BAB 24

6 1 0
                                    

"Heh, lo udah gila beneran atau apa, sih?" tanya Agung saat Genta baru saja duduk di kursi sebelahnya. "Baru hari pertama kuliah di semester genap kok lo udah telat aja, heran gue. Lo enggak ada niatan buat latihan bangun lebih awal apa, ya?" tanyanya.

Genta mendelik, kemudian mendengkus, "Emang ada di hari pertama gue kuliah, gue enggak telat, hah? Lagian ini gue baru sampai, napas aja belum sempat, udah dapat semburan aja dari lo."

Agung memaju-majukan bibirnya, "Ya abis, lo enggak gimana-gimana, buat gue jantungan mulu. Mata kuliah kita pertama ini sama Bu Kat, bisa mampus gue nyari alasan buat nyelamatin lo!" serunya. "Lo mah gitu, padahal gue peduli sama lo, malah lo sakitin hati gue."

Genta merinding, "Gila lo ngomong gitu, berasa ditiupin sama kuntilanak nih kuduk gue," adunya. "Iya iya, makasih, ya, Agung karena sudah memberi perhatian yang sebegitunya pada Genta. Percayalah ... tanpa Agung, Genta ini enggak ada apa-apanya, kentang sekali," sambungnya.

Kali ini, Agung yang merinding, "Sinting lo!"

"LO!"

"LO LAH! Masa gue."

"Ya, masa gue?"

"Ya udah, si Abdul, deh."

Abdul menoleh, "Baru hari pertama dan gue udah kena lagi," sindirnya. "Kapan sih lo berdua enggak nyeret-nyeret gue dalam urusan rumah tangga lo, hah?" tanyanya.

"GILA LO!"

"SINTING LO!"

"MATI AJA LO BERDUA!"

Yuni datang dengan bingung saat melihat dua teman yang tidak ia temui selama satu bulan kurang ini sudah berkelahi, "Kalian mau gue fasilitasin apa?" tanyanya setelah merapikan tasnya. "Golok? Pisau? Linggis? Atau truk buat kalian tabrak-tabrakan?" sambungnya.

Genta mendelik, "Apaan sih lo, Yun, daytang-datang buat hidup gue makin enggak jelas aja!?" sungutnya.

"Dih." Agung memutar bola matanya sebal. "Hidup lo emang enggak jelas kali!"

"Enak aja," tolak Genta. "Hidup si Abdul tuh yang enggak jelas," tuduhnya.

"Gila, sih!" seru Abdul keheranan. "Udah kena lagi aja gue!" keluhnya. "Kenapa juga gue harus masuk keperawatan, sih?" tanyanya.

"Yeuuuu ...," sahut Agung. "Mana kita tahu!"

"HAHAHAHAAHAHAHAH, GILA SEMUA LO PADA!"

***

Hari yang baru bersama dengan semangat yang juga baru menjadi awal bagi Ayra untuk menikmati semester genap kedua dia selama berkuliah, semester empat. Jika dikatakan mengenai tantangan, jelas semakin tinggi tingkat kita dalam suatu tempat, maka tantangan yang akan kita terima juga akan semakin berat. Terlebih bagi orang-orang yang terjebak atau menjebak dirinya pada jurusan kimia murni, konon katanya semester tiga sampai lima adalah semester paling berat. Dan ... untuk semester tiga kemarin, Ayra mengakuinya.

Satu kotak susu rasa ketan hitam yang diberikan oleh Ditya dengan catatan yang bertuliskan "Semangat, Sayang." menjadi teman Ayra mengawali harinya. Sekarang, dia merasa bahwa laki-laki yang sedang mengendari mobilnya ini adalah suatu keberuntungan dalam hidupnya. Semenjak bersepakat untuk bersama-sama dengan Ditya, harinya menjadi semakin indah. Atau ... setidaknya laki-laki itu berusaha untuk selalu membahagiakannya.

"Nanti siang mau makan apa?" tanya Ditya lembut. Sekarang dia sudah bersumpah untuk terus melakukan hal-hal yang membuat Ayra merasa istimewa, menjemput gadis itu meski kost-annya tak terlalu jauh dari gedung kampus, menanyakan gadis itu akan memakan apa untuk siang nanti, atau sekadar menitipkan susu kotak pada Lana untuk Ayra. Ia berharap semua hal yang dilakukannya memiliki efek yang bagus untuk psikologi kekasihnya itu.

Ayra menoleh, "Apa yang enak?" tanyanya. Setelah pacaran selama kurang lebih satu bulan, ia sudah perlahan memercayakan kebahagiaan dan hatinya pada Ditya. Dia juga sudah berani berbincang banyak hal dengan laki-laki itu atau sekadar menceritakan hari-harinya.

"Apapun yang aku makan sama kamu itu enak semua, Sayang ...," ucap Ditya gemas. "Jadi ... walau diminta makan makanan kucing pun kayaknya akan jadi enak juga lah," sambungnya.

Ayra tertawa, "Tapi itu berlebihan, Kak," ucapnya. "Kita makan ayam geprek saja, ya? Sudah lama saya enggak makan itu," sarannya.

Ditya tersenyum, "Aku sudah pernah bilang belum kalau kamu jangan pakai saya-saya kalau ngomong sama aku, Sayang? Kayak formal sekali," ucapnya.

Ayra menggeleng lemah, "Sudah mencoba, Kak, tapi kayaknya lidah saya belum cocok," sangkalnya.

"Iya iya ...." Ditya mulai mengambil ancang-ancang untuk memberhentikan mobilnya karena gedung kuliah mereka sudah terlihat. "Apapun yang membuat pacar aku nyaman, ya, aku harus nyaman juga, 'kan?"

"Nah, itu betul sekali!"

"Baiklah baiklah ... nanti siang kita akan makan ayam geprek berarti?"

"Iya."

***

Kampus satu dengan banyak orang yang memenuhi kantin adalah hal yang menarik untuk Genta, karena dia selalu bisa menemukan Ayra di antara banyak orang tersebut. Rutinitasnya tetap sama dan mungkin akan selalu sama, dia akan mendatangi Ayra jika ia sedang tidak ada jam perkuliahan atau misalnya ia bisa membolos. Namun, untuk hari pertama kuliah ini Genta tidak perlu bolos, sebab dosennya sudah mengkonfirmasi bahwa jam perkuliahan ditiadakan.

Beruntunglah rasa rindu yang sudah lama dia tabung ini. Walau sebenarnya di semester lalu hubungannya dengan Ayra tidak diakhiri dengan baik-baik saja, maka di semester yang baru ini Genta bertekad untuk memperbaiki semuanya dan memulai apapun dari awal lagi. Sungguh, selama satu bulan liburan ini dia selalu memikirkan gadis itu. Rindu.

"Ay- ... eh?"

Genta menghentikan langkah kakinya saat melihat Ayra sedang duduk bersama dengan Ditya dan Lana di salah satu meja kantin, tampaknya pujaannya itu sedang menikmati kudapan yang lezat. Itu semua terlihat dari ekspresi dan tawa Ayra. Genta tidak pernah melihat gadis itu tersenyum yang setulus itu.

"Ay?" tanyanya. Genta menarik, kemudian mengembuskan napasnya pelan. "Kangen banget gue sama lo, Ay," gumamnya. Kemudian ia melanjutkan langkahnya ke tempat Ayra.

Ayra menyeruput es teh yang selalu dia suka, rasa melati dengan es yang tidak perlu banyak-banyak. Berkat kesukaannya pada es tersebut, Ditya malah ikut-ikutan memesan dan justru ikut-ikutan suka. Walau es di gelas laki-laki itu lebih banyak. Karena Ditya pernah berkata padanya bahwa es batu adalah sahabat di hidupnya.

"Say- ...."

"Ay!" seru Genta yang berhasil mendiamkan seluruh isi kantin. "Gue kangen banget sama lo, Sayang," ucapnya dalam satu tarikan napas. "Lo apa kabar?"

Ayra mendongak dan mukanya tiba-tiba pias saat melihat senyuman Genta. Ia ingat sekali wajah laki-laki itu, bagaimana caranya tersenyum atau bagaimana caranya mengganggu Ayra. Ia tidak menyangkal bahwa selama liburan ini, tidak jarang bayangan wajah Genta masuk ke dalam pikirannya. Atau hanya terlewat saat dia sedang melamun atau sedang belajar. Intensitas kemunculannya pun bisa dikatakan setara dengan kemunculan bayangan Ditya.

Ditya ikut mendongak dan mengernyit ketika menatap Genta. Siapa laki-laki ini yang berani memanggil kekasihnya dengan panggilan sayang dan juga berani mengucapkan rindu? Dia mencoba mengingat dan satu nama muncul di otaknya. Laki-laki di hadapannya ini adalah salah satu peserta PKK setengah tahun yang lalu dan mendapatkan hukuman karena terlambat. Apa dia salah?

"Hai, Lana!" sapa Genta seraya menoleh pada Lana. "Hai, Kak Ditya! Keren banget lo, Kak, bisa jadi Gubernur Mahasiswa!" serunya.

Ditya menaikkan sebelah alisnya karena bingung, "Oo ... okay, thanks!" jawabnya. "Terus, ngapain lo di sini?" tanyanya.

"Menemui orang yang selalu gue rindukan."

Lana mendelik, "Siapa maksud lo?"

"Ayra."

***

Our Destiny Lies Above Us (Book 1- Genta)Where stories live. Discover now