Secret: Home

712 90 20
                                    

Sangat berduka cita atas musibah yang menimpa SJ 182
Semoga doa kita semua tersampaikan untuk seluruh korban
Semoga waktu menyembuhkan luka yang ditinggalkan


Cerita ini hanya fiksi.
Latar belakang tokoh yang digunakan bukan merupakan hak milik penulis, melainkan meminjam dengan dilakukan beberapa penyesuaian. 


| 𝕾𝖊𝖈𝖗𝖊𝖙: 𝕳𝖔𝖒𝖊 || 𝕾𝖊𝖈𝖗𝖊𝖙: 𝕳𝖔𝖒𝖊 | | 𝕾𝖊𝖈𝖗𝖊𝖙: 𝕳𝖔𝖒𝖊 | 



3:42 p.m.

"Yah, aku sebelah kamu," gerutu Karina. Mau tidak mau ia harus menerima bahwa seat mate perjalanan pergi dan pulangnya kali ini adalah seorang Kim Winter. Bukan masalah sih, memang Winter akan banyak— sangat banyak bicara, mulai dari hal yang dapat ditangkap oleh nalar sampai hal-hal gaib yang bahkan selama 21 tahun hidupnya Karina tak pernah terpikir akan hal itu sedikitpun.

"Rin, kalau aku rajin nonton Youtube 18 jam sehari, berarti aku rajin atau malas?" Begitu contohnya. Kalau menjawab, rasanya seperti orang sinting, tapi kalau tidak dijawab, penasaran juga ya, oleh karena itu pada akhirnya Karina menggunakan sisa-sisa tenaga yang ada di otaknya untuk memikirkan hal itu bersama-sama dengan si pirang.

Terkadang Karina berpikir, apa ini cara Winter untuk membantu mengalihkan pikirannya dari hal-hal negatif selama perjalanan, atau memang tidak sengaja melakukan hal itu karena terlalu bosan, mengingat frekuensi dirinya dengan Winter tak sekuat Ningning dengan Winter, dan dirinya juga tidak sekreatif Giselle untuk mengangkat topik pembicaraan.

"Hey! Bengong aja," Winter menjentikkan jari tepat di depan wajah Karina. Tentu saja gadis itu sedikit terlonjak.

"Aduh, aku udah bilang takut naik pesawat, jangan ngagetin gitu dong," Winter membetulkan posisi duduknya, sekilas mengangkat kedua bahunya sebagai gestur tidak peduli.

Dekat Jendela, seharusnya kursi Karina ada di samping jendela. Ketakutan memaksanya untuk bertukar tempat dengan Winter yang dengan senang hati menukarnya. Tentu saja, pemandangan dari jendela pesawat adalah yang terbaik.

"Dari segini banyaknya orang bukan kamu aja yang begitu kok. Berdoa, kalau kamu mulai takut, pegang tangan aku, kita ngobrol-ngobrol," Winter menoleh dan tersenyum singkat sebelum memasang bantalan di lehernya.

"Ya sih, tapi. Duh, pegang deh, jantungku nggak karuan begini," Karina mengambil tangan Winter untuk diletakkan di dadanya. Betul saja, rasanya ada yang menendang-nendang telapak tangan Winter dari balik pakaian si gadis rambut hitam di sebelahnya.

"Heh, tempat umum," suara itu mengejutkan keduanya. Sosok Giselle berdiri tepat di sebelah mereka, membawa sekantong permen dan cokelat. Rutinitas Winter memang, memakan sekeping cokelat sebelum lepas landas.

"Ketauan yaaaa," goda Ningning sambil mengerling jahil. Seraya mengikuti Giselle yang telah lebih dulu menuju kursi mereka. Winter mengambil beberapa cokelat lebih banyak, bahkan Karina yang biasanya menolak untuk memasukkan apapun ke dalam lambungnya sebelum pesawat mendarat, mengidamkan cokelat rasa mint.

"Gimana? Lumayan tenang kan?" Karina menoleh, lalu menggeleng. Bibirnya masih terkatup, mulutnya masih menyesap cokelat yang Giselle berikan padanya tadi.

Pesawat akan segera lepas landas. Karina menyandarkan kepalanya seraya menutup kedua matanya. Tangan terkepal, benak berbicara; memanjatkan beribu doa, untuk keselamatan baginya, bagi Winter, bagi Giselle, bagi Ningning, bagi seluruh staff, serta seluruh penumpang yang berada di pesawat ini.

The Other Side of The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang