30 | Terselipnya Bahagia

64 11 6
                                    

Naina baru selesai merapikan baju-baju yang sudah kering, dari ruangan khusus menjemur di rumah itu. Ia sedang memanaskan setrika saat Yusuf pulang dari pesantren, usai mengajar anak-anak. Wanita itu menyambut suaminya, mencium tangannya, dan membantu Yusuf melepaskan sepatunya untuk di rapikan pada tempat khusus penyimpanan sepatu.

"Kenapa rumah sangat sepi? Kemana Umi dan Wita?" tanya Yusuf.

"Tadi Umi dan Wita pergi, katanya ada beberapa hal yang harus disiapkan sebelum Ayah dan Ibuku datang. Tapi mereka tidak mengatakan apa-apa padaku, tentang mereka akan pergi kemana," jawab Naina, yang kini sudah mulai menyetrika baju-baju yang diangkatnya.

Yusuf tersenyum mendengarnya, lalu mendekat pada Naina dan memeluknya dari belakang. Naina pun ikut tersenyum.

"Suamiku, aku sedang menyetrika baju, jadi nanti saja memeluknya," pinta Naina.

"Hmm..., bagaimana kalau aku tidak mau? Seharian ini aku sudah menghadapi anak-anak di pesantren dan juga menghadapi papan tulis. Jadi, saat aku pulang ke rumah tentu saja tujuanku adalah menghadapi istriku yang sangat cantik, luar biasa, dan juga pekerja keras. Itulah kenapa Umi dan Wita tak mau mengajakmu pergi bersama mereka," ujar Yusuf, sambil menopang dagunya pada pundak Naina.

Naina pun mengerenyitkan keningnya penuh keheranan dengan apa yang suaminya katakan.

"Mengapa bisa begitu?" tanya Naina.

Yusuf mengusap-usap perut Naina yang masih rata dengan lembut.

"Karena, kalau kau ikut, maka kau tidak akan berhenti mengerjakan pekerjaan rumah. Apalagi kalau kau tahu bahwa tujuan mereka pergi adalah untuk menyiapkan rumah yang akan ditempati oleh Ayah, Ibu dan juga saudara-saudarimu. Pasti, kau akan mulai membantu menyapu seluruh rumah, melanjutkannya dengan mengepel lantai, membersihkan tempat tidur, memasang gorden, dan kau akan lupa bahwa calon bayi kita butuh istirahat yang cukup selama masa pertumbuhannya di dalam kandunganmu," jelas Yusuf, dengan sangat jelas.

Naina pun tertawa. Ia benar-benar tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa, setiap kali mendengar suaminya menyebutkan semua pekerjaan rumah yang selalu dikerjakannya meski sudah dilarang oleh semua orang.

"Apanya yang lucu, sayangku?" Yusuf ingin tahu.

Naina mematikan setrika, lalu berbalik dan melingkarkan tangannya di leher Yusuf dengan mesra.

"Yang lucu adalah, suamiku yang amat sangat penyayang ini ternyata memiliki sifat lainnya yang tersembunyi, yaitu suka berceramah," Naina memberitahu.

"Hmm..., bukankah sejak kita masih di Mumbai aku memang sudah sering berceramah dan kau selalu mendengarkan ceramahku, di masjid?"

"Ya, aku tahu. Tapi yang ini lain. Ceramah yang kumaksud adalah kata lain dari cerewet. Suamiku begitu cerewet dan selalu ingin aku menghentikan pekerjaan rumah yang sedang kukerjakan, hanya untuk mendapatkan perhatian dariku. Hmm..., sepertinya kalau kita tinggal di rumah sendiri, maka aku harus punya setidaknya tiga orang pelayan, agar tugasku hanyalah memperhatikanmu saja sepanjang waktu. Bagaimana? Benar begitu, suamiku sayang?" sindir Naina, dengan sangat manis.

Yusuf pun tertawa sambil membawa Naina ke dalam pelukannya dengan begitu mesra. Naina juga ikut melingkarkan kedua tangannya pada pinggang suaminya.

"Wah, apakah sangat kentara kalau aku menginginkan seluruh perhatianmu? Padahal selama ini aku sudah sangat berusaha menyamarkannya, dengan menggunakan berbagai macam alasan, agar kau memperhatikanku tanpa kau tahu kalau aku menuntut perhatianmu," Yusuf mengakuinya secara terang-terangan.

Membuat Naina tertawa di dalam pelukannya yang hangat.

"Apa yang bisa kau sembunyikan dariku, wahai suamiku tersayang? Seperti aku yang tak pernah bisa menyembunyikan apapun darimu, kau pun juga begitu, kau tidak bisa menyembunyikan apapun dariku meski kau berusaha untuk melakukannya agar aku tak tahu," balas Naina.

Pelukan itu semakin erat, membuat Yusuf semakin jatuh ke dalam perasaannya yang begitu mencintai Naina. Begitupula dengan Naina, yang semakin mencintai pria yang telah begitu tulus menerimanya di saat orang lain belum tentu bisa menerimanya dalam keadaan yang begitu terpuruk.

Wita kini menatap Aulia sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar tak mengerti kenapa Uminya itu senang sekali mengintip akhir-akhir ini.

"Mi, sampai kapan kita akan terus mengintip Kak Yusuf dan Kak Naina dari sini? Jujur saja, aku sudah sangat kenyang menyaksikan kemesraan mereka berdua setiap hari. Jiwa dan ragaku yang masih sendiri ini meronta-ronta setiap kali melihat kemesraan yang terjadi antara Kak Ysuuf dan Kak Naina," Wita menunjukkan wajah sengsaranya.

Aulia menghapus airmatanya, akibat rasa haru ketika mendengar apa yang Ysuuf dan Naina bicarakan. Ia menatap Wita, lalu mencubit kedua pipi gadis di hadapannya itu dengan gemas. Wita pun meringis kesakitan, usai menerima cubitan di kedua pipinya.

"Dasar gadis nakal! Umi sedang senang-senangnya melihat kemesraan mereka, tapi kau malah mengganggu!" omel Aulia.

"Astaghfirullah Mi, memangnya Umi tidak pernah bermesraan dengan Abah?" tanya Wita.

"Sering..., tapi tidak semesra itu," jawab Aulia, dengan sangat jujur.

Sebuah jawaban yang membuat Wita kembali menunjukkan wajah sengsaranya di hadapan Aulia.

"Sudahlah, Mi, jangan buat aku semakin iri. Aku masih belum menemukan jodoh yang bisa diajak bermesraan saat ini," keluh Wita, setengah memohon.

"Mana mau bertemu dengan jodoh, kalau do'a yang kau panjatkan setiap hari hanya tentang kesuksesan?" sindir Aulia.

Wita pun tersenyum malu-malu sekaligus serba salah, saat Aulia menyindirnya kali itu.

"Bagaimana Umi bisa tahu apa isi do'aku?"

Aulia menangkupkan kedua tangannya di pipi Wita dengan lembut, kali ini. Ia tersenyum saat menatap keponakannya yang begitu cantik dan manis, persis seperti wajah Almarhumah Adiknya.

"Setiap hari kau shalat di samping Umi, Nak. Setiap hari kita mengangkat tangan bersama-sama setiap kali usai shalat. Jadi, bagaimana bisa Umi tidak mendengar do'amu yang selalu saja sama? 'Ya Allah, berilah hambamu ini kesuksesan, dan kejayaan'," jawab Aulia, sekaligus menirukan bagaimana cara Wita berdo'a.

PUK!!!

Sebuah pukulan ringan – lebih mirip seperti mencolek – pun mendarat di bahu Wita dari tangan Aulia yang begitu lembut.

"Makanya mulai sekarang ubah do'amu! Jangan mengucapkan do'a yang sama berulang-ulang setiap harinya! Kau sudah sukses dan berjaya, tapi tidak menikah-menikah, yang mana hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya kau gagal menjadi wanita," saran Aulia.

Wita tertawa mendengar apa yang Aulia sarankan. Ia pun segera mengangguk-anggukan kepalanya, pertanda bahwa ia akan melakukan apa yang Aulia katakan. Yusuf dan Naina pun keluar dari kamar mereka setelah mendengar suara tawa Wita yang begitu mudah dikenali.

"Wah, ada apa ini? Kenapa Wita tertawa keras sekali?" tanya Yusuf.

"Umi baru saja menceramahi dia, dan jawabannya hanya tertawa dan mengangguk," jawab Aulia, seraya mengapit tangan Naina dan mengajaknya ke ruang keluarga untuk minum teh.

Yusuf menatap Wita. "Hmm..., biar Kakak tebak, pasti kamu disuruh oleh Umi berdo'a untuk mendapatkan jodoh, ya?" tebaknya, dengan tepat.

Yusuf dan Wita pun tertawa – lebih tepatnya saling mengejek satu sama lain – lalu Yusuf menyusul langkah Aulia dan Naina menuju ke lantai bawah. Wita menatap mereka dari belakang dengan penuh kelegaan dan kebahagiaan yang tak berbatas.

"Ya Allah, terima kasih karena telah menempatkan aku di tengah-tengah keluarga yang begitu baik seperti keluarga ini. Terima kasih juga karena telah menyingkirkan hal-hal buruk yang pernah mendatangi keluarga ini di masa lalu, dan menggantinya dengan kebahagiaan yang luar biasa melalui hadirnya Kak Naina serta calon bayinya. Terima kasih Ya Allah, hamba sangat berterima kasih pada-Mu," batin Wita.

* * *

A Gift From AllahWhere stories live. Discover now