6. Akhir Tahun, Akhir Hidup

18 6 3
                                    

Akhir Tahun, Akhir Hidup

Dua hari lagi akan berganti tahun, meninggalkan banyak kenangan di 2019. Digantikan dengan tahun yang baru, orang-orang berharap mendapat keberuntungan dan mengharapkan impian yang belum terwujud, bisa terwujud di tahun ini.

Semua orang ramai menyambutnya dengan meriah dan mengabadikannya menjadi kenangan manis di tahun terakhir. Tidak mau kalah, kami juga akan membuat kenangan manis di tahun ini dengan sesuatu yang cukup menantang dan belum pernah kami lakukan sebelumnya.

"Untuk malam tahun baru nanti, apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanya Rio.

"Bagaimana kalau bakar jagung saja? Atau main petasan?" usul Reyna.

Aku yang sedang membaca buku, menatap Reyna. "Sudah terlalu sering kita lakukan, kau tidak bosan, Rey?"

Reyna menggeleng, membuatku memalingkan mata ke arah buku lagi.

Algie yang sejak tadi hanya menyimak obrolan, lantas mengangkat suara. "Kita camping saja, itu hal yang belum pernah kita lakukan, 'kan?" ucapnya, menatap ke arahku.

Aku yang merasa ditatap, langsung mendongakkan kepala. "Ke mana? Kau tahu mau camping di mana? Lusa tahun baru, yang artinya kita harus berangkat besok," ucapku mengingatkan.

"Gampang, aku yang akan mencari tempatnya. Itu cukup mudah," sahut Rio.

"Nah, beres. Malam ini kau harus tahu tempatnya, Yo. Besok kita harus berangkat pagi-pagi dan malamnya kita bisa merayakan tahun baru," atur Algie. "Bagaimana? Kalian setuju?"

"Bukankah akan sepi bila hanya kita berempat?" tanya Reyna.

Aku menyahut, "Nanti kita ajak yang lain, kau tenang saja."

Aku tahu apa maksud Reyna mengapa ia ingin mengajak banyak orang. Dia itu penakut dan paling benci dengan petualangan. Camping di alam liar dengan jumlah orang yang sedikit merupakan mimpi buruk baginya.

"Oke, deal! Besok kita berangkat, dan malam ini bersiap-siap," simpul Algie.

***

Setelah menempuh perjalanan jauh akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Hutan yang cukup lebat dengan danau dan bukit yang tidak terlalu tinggi. Tempat pilihan Rio cukup bagus, sempurna untuk berkemah. Meskipun perjalanan menuju hutan ini agak kurang mengenakkan.

Di dalam peta, dikatakan jalannya mulus. Ternyata saat dilalui tidak mulus seperti yang dikatakan, penuh berbatuan dan jalan-jalan yang berlubang. Ditambah hawa dingin yang menyeruak masuk hingga tulang. Ah, aku menyesal karena tidak memakai jaket.

Para lelaki segera mendirikan tenda. Hanya dua tenda besar, satu untuk perempuan dan satu untuk laki-laki. Sementara mereka mendirikan tenda, kami yang perempuan ditugaskan untuk memasak. Untung saja kami membawa kompor listrik.

Kami memutuskan untuk memasak di bawah pohon besar dekat tenda. Pohonnya sungguh rindang dan lebat, dengan lubang besar di tengahnya. Lubang itu kami jadikan untuk meletakkan bahan-bahan.

"Hai, apakah kalian sudah selesai memasak? Perutku sudah bergemuruh!" teriak Fahmi.

Terdengar suara Rio. "Sabarlah, Mimi. Kau pikir memasak hanya dengan membaca mantra?”

"Cukupkan panggilan 'Mimi' itu, Yoyo. Kau menghilangkan kharismaku sebagai seorang pria," protesnya.

Baru saja Rio ingin menjawab, tetapi teriakan Algie menghentikannya. "Hentikan pertengkaran tak berguna itu, ayo bantu aku memindahkan barang-barang ini."

Mereka langsung memindahkan barang-barang dari mobil ke dalam tenda.

Kami yang melihat mereka dari kejauhan hanya tertawa.

Prelude (Antologi Cerpen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang