Dua Puluh Empat

1.3K 91 16
                                    

Adam

Perasaan ini sungguh bukanlah hal yang ia ingin rasakan dari keadaan keluarganya yang sedang berantakan. Adam tidak tahu bagaimana kelanjutan hubungan kedua orang tuanya, ia sungguh sudah lelah. Ditambah dengan keadaan Brian yang masih belum ditemukan, benar-benar semakin membebani keadaannya sekarang.

Dirinya sudah tidak tahu harus bagaimana, pun ia berharap kepada bantuan Alkan, tak bisa juga ia melakukannya. Mereka berdua hanyalah remaja yang diikutsertakan dalam urusan orang dewasa, di mana hal tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.

Ia dan Alkan seperti sebuah jembatan untuk permasalahan ayahnya dengan mantan kekasihnya, yang tentu saja menghancurkan kehidupan keluargnya. Juga bagi Alkan, hal tersebut tidak ada yang menguntungkan baginya. Hanya kerugian yang didapat Alkan.

Namun, mana mungkin Alkan tega meninggalkan Adam. Ketika dirinya sudah terlanjur kuyup bersama permasalahan keluarga Adam. Mereka hanyalah dua insan, remaja laki-laki lebih tepatnya, yang menjadi korban keegoisan orang-orang dewasa di sekitarnya.

"Gue bener-bener minta maaf, Kan." Adam patah bersama dengan rentetan kalimat yang dapat didengar jelas oleh Alkan.

"Semua ini salah keluarga gue. Harusnya lo gak ikut andil dalam permasalahan ini." Adam putus asa.

Adam menghembuskan napasnya dengan berat. Menatap Alkan, pemuda di sampingnya, dengan putus asa. Ia tidak ingin memperlihatkan keadaan dirinya yang lemah dan tidak berdaya seperti ini, hanya saja ia tidak tahu harus mengadu kepada siapa lagi selain pada Alkan.

"Gue gak akan bilang kalau gua merasa gak terbebani dengan semua ini, Dam. Tapi yang mau gue pastiin ke lo kalau gue gak akan ninggalin lo, setelah gue tahu permasalahan ini gak semudah yang gue kira." Alkan berucap dengan rasa percaya diri yang begitu tinggi di mata Adam.

Adam berpikir bahwa ia sudah tidak peduli dengan bagaimana kelanjutan dari kehidupannya saat ini. Ia ingin sekali menganggap bahwa yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat ini hanyalah sebuah mimpi. Akan tetapi, ia tahu pasti bahwa ini semua bukan sebuah mimpi ataupun rekayasa semata.

Adam mencoba untuk menetapkan hati dan pikirannya untuk bisa menerima bahwa masih ada satu sosok di dekatnya yang bersedia untuk menemaninya, padahal pemuda itu tahu pasti bahwa hal yang akan dihadapi mendatang bukanlah hal yang mudah. Adam benar-benar merasa lega sekaligus bersalah pada teman sekelasnya. Juga ia lelah dengan segala permasalahan ini.

Ayahnya yang menyembunyikan banyak rahasia.

Juga, keluarganya yang ia anggap baik-baik saja, ternyata tidak.

"Gue minta maaf, Kan."

Adam hanya bisa mengutarakan permintaan maaf pada pemuda di hadapannya. Ia berpikir bahwa ini merupakan waktu yang sangat sulit bagi dirinya untuk bisa bertahan. Ia tidak ingin terlihat begitu lemah dan egois di depan Alkan, ia ingin menunjukkan dirinya yang ceria, usil, dan terkesan dingin di hadapan Alkan. Hanya saja sekarang bukan itu yang bisa ia tampilkan.

"Stop minta maaf terus, Dam. Gue gak tau lo salah di mana sama gue."

Adam bungkam dan akhirnya menatap telapak tangannya yang masih digenggam oleh Alkan. Rasa hangat dari telapak tangan pemuda di depannya benar-benar membuat dirinya sedikit merasa tenang, tetapi sulit untuk bangkit dalam waktu yang cepat.

Adam berusaha sekuat tenaga untuk tidak kembali menangisi takdirnya yang sangat tidak berpihak pada dirinya, juga ingin menjadi sedikit lebih kuat untuk menghadapi situasi ini. Namun, ia hanyalah remaja yang baru menginjak tujuh belas tahun, ia masih di bangku sekolah menengah atas, masih seorang anak laki-laki yang masih butuh perhatian dari orang tua dan teman-temannya. Bukan kehidupan seperti ini yang dibayangkan oleh Adam.

BeginingWhere stories live. Discover now