08 || Gangