15. di jemput

707 110 3
                                    

Jena tersenyum ketika melihat Aylin keluar kelas dan di pangkuannya ada dua kotak bekal makan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jena tersenyum ketika melihat Aylin keluar kelas dan di pangkuannya ada dua kotak bekal makan. Tadi disaat jam belajar, Jena dipanggil ke ruang musik yang mengaruskan dia lebih cepat keluar kelas disaat yang lainnya masih belajar, dan sekarang waktunya jam istirahat.

“Tadi kenapa di panggil?” Tanya Aylin lewat gerakan tangannya.

Jena memberhentikan jalannya, dia menatap Aylin.“Nanti aja aku ceritain habis makan.” Setelah mengatakan itu dia membantu Aylin mendorong kursi rodanya.

“Oke.”  Ucap Aylin dengan suara tak jelas.

Jena membawa Aylin ke taman belakang sekolah, tempat ini memang tempat biasa yang mereka singgahi saat jam isitrahat. Tidak hanya mereka berdua saja di sini, karena memang kebanyakan teman-temannya seperti mereka lebih suka memanfatkan taman belakang sekolah hanya sekedar untuk memakan bekalnya daripada pergi di kantin.

“Tadi pak Anwar bilang kalau ada lomba piano, terus aku jadi kandidat yang bakalan di ajukan ke sekolah.” Ujar Jena sambil memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutnya.

“Wah bagus kalau begitu, aku harap kamu yang dipilih sekolah.”

Jena tersenyum lembut, “Semoga.”

Setelah itu, nggak ada obrolan lagi karena mereka menghabiskan bekalnya terlebih dahulu.

Kamu minum obat?Tanya Jena menunjuk bungkus obat yang Aylin keluarkan dari saku roknya.

Aylin mengangguk sekilas, dia membuka tutup botol minumnnya, lalu mengambil satu kapsul yang langsung ditelannya.

“Obat pereda sakit jantungku.” Begitu katanya.

Jena menatap Aylin, dia merasa prihatin melihat kondisi sahabat satu-satunya itu.

“Aku baik-baik aja, rasa sakitnya gak setiap hari, tapi kata dokter Rafa emang di suruh habisin obatnya.” Jelasnya ketika melihat raut wajah Jena.

Jena menghembuskan napasnya pelan, “Aku yakin kamu pasti sembuh.” Digenggamnya tangan Aylin guna menyemangati sebagai sahabat.

Aylin ikut membalas menggengam tangan Jena. “Kalau aku kenapa-kenapa. Kamu mau jadi orang yang izinin aku donor organ tubuhku ke orang yang membutuhkan?”

Perkataan Aylin yang serius ngebuat Jena diam, bahkan Jena tidak menduga jika Aylin akan menanyakan pertanyaan yang bahkan dia yakin jika dia tidak pantas memberi izin.

“Kenapa ngomong begitu?” Tanya Jena tanpa menjawab perkataan Aylin.

Aylin menggeleng kecil, “Tiba-tiba kepikiran kalau umurku gak bakalan lama lagi.” Jawabnya, dia menundukkan kepalanya.

“Jangan ngomong gitu, yang tau umur kita bakalan panjang atau nggak, cuma Tuhan.” Jena menghela napas, lalu kembali melanjutkan omongannya. “Kalaupun aku izinin, itu gak berguna kalau keluarga kamu gak merestui. Lin, niat kamu baik, tapi prasangka kamu yang gak baik karena kamu sama aja mendahuli takdir Tuhan.”

Aylin mendongakkan kepalanya, “Aku cuma mau di anggap manusia berguna bahkan ketika aku meninggal,” Matanya memerah menahan air mata yang berdesak ingin keluar. “Udah cukup selama ini aku ngerepotin banyak orang, aku gak mau nantinya makin ngerepotin banyak orang saat aku meninggal.”

Jena mengusap pipi kanan Aylin saat satu bulir air mata jatuh. Jena tidak membalas ucapan Aylin, dia membiarkan Aylin menangis guna menghilangkan sesuatu yang susah dijelaskan, namun Jena cukup tahu karena nyatanya Jena pun pernah ada di posisi Aylin.

⚫⚫⚫

“Sampai ketemu besok Jena,” Kata Aylin ketika dia melihat mobil jemputannya berjalan menuju tempat mereka. “Oh iya, kalau kamu udah kerjain setengah tugas bu Ica, jangan lupa kirim ke aku ya, nanti aku lanjutin.

