2 | Tulus Menerima Kebencian

110 19 17
                                    

Parvan turun bersama Aryan tak lama kemudian untuk segera bergabung di meja makan. Nandini - putri pertama keluarga Singh - membantu Amrita menyajikan makanan di meja, sementara Nalika - si bungsu - masih sibuk dengan buku bacaannya di ruang tengah. Naina turun pelan-pelan, langkah demi langkah, agar Amrita tak menyadari keberadaannya. Ia begitu takut akan mendapat kemarahan dari Ibunya.

"Kak Naina, kemarilah, duduk bersama kami," panggil Aryan.

Amrita dan Nandini pun tersentak kaget saat Aryan menyebut nama Naina. Kedua wanita itu pun menoleh bersamaan ke arah tangga, di mana Naina berada sekarang.

"Jangan turun ke sini anak pembawa sial!!! Pergi!!! Kau adalah pembawa sial!!!" teriak Amrita secara tiba-tiba.

Amrita meraih sebuah piring, lalu melemparkannya ke arah tempat Naina berdiri.

PRANGGG!!!

Piring itu pecah berkeping-keping tepat di bawah kaki Naina. Gadis itu menangis ketakutan saat melihat bagaimana wajah Amrita yang begitu dipenuhi kemarahan. Parvan dengan cepat menahan Amrita, lalu membawanya ke kamar mereka. Aryan berlari meraih Naina agar kakinya tak terkena pecahan piring. Nandini hendak menambahkan lemparan itu, namun Nalika tiba-tiba menahan tangannya dengan cepat.

"Apa-apaan kau, Kak Nandini? Jangan ikut-ikutan!" tegas Nalika.

"Lepaskan aku Nalika! Kita harus membantu Ibu menyingkirkan si anak pembawa sial itu!" seru Nandini.

"Anak pembawa sial? Siapa itu? Kau?" tanya Nalika, setengah mengejek.

"Apa maksudmu Nalika?" bentak Nandini.

"Maksudku adalah, Kak Naina tak pernah berbuat apapun yang salah di rumah ini. Jadi kalau ada yang harus disebut sebagai pembawa sial, aku rasa itu adalah kau, Kak Nandini. Di rumah kau selalu terlihat baik di depan siapa saja, tapi saat keluar dari rumah ini, kelakuanmu itu lebih buruk daripada sampah!" jawab Nalika.

Nandini terdiam, Aryan masih berusaha menghibur Naina agar berhenti menangis di tangga menuju ke atas.

"Apakah aku harus memberitahu Ayah dan Ibu mengenai kelakuanmu itu?" ancam Nalika.

Nandini menatap ke arah Nalika, lalu balas tersenyum penuh ejekan.

"Cobalah, silahkan beritahu Ibu mengenai apa yang sudah kau lihat di luar sana. Lalu kita lihat, siapa yang akan Ibu pilih, aku atau si anak pembawa sial, itu?"

Nandini pun berlalu meninggalkan meja makan, setelah melempar serbet ke wajah Nalika dengan penuh emosi. Nalika menatap punggung Nandini yang menjauh sambil mencoba menahan emosinya sendiri. Ia menoleh ke arah Naina yang masih gemetaran di samping Aryan. Ia meraih sebuah piring, lalu mengisinya dengan nasi kenari dan kari ayam.

"Ini," Nalika menyodorkan piring berisi makanan pada Naina, "pergilah ke kamar Kakak, biar nanti aku yang bersihkan pecahan piring ini."

Naina pun menerima piring itu dengan tangan gemetar. Wajahnya begitu pucat, akibat rasa takut luar biasa yang tadi menyergapnya begitu saja saat Amrita murka. Aryan pun memapah Naina untuk melangkah menuju ke kamarnya, namun langkahnya terhenti beberapa saat untuk kembali menoleh pada Nalika.

"Terima kasih, Adikku," ucapnya,  lirih.

Mereka kembali berjalan menuju ke atas, Nalika memandangi punggung Naina yang mulai menjauh. Hatinya begitu teriris dengan semua perlakuan Ibunya sendiri pada Kakaknya.

"Entah di mana letak kesialannya Kakakku itu, nyatanya aku tak pernah merasa dia penuh dengan kesialan. Apakah semua itu hanya omong kosong? Dan apakah Ayah benar, kalau semua itu hanya takhayul?" batin Nalika, bertanya-tanya.

Amrita telah terlelap akibat obat bius yang Parvan berikan saat dia mengamuk tadi. Sudah bertahun-tahun berlalu, namun semuanya terus terjadi. Sejak Savita menyebarkan takhayul di rumahnya ketika Naina lahir, Amrita terus membenci darah dagingnya sendiri. Setelah kejadian itu juga Savita tak pernah lagi diterima kedatangannya ke rumah Keluarga Singh, Parvan sendiri yang memutuskan hal tersebut.

"Ya Allah, bahkan setelah aku menyingkirkan si penebar kebohongan itu, tetap saja istriku tidak bisa menerima kehadiran putri kami. Apa yang harus kulakukan sekarang, Ya Allah? Apakah aku harus menyerah terhadap istriku sendiri demi kebaikan putriku yang begitu tertekan dengan keadaan?" tanya Parvan, dalam sujudnya kali itu.

Ia menangis luar biasa, ia begitu lelah dengan berbagai macam cara yang diajarkannya pada Naina untuk menghindari pertemuan dengan Amrita. Tapi sampai kapan hal itu harus terjadi? Sampai kapan Naina harus menghindari Ibunya sendiri?

Naina juga punya hati, dan Parvan tahu kalau putrinya begitu terluka akan sikap Ibunya sendiri. Tapi Naina adalah gadis yang kuat, dia tetap tersenyum meskipun hatinya sakit, dia tetap ceria meski hidupnya menderita. Namun sekali lagi, sampai kapan semua itu akan terjadi?

* * *

Lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar dari kamar Naina, saat Nalika hendak mengantarkan susu ke kamar Kakaknya tersebut. Perlahan ia mengetuk pintu kamar itu, lalu membuka pintunya.

"Hai Kak, boleh aku masuk?" tanya Nalika.

Naina tersenyum, lalu menganggukan kepalanya. Nalika pun melangkahkan kakinya ke dalam kamar itu, kemudian menutup pintu agar tak ada yang tahu kalau ia sedang bersama Naina, agar tak ada lagi yang memarahi Naina.

Nalika menyodorkan segelas susu pada Kakaknya, dan disambut hangat oleh Naina.

"Minumlah, Kak, agar perut Kakak menjadi hangat sebelum tidur," ujar Nalika.

"Terima kasih, Adikku," balas Naina, seraya tersenyum bahagia.

Nalika memperhatikan buku-buku yang ada di rak buku milik Naina. Semuanya sudah terlihat lama, dan tidak ada buku yang baru.

"Apakah Kakak sudah membaca semua buku-buku, ini?" tanya Nalika.

"Ya, aku sudah membaca semua buku-buku itu. Tapi masih ada beberapa yang kubaca ulang jika sedang bosan," jawab Naina.

Nalika menatap ke arah televisi yang ada di dinding kamar.

"Kakak tidak pernah menonton televisi?"

"Menonton, tapi hanya channel yang memutar pembacaan Al-Qur'an saja, sebagai referensi memperbaiki bacaan Al-Qur'anku," jelas Naina, malu-malu.

Nalika duduk di samping Naina, lalu sama-sama terdiam selama beberapa saat.

"Boleh aku bertanya lagi, Kak?"

Naina menoleh ke arah Nalika yang tepat berada di sampingnya.

"Hmm, tentu saja boleh. Tanyakanlah."

"Apakah Kakak, tidak merasa sakit hati saat Ibu menyebut Kakak sebagai anak pembawa sial?"

Naina tersenyum. "Tidak sama sekali. Aku justru merasa bersalah pada Ibu, karena telah lahir ke dunia ini. Karena aku lahir, hidup Ibu menjadi tidak bahagia. Karena aku lahir, hidup Ibu akhirnya dipenuhi dengan kesulitan. Seharusnya, mungkin Ibu tak perlu melahirkanku, agar hidupnya lebih tenang."

Nalika balas menatap ke arah Naina.

"Kak, semua itu hanya takhayul. Tidak ada yang namanya anak pembawa sial. Kakak tidak boleh ikut termakan akan hal itu, Kakak harus melawan dan menunjukkan pada Ibu bahwa Kakak bukan pembawa sial," saran Nalika.

Naina memperbaiki letak jilbab dan saree pelengkap kurta yang dipakai oleh Nalika, seraya tersenyum penuh kasih sayang.

"Aku tidak ingin menjadi anak durhaka, wahai Adikku. Jika aku melawan, maka Ibu akan merasa sakit hati dan pada akhirnya Ibu takkan ikhlas atas diriku. Sesakit apapun hidup yang kujalani, akan tetap kujalani, selama Ibu bahagia. Kau pun harus begitu. Jangan melawan pada Ibu, jangan membantah kata-katanya, dan jangan membuat Ibu menangis. Dia Ibu kita, dia yang melahirkan kita, jadi kita tak boleh menyakiti hatinya," jelas Naina.

Nalika pun memeluk Naina dengan erat, menangis bersama-sama dalam heningnya malam.

"Ya Allah, berilah Kakakku kemuliaan, seperti bagaimana mulianya hati yang dia miliki. Amiin yaa rabbal 'alamiin," batin Nalika.

* * *

A Gift From AllahWhere stories live. Discover now