Tawa

38 7 1
                                    

TAWA
(Puput D. S)

Semilir angin berhembus pelan membelai setiap kelopak mawar yang jatuh jauh dari tangkainya. Gadis dengan surai panjang. Senyum manis tertera di wajah miliknya meski beberapa baret goresan luka  masih setia bersemayam meninggalkan bekas yang beda jauh dengan luka di hatinya.

Butuh waktu, ya memang butuh waktu untuk memuliakan.
Gadis itu, Fany meski rasa nyeri dari lukanya kadang masih terasa tangannya tetap berusaha memegang tongkat  yang tadi digunakan untuk membatunya berjalan hingga tiba di bangku taman. Senyumnya masih menghiasi wajahnya mengingat siapa yang akan ditemuinya.  Dia, seseorang yang tak pernah melihat bagaimana ia.

“Deniiiii, awas ya kalau kamu terlambat  lebih dari dua menit saja kau harus mentraktirku es krim hari ini titik! “ Fany tersenyum  setelah menyelesaikan pesan suara untuk Deni sahabat lama yang entah bagaimana kini bisa bertemu kembali.

Mungkin takdir, tapi mungkinkah? Atau hanya kebetulan? . Fany sendiri tak tau harus percaya  atau tidak.
Bila takdir kenapa baru sekarang, setelah ia terluka. Kenapa tidak dari dulu saja.

Fany menatap lurus kedepan, mengalihkan perhatian pada bisingnya kendaraan dekat taman yang memang entah mengapa menjadi lebih menarik dari pada ponselnya.
“Fan... “suara yang  sangat familiar tiga tahun terakhir menbuat senyum Fany memudar dalam sekejap. Wajahnya mengeras. Fany hafal betul suara itu. Suara yang....

***   

Dengan  keadaan yang tidak cukup untuk dikatakan baik jika perban menghiasi kaki dan wajahnya serta suasana yang menjadi kaku dengan aroma membuat mual karena obat. Kini Fany menatap tak mengerti pada sosok di sampingnya  Zain.

“Gue mau .... hubungan kita cukup sampai disini dan lo pergi dari hidup gue !” Zain  memalingkan wajahnya kearah jendela. Dimana ruangan beraroma obat itu mendadak menjadi sunyi. “Mulai hari ini kita putus “.
“Ta-tapi ke-kenapa” suara Fany tercekat. Berat rasanya meski itu hanya tinggal mengucapkannya  saja.

Wanita mana yang tak berat mengatakan isi hatinya saat  sedetik sebelumnya baru saja merasakan yang namanya patah hati. Sakit. Ya, itu tentu. Meskipun itu bukan untuk yang pertama kali seseorang rasakan, tapi rasanya akan tetap sama. Sakit.
“Ckckck, lo pikir gue sudi punya kekasih kaya lo?  Nggak,  gue nggak sudi”

Manik hitam milik gadis yang terbaring lemah kini semakin rapuh. Genangan air yang sedari tadi ditahan kini sudah tidak tertahankan lagi, hancur sudah pertahanannya. Memangnya siapa yang akan kuat mendengar suara yang terbiasa berkata manis tiba – tiba dingin, acuh dan dalam waktu yang sama menghancurkan harapan yang lama mereka bangun.

Hanya orang yang tidak punya perasaan yang akan tertawa saat merasakannya.
“Ta-tapi kenapa” lagi hanya kata itu yang dapat keluar dari biibir Fany.
“Lo mau tau kenapa?” nada suara Zain naik dengan tatapan tajam pada Fany.”Lo sekarang pincang, lo sakit – sakitan, dan lo udah ngga perfek lagi kaya dulu”.

“Lalu, setelah semua yang kita lewati kau... “
“Ya”
“Dan sekarang sudah ada yang lebih sempurna dari pada lo”
Deg

Semudah itukan mengakhiri sebuah hubunga?  Fany terdiam menelaah perkataan kekasihnya, oh ralat mantan karena hubungan keduanya  sudah didiakhiri beberapa detik yang lalu.

Beginikah akhir dari hubungan mereka? Terlalu singkat. Siapa yang akan menyangka jika semua berakhir seperti ini.

Orang yang seharusnya memberinya support saat dia sakit justru membuatnya merasa beribu kali lebih sakit, menorehkan luka jauh hanya dengan kata

Kecewa, itu pasti.
Setelah kecelakaan yang ia alami sekarang ia harus bangkit seorang diri dengan keadaan seperti ini.
Berengsek ,dia berengsek. Takpedulikah dia paling tidak menunggu sampai ia pulih.
Dasar baringan.

Sumpah serapah terus keluar dari mulutnya memaki Zain. Sungguh patah hati membuat seseorang menjadi gila.

***  
“Ya, ada apa?” Fany menoleh ke samping tepat dimana suara itu berasal dengan senyum masih terpatri di bibirnya seolah tak pernah terjadi apapun dua pekan yang lalu. Mengabaikan keterkejutannya saat menyadarinya dan bersikap seolah biasa saja.

Zain tersenyum miris. Mungkin jika dia boleh meminta dia akan memilih gadis yang pernah menjadi kekasihnya itu marah padanya, memukulnya, atau apapun asal dapat mengurangi rasa bersalah yang dia rasakan. Bukannya tersenyum yang justru membuat dia merasa lebih bersalah dan sakit secara bersamaan.
“Maaf” Zain menundukan kepala menatap jalan yang sekarang menjadi tempat dia berpijak.

“Untuk apa “
“Maaf untuk semua yang terjadi, maaf telah menyakitimu”
“Zain, kau kenapa?” senyum itu lagi, Zain hanya meneguk salivanya melihat reaksi Fany. ”Sudahlah lupakan saja, anggap semua tak pernah terjadi “

“Sekarang aku tau, bahwa ada orang lain yang lebih baik untukku dan juga lebih baik bagimu “
“Tapi-“
“Lupakan...semua sudah terjadi”
Tatapan Fany menatap jauh dengan kedua tangan yang memegang tongkatnya agar bisa berdiri.
“Aku sudah memaafkanmu”
“Sungguh?”
“Ya”

“Haiii” tepukan di bahu Fany membuatnya mengalihkan netranya melihat siapa orang yang ada di belakangnya. Senyumnya seolah tak pernah luntur dan semakin manis saja saat tau siapa yang datang. “Deniiiii, kau terlambat lima menit”
“Iya aku tau, maafkan aku”

“ Tapi tak semudah itu! “ Fany menyerigai menatap Deni yang kini berdiri dengan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
“Iya, iya nanti ku belikan tapi jangan banyak – banyak”
“Ngga, paling sampai aku puas”
Sontak Deni mengusap rambut Fany gemas “ Dasar kau ini ku cubit pipimu “
“Jangan” Fany memasang wajah memelasnya
“Kenapa”

“Sakit”  tawa Fany kembali sesaat setelah menyelesaikan ucapannya melihat ekspresi Deni, tak pernah menyangka masih ada orang yang peduli padanya meski dia dalam keadaan yang buruk sekalipun.
“Sekarang “

“Ya, tentu saja” Fany membalikan badannya “Dan satu lagi...  Jangan pernah mengemis cinta pada wanita manapun tapi minta maaflah pada mereka jika kau melukainya. Aku harap kau mengerti ”.

“Oya aku hampir lupa, ini Deni  teman terbaikku”

“Deni “
“Zain”
“Kami pergi dulu “ Zain mengangguk dan hanya bisa menatap gadis itu pergi semakin menjauh dengan tangan orang lain yang membantunya berjalan hingga hilang diantara para pejalan kaki menyusuri taman. Sungguh tawa itu tawa tanpa beban, yang justru membuat dia tertawa semakin miris tentang  betapa bodohnya dia.

Menyesal, ya, dia menyesal telah menyia – nyialkan  gadis sepertinya.
Kini dia mengerti betapa berartinya Fany. Dan dia salah karena melukainya dengan pergi saat Fany butuh dia. Kini dia tau apa yang Fany rasakan waktu itu meski Fany hanya tertawa beberapa menit yang lalu dan kini melenggang pergi dengan digandeng tangan lain.




“Terkadang merelakan lebih baik dari pada mempertahankan jika suatu saat akan menjadi hal yang sama.
Dan tak perlu menyesali jika itu sudah terjadi, tapi instropeksi diri.”

Luka (Cerpen Antologi)Where stories live. Discover now