Jena mengangguk, “Siap. Mau bantu ya?” Kata Jena yang tangannya sudah siap di pegangan kursi roda Aylin berguna untuk membantunya masuk ke dalam mobil.

“Gak usah Jen, lagi pula nanti ada supir yang bantu aku.” Tolaknya.

“Baiklah.”

Tepat setelah itu, supir jemputan Aylin turun, lalu berjalan mendekati Aylin. “Non, mari saya bantu.”

Aylin mengangguk sekilas, lalu beralih menatap Jena. “Di jemput kan?”

“Iya dijemput saudara kembarku.”

“Begitu, ya sudah aku pulang duluan ya.” Aylin melambaikan tangannya dan Jena membalas lambaian tangan dengan senyum yang terukir di wajahnya.

Selepas kepergian Aylin, Jena hanya melirik jalanan di sebelah kanannya, masih belum ada tanda-tanda kedatangan motor Jeno. Sambil menunggu Jeno datang, kakinya dia gunakan untuk menendang kerikil kecil. Selang beberapa menit, dia mengadahkan kepalanya ketika mengetahui ada motor yang berhenti di depannya.

“Loh, kalian ngapain ngikut?” Tanya Jena menatap motor beserta pengemudinya yang ada di belakang Jeno.

Jadi gini, di belakang motor Jeno ada Haechan, Renjun, Jaemin dengan motornya masing-masing. Jeno emang gak sendirian ngejemput Jena, karena Haechan, Renjun, dan Jaemin pada mau ikut sekalian mau kerja kelompok di rumah Jeno.

“Kita mau kerja kelompok.” Kata Renjun, “Daripada pulang dulu mending langsung aja.” Sahut Haechan.

“Aku sama mereka mau kerja kelompok.” Kata Jeno mengulang kalimat temannya agar Jena paham apa yang di katakan teman-temannya.

“Oh, gitu. Aku pikir kalian mau tawuran.” Celoteh Jena asal.

“Enak aja, orang ganteng gini gak level tawuran.” Celetuk Jaemin yang masih setia nangking di atas motornya— gak dia aja sih, Haechan, Renjun sama Jeno juga masih nangkring di atas motor.

“Kata Jaemin, orang ganteng gak level tawuran.” Ucap Jeno lagi.

Jena tertawa kecil, “Iya tahu.” Balasnya, lalu menaiki motor Jeno. “Tapi ya, Jen, kamu sama teman-teman kamu jadi objek tatapan orang lewat.”

Emang. kalau kata Jaemin, susah jadi orang ganteng.

Jena menabok punggung Jeno pelan, untungnya Jeno baru nyalain mesin motornya. “Makanya jadi orang jangan ganteng banget.”

— fraternal J, Jeno Jena. —

f/n :

haloo~ astaga baru bisa updet skrng hihi, maap ya dri kemaren gak bisa updet.

kabar kalian gimana nihh?

oh iya gini, jujur deh kalian ngerasa bingung gak kenapa perdialog ada yg aku miringin trs ada yg nggk? kalau ada yg bingung, aku jelasin nih, gini contoh scene chapter ini, dialog jena gak aku miringin sedangkan jeno aku miringin, karena apa? karena di sini jenanya aku buat kalau dia ngomong pakai mulut, gak pke bhs isyarat, tpi kalau jeno pke bhs isyarat. tapi.. jena kalau ngomong ke aylin, dia pke bhs isyarat kok makanya kenapa kalau dialog antar jena aylin aku miringin. skrng udh paham kan ya?

oh ya, tau sih ini topik melenceng dari cerita, tpi aku mau bahas ttg haechan. gini, waktu itu kan rambut haechan sempat gondrong kan, terus kata echan ada komentar yg bilang klo echan ga cocok sm rambut panjang, makanya dia motongin rambutnya. jujur aja ya, aku liat echan rambut gondrong tuh cakep tau, aura cowoknya keluar berkali lipat, tapi untungnya dia bilang bkln panjangin rambutnya lagi huhuh seneng bngt deh ^^

but, the important point is that if you don't like haechan's hair style, please don't say it on your social media, and can you save it yourself.

bener kata haechan, berpikirlah sebelum bicara, bukan bicara dulu lalu berpikir.

udah ah, segitu aja yg mau aku bahas. intinya hati-hati dlm berketik.

fraternal J  Where stories live. Discover now