti lagi berdoa usai sholat. Gue lirik jam di layar hape, gila masih jam tiga pagi.

Kava memang rajin ibadahnya, setiap kali denger adzan langsung meluncur ke masjid. Mau serungsing apapun pekerjaannya saat itu pasti ditinggal. Katanya kalau akhirat dinomorsatukan dunia pasti mengikuti dibelakangnya.

"Sudah bangun?" Kava ngeliatin gue yang semaleman tidur mengusai kasurnya. Dia sendiri ngungsi entah kemana, ya tuan rumah emang harus ngalah gitu kan gue tamu disini.

Karena masih ngantuk gue gak nanggepin Kava, dan sebentar kemudian mata gue pun merem lagi.

"Turunkan seleranya Ya Allah, bismillah jodoh." Kava tau-tau niup ubun-ubun gue.

Gue melek lagi saking kagetnya, mana mukanya tepat berada diatas gue. "Kamu apa-apaan, sih?"

"Kebayang gak bu? Bangun tidur melek terus disebelahnya ada yang kayak saya?" Kava memandangi gue dengan tatapan dalam.

Gue gelagapan sebelum berusaha menjauhkan mukanya. "Minggir sana kamu, aku mau lanjut tidur!" Gue usir dia meski ini kamarnya.

Kava cuma tersenyum sebelum meraih Al Quran mininya dan mulai membacanya di sebelah gue dengan sangat fasih. Suaranya bener-bener enak didengar, apalagi raut mukanya ketika menekuni kitab suci itu terlihat begitu adem dan menenangkan.

Damagenya busyet. Gimana gue bisa tidur lagi kalau begini caranya?

Gue beneran gak bisa memejamkan mata lagi sepanjang Kava melantunkan ayat-ayat suci itu. Sampai kemudian terdengar suara adzan subuh dari kejauhan, Kava baru mengakhirinya.

"Suara kamu bagus, cocok buat ngisi soundtrack tahu bulat." Maksud gue memuji, tapi ditambah hinaan.

"Saya kira yang lucu jokesnya eh ternyata kamu." Kava langsung mendapat tampolan guling dari gue.

"Mau ke masjid?" Gua tanya ketika Kava hendak beranjak dari sisi tempat tidur yang sejak tadi di dudukinya.

"Ikut?"

"Gak bawa mukena." Alasan bae gue.

Kava tersenyum pengertian, dan sebelum pergi, dia sempetin mengusap kepala gue. "Izin shalawatin kamu yah, maaf kalau saya lancang."

*****

Dapur kontrakan Kava lagi rusuh, tentu saja karena gue penyebabnya. Meski berantakan gitu, tapi gue cukup seneng karena masakan gue akhirnya jadi, tadah!

"Nanti aja, hehe masih kenyang." Lantang seketika menolak nasi goreng buatan gue.

Ganti gue melirik Mizan yang sudah bisa ditebak reaksinya. Dengan sinis dia berkata. "Kalau pengen kita langsung mati beliin potas aja, jangan nyiksa orang dengan makanan gak jelas gini?"

"Aku mau beli pecel di Kak Tasya. Nitip gak?" Lantang nawarin tanpa beban.

Mizan dan Lantang ini kalau ikut lomba mirip-miripan setan, pasti setannya juara tiga.

Gue pengen marah aslinya, capek-capek gue masakin sarapan buat mereka tapi malah dipandang remeh. Belum sempat gue buka mulut, Kava sudah duluan jewerin kuping adik-adiknya itu dan nyuruh mereka makan tanpa banyak protes.

"Habisin, kalau sampai gak habis push up 100 kali!" Herannya Mizan dan Lantang nurut-nurut aja perintah Kava, ya meski dengan muka kesel, sih.

"Ambilin krupuk dong, Bu." Lantang seenaknya nyuruh-nyuruh gue.

"Ba Bu, Ba Bu. Emangnya babu kamu?" Gue sengit. Mereka pada makan di ruang depan yang merangkap ruang tamu dan tv, berhubung rumahnya sempit jadi gak ada meja makan.

Step On MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang