Bagian 1

28.6K 1.7K 103
                                    

Ketika orangtua menceritakan tentang tegarnya anak sulung dan rapuhnya anak bungsu, maka izinkan anak kedua untuk menceritakan tentang dirinya yang sudah tahan banting.

.

.

.

.

Menjadi anak tengah adalah takdir bagi Hana. Dipaksa mencontoh sang kakak dan juga harus bisa memberikan contoh yang baik untuk adiknya.

Ketika Kakak dan Adiknya selalu dibanggakan oleh orang tuanya, Hana hanya bisa menangis di dalam kamar. Hana sudah melakukan yang dia bisa semaksimal mungkin, namun sayang orang tuanya tidak pernah menghargai itu.

Ketika Kakak dan Adiknya di ajak berlibur oleh orang tuanya, Hana hanya bisa menjaga rumah seperti babu.

"Hana pengen banget jadi Pramugari, Bun. Hana pengen ngajak Bunda dan Ayah travelling keliling dunia," ungkap gadis yang disapa Hana. Gadis itu kini sedang membantu Bundanya memasak. Sedangkan kedua saudaranya sedang tidur nyenyak di pagi hari ini. Bukan hanya sekali atau dua kali saja gadis itu diperlakukan begitu, tapi setiap hari.

"Itu gak mungkin, Hana. Itu hanya mimpi," sahut Bundanya yang sedang mengiris cabai dan bawang. Dari dulu Bundanya tidak pernah mendukungnya melainkan mengatakan 'itu hanya mimpi'.

Hana menghela napas. "Iya Bunda itu mimpi," sahut gadis itu menunduk.

"Mimpi yang akan menjadi kenyataan," gumamnya yang tidak didengar oleh ibunya.

"Kamu itu gak pernah juara kelas seperti Kakak dan Adik kamu, Hana. Jadi gak mungkin kamu bisa jadi Pramugari," ujar Bundanya yang diakhiri dengan tawaan meremehkan. Hana hanya menunduk sambil tersenyum pahit.

"Bunda, lauknya udah mateng?" tanya seorang laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu yang bernama Wira. Wira adalah kakak satu-satunya yang Hana miliki. Wira sedang menempuh semester 4 di SMA Bintang Cahaya.

Bunda alias Vina menoleh ke belakang untuk melihat putra semata wayangnya itu. "Loh, Wira? Tumben hari gini udah rapi?"

"Iya, Bun. Wira ada piket kelas," ujarnya pada Vina.

"Kamu rajin banget, Nak," puji Vina tersenyum.

"Lauknya udah belum, Bun?" tanyanya lagi.

"Sebentar lagi mateng kok, Nak," jawab bunda.

"Bunda! Selamat pagi!" pekik gadis yang berseragam putih-biru, Reisa. Reisa menghampiri Vina lalu mengecup pipi Vina. Reisa kelas delapan SMP.

Vina memeluk Reisa, lalu terkekeh, "Ih kamu nih. Udah sana kalian tunggu di meja makan, gih! Ini biar bunda sama Hana yang urusin," suruh Vina pada Wira dan Reisa sembari menunjuk makanan di atas kompor. Wira dan Reisa segera duduk di atas kursi makan.

Itulah Vina, seorang ibu yang selalu mengorbankan anak keduanya, Hana. Hana merasa, ia selalu dibanding-bandingkan oleh Kakak dan Adiknya. Dan selalu dijadikan seperti babu oleh Bundanya.

Sedangkan Hana hanya melihat dari jarak yang lumayan jauh. Seumur-umur dia belum pernah merasakan seperti yang saudaranya rasakan. Anda Vina tahu, Hana juga ingin di peluk seperti Reisa dan dipuji seperti Wira.

Hana menunduk. "Bunda, Hana belum siap-siap. Bunda aja ya, yang beresin ini. Nanti Hana telat," ujar Hana menundukkan kepalanya. Entah mengapa ia takut jika harus berbicara pada bundanya itu.

"Bantuin bunda membereskan ini dulu, Hana! Kalo udah selesai, kamu boleh siap-siap," jawab Vina tegas.

"Kan ada Reisa yang bisa bantu, Bunda."

TEARS OF HANA (SEGERA TERBIT)Where stories live. Discover now