BAB 1: AKSARA

17 0 0
                                    


Deru bunyi mesin kendaraan menemani perjalanan pulangku. Sepatu hitam hak tinggi menapaki satu per satu batu bata merah trotoar pinggir jalan. Tidak ada jingga senja di kota ini, hanya ada kabut kelabu tebal yang terpajang di langit. Di kejauhan tampak kedai-kedai kecil yang hendak memulai aktivitasnya. Berjajar rapi dengan lampu bohlam remang-remang menjadi penerangan utama. Bersiap melayani rasa lapar pelanggannya dengan hidangan yang disuguhkan. Aku bergegas menuju ke deretan kedai itu, pilihanku jatuh pada kedai betenda oranye terang. Langkahku terhenti. Mataku sibuk membaca tulisan menu yang melekat pada muka tenda. Simpul senyum terbit di bibirku. Sekejap rasa rindu terhadap kampung halamanku terobati. Kedai ini menjajakan makanan daerah asalku. Kakiku segera mengajak untuk masuk kesana. Di dalamnya tidak ada yang istimewa. Kursi kayu panjang yang diletakan rapi di sisi depan dan kiri gerobak penjual, seperti kebanyakan kedai pinggir jalan. Gerobak sekaligus meja makan digabung menjadi satu, sehingga pelanggan leluasa menyaksikan pesanannya dibuat. Dan aku segera duduk di salah satu bangku kayu.

"Pesan apa, Nduk?."

"Nasi pecel satu. Minumnya air putih hangat ya, Buk."

"Iya, sebentar. Ditunggu dulu, ya."

"Nggih."

Rasa senang merebak ke seluruh tubuhku. Sudah lama aku tidak berbincang dengan bahasa daerah asalku. Perempuan paruh baya meramu pesananku dengan cekatan. Nasi panas disajikan di atas selembar daun pisan yang dibentuk kerucut hingga bisa dijadikan wadah untuk makan. Lalu, sayur mayur rebus berada di atas lapisan nasi. Kemudian sambal kacang kental dengan aroma rempah yang kuat menyelimuti lapisan di bawahnya. Di puncak teratas, rempeyek ebi dan tempe goreng menjadi pelengkap tak terpisahkan. Kelenjar salivaku terangsang untuk bekerja lebih keras. Lambungku menabuh genderangnya. Suap demi suap nasi masuk ke mulutku. Mulutku tidak bisa makan dengan pelan. 

Labuan BulanWhere stories live. Discover now