36. bunda dan ketakutan terbesarnya

360 49 0
                                    

Perempuan berusia tiga puluh tujuh tahun terdiam seorang diri di ruangan yang biasa disebut kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Perempuan berusia tiga puluh tujuh tahun terdiam seorang diri di ruangan yang biasa disebut kamar. Menatap foto dalam bingkai, lalu tersenyum begitu teduhnya.

Seperti sebuah kaset yang masih berfungsi dengan normal, memori yang tersimpan begitu rapi tercetak jelas dalam ingatan perempuan yang usianya sudah tidak muda lagi.

Tahun di mana ia dipercayai untuk mengandung sebuah jabang bayi, tahun di mana ia harus merasakan sakitnya melahirkan, hingga ia tahu bahwa Tuhan telah menitipkan dua bayi kembar yang mungil nan polos hadir di kehidupannya meskipun Tuhan memberikan hal istimewa untuk anak perempuannya.

Semuanya ia terima dengan tulus, dengan segenap kasih sayang ia berikan pada kedua anaknya. Semuanya sama, tanpa dibedakan.

Jika ia berkata jujur maka ia akan mengatakan,

Sakit.

Sakit sekali ketika banyak orang yang mencoba menjadi monster untuk anaknya, sakit sekali ketika ada orang yang mencoba membeda-bedakan kedua anaknya. Dan sakit sekali ketika saat ia berusaha menjadi tameng untuk anaknya, seseorang yang tidak bertanggung jawab malah mengejek salah satu anaknya.

Ejekan, tatap meremehkan selalu ia lihat dengan jelas ketika banyak orang menatap anak perempuannya.

Apa yang salah dengan anaknya?

Ia tidak merugikan kalian, ia tidak membebani kalian, dan ia... tidak membuat kalian malu.

Anak perempuannya terlalu berharga, bahkan sekedar dirinya sendiri. Karena ia yakin, Jena adalah sebuah anugerah yang Tuhan beri untuk menemaninya.

Hingga tanpa terduga, terdengar isakan kecil keluar dari bibir perempuan yang biasa dipanggil Bunda.

"Bunda selalu harap kalian baik-baik aja. Terutama adek, karena Bunda selalu berdoa biar sakitnya adek gak pernah kambuh lagi. Karena itu menyakitkan, Bunda gak bisa terus menerus melihat adek yang ngerasa sesak setiap sakitnya kambuh. Bunda gak sanggup..."

Ruangan sepi itu menjadi tempat Bunda menumpahkan tangisannya, segala keresahannya, dan segala ketakutan terbesarnya. Hingga pintu kamar terbuka, menampilkan sosok suami yang berjalan menghampirinya.

"Loh, Bun, kenapa nangis?" Ayah berujar sembari berjongkok. "Kamu ada masalah? atau masalah anak-anak?"

Bunda menggeleng pelan. "Enggak ada masalah apa-apa, Mas. Cuma sedikit sedih habis lihat foto si kembar."

Ayah tampak menghela napas lega. "Sini cerita sama Mas, kenapa kamu bisa sampai nangis begini."

Maka, dengan tatapan sendu yang masih terlihat. Bunda bercerita tentang segala keresahannya dan juga... tentang perasaannya yang beberapa hari ini membuatnya merasa takut.

Takut akan hal yang tidak ingin terjadi.

⚫. *°* .  ⚫


Bermain piano adalah satu dari dua cara yang Jena gunakan saat dia melepaskan rasa penatnya. Bermain piano atau bermain dengan Mochi.

Tapi karena kucing miliknya habis dikasih makan dan langsung ambruk alias tidur. Yaudah dia gunain cara satunya, maka dari itu ia sudah berada di depan piano dengan semua jari tangan yang mengambang di tuts piano.

Detik selanjutnya, alunan melodi yang tercipta dari lagu fly milik Ludovico Einaudi terdengar begitu manisnya. Ah jangan lupakan senyum manis yang terpatri dari bibir perempuan itu membuat suasana di ruangan itu begitu menenangkan.

Lima belas menit telah terlewati dengan di akhiri permainan piano yang begitu sempurna, lantas perempuan itu terdiam sejenak dan beberapa detik kemudian dia beranjak keluar dan kembali dengan tangan yang menggenggam sebuah kamera.

Dia mau buat sesuatu,
Nanti, sebentar lagi kalian akan tahu apa tujuan yang perempuan itu lakukan.

⚫. *°* . ⚫

Laki-laki dengan setelan kaos berlengan pendek dan juga celana pendek baru saja masuk ke dalam rumah sesaat memarkirkan motornya di garasi.

Melihat ruang tamu yang gak ada orang, lantas membuatnya berjalan kembali menyusuri bagian sudut-sudut ruangan.

Sepi, begitu pikirnya.

Gak biasanya rumah sepi begini, karena biasanya Ayahnya sudah nangkring di ruang keluarga sambil nonton Tv dan Bunda yang biasanya asik membaca buku di sebelah Ayah.

Jeno membuka pintu kamar orang tuanya, lalu berujar, "Bun, tumben ru—" kalimatnya terputus ketika Ayahnya mengisyaratkan untuk diam. Menuruti apa kata Ayahnya membuat ia mengerakkan bibirnya seakan bertanya; "Bunda kenapa?"

Ayahnya enggan langsung menjawab, beliau malah berjalan mendekati anak lelakinya.

"Bunda ngantuk," jawab Ayah singkat. "Motor kamu di bawa ke bengkel emang kenapa? ada yang rusak?"

"Gak ada, itu cuma ganti ban dalam yang di depan aja. Eh iya, yah, Jena mana?"

"Main sama Mochi kali, bang."

"Gak ada, si kucing buntel malah lagi bobo."

"Di kamar mungkin, kalau gak ya paling di ruang musik main piano."

"Abang mau ke Jena dulu, yah. Tapi itu si Bubun gak sakit kan?"

Bubun— panggilan Bunda yang Jeno kasih, tapi dia jarang sih manggil Bunda dengan panggilan Bubun.

"Sehat, bang, Bunda cuma ngantuk makanya tidur. Kamu juga kalau ngantuk mending tidur siang dulu," kata Ayah yang mendorong bahu Jeno pelan. "Sana, Ayah mau masuk lagi."

"Iya, yah." balasnya lalu beranjak pergi dari depan pintu kamar orang tuanya.

Jeno tipikal orang yang gampang gak tenang kalau belum liat keberadaan saudaranya sendiri. Meskipun dia udah tau kembaran pasti di rumah, dia tetap mau lihat sendiri apa yang sedang dilakukan oleh kembarannya. Kayak sekarang aja, dia nyari Jena di kamarnya, lalu berakhir nyari  di ruang musik.

Seketika, rasa gak tenangnya itu melembur ke udara saat melihat kembarannya tengah membersihkan beberapa alat musik yang ada di dalam ruangan.

"Tadi main piano?" tanya laki-laki itu pada perempuan yang baru saja menurunkan bagian atas yang berguna untuk menutupi tuts piano.

"Iya, cuma sebentar."

Menganggukkan kepala sebagai respon, lalu Jeno melihat barang-barang sekeliling. Dan netranya jatuh pada sebuah kamera yang berada di atas meja kecil.

"Kamera kok bisa ada di sini? kamu yang bawa?"

"Ohh itu—" Jena menatap sekilas kameranya, lalu tersenyum tipis. "Iya, rencana pas aku main piano mau aku videoin, tapi gak jadi soalnya keliatan aneh."

— fraternal J, Jeno Jena. —

fraternal J  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang