Episode Dua

17.4K 1.5K 38
                                    


Yah, yang kemarin enggak sampai 50 komentar. It's okay-lah. Semoga kalian menikmati kisah ini, ya. Enjoy....

Jangan lupa komen sebelum membaca. Selamat menikmati, hatur nuhun.



"The Sea King had been a widower for many years. And, his aged mother kept house for him," aku membaca kalimat panjang yang ada di dalam buku dongeng di pangkuanku. Di sampingku ada Ibra, anak bungsuku yang berusia empat tahun.

Anak laki-laki itu memandang buku bergambar sebelum akhirnya menatapku dengan mendongkakkan kepalanya. Memandang sosok kecil itu kembali menggoreskan luka di hatiku. Ibra memiliki bola mata hitam dan rambut lurus dengan warna serupa. Sangat mirip dengan Malik. Tidak ada yang kuwariskan pada ketiga anakku selain kulit putih pucat. Semua seolah terpantri hak paten Malik.

Sudah lewat dari tiga bulan sejak ketuk palu perceraian kami. Selama itu, aku mencoba kembali mengais sisa-sisa energi yang kumiliki demi ketiga anakku. Terdengar egois jika hingga saat ini, anak-anak belum pernah bertatap wajah dengan Malik. Aku belum siap untuk membuat mereka bertemu dengan laki-laki itu.

"What's widower, Ma?" tanya Ibra sambil mengerjapkan mata dengan polosnya.

Aku langsung tersentak mendengar pertanyaan lugu putera bungsuku. Oh, aku kecolongan. Seharusnya aku menyortir tentang kalimat yang kuucapkan saat mendongeng pada anak-anakku. Biasanya, Ibra dan Zidane, anak laki-laki keduaku yang berusia tujuh tahun, lebih sering terpaku pada gambar dan suaraku saat bercerita. Mereka jarang memperhatikan tulisan di samping gambar-gambar itu. Harusnya aku memfokuskan diriku untuk mereka. Tidak seharusnya kepalaku justru memikirkan tentang mantan suamiku yang jelas-jelas berengsek itu.

Mendongeng adalah rutinitas yang biasa kulakukan untuk anak-anakku. Sejak Aurel, anak pertamaku yang beberapa bulan lagi berusia 13 tahun, lahir, aku selalu mendongeng cerita anak-anak untuk mereka. Tidak harus malam sebelum tidur. Kapan saja ada waktu dan mereka menginginkannya. Seperti saat ini, di sore hari dan menikmati waktu di ruang tengah rumah kami di akhir pekan ini.

"Ma, what's widower? Is it a food?" tanya Ibra lagi.

Aku tahu jika Ibra tidak akan menyerah jika pertanyaannya tidak dijawab. Anak itu memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi. Apa saja yang membuatnya kebingungan, ia selalu bertanya hingga jawaban itu membuatnya puas.

"No, Ibra," suara Aurel yang menjawab. "Widower itu duda." Anak perempuan itu sedang duduk agak jauh dari kedua adiknya. Tubuhnya menyandar di kaki sofa. Ia sibuk menggambar kartun yang menjadi hobinya.

"Duda?" beo Ibra. Anak itu masih belum paham dengan penjelasan kakak perempuannya.

Aurel beranjak untuk mendekat ke arah adiknya. Ia bahkan menutup buku dongeng yang terbuka di pangkuanku dan meletakkannya di karpet. Di sampul depan itu tertera judul buku, The Little Mermaid karya Hans Christian Andersen.

"Itu, lho, laki-laki yang sudah menikah dan berpisah sama istrinya," balas Aurel lagi. Anak itu pasti memahami soal arti duda. Hanya saja, ia kesulitan untuk mengeksplor penjelasan pada adiknya.

"Kayak Papa, ya, Teteh?" kali ini Zidane ikut menimpali.

"Abang tahu dari mana?" tanyaku waspada. Zidane adalah tipe yang lebih pendiam daripada Ibra. Hanya saja, anak itu pemerhati yang baik.

"Tahu dari Oma Teti," jawabnya.

Inilah alasan mengapa aku kurang suka jika anak-anak menginap di rumah mertua tanpa diriku. Oma Teti adalah panggilan anak-anak untuk kakak perempuan ibu mertuaku-atau sekarang menjadi mantan mertua. Ia sering menghabiskan waktunya di rumah mertuaku. Tante Teti-aku memanggilnya demikian-suka sekali mengucapkan kalimat apapun yang ada di kepalanya tanpa disaring terlebih dahulu. Sering keceplosan berbicara di depan anak-anak. Sangat berbeda dengan mertua perempuanku.

After Divorce (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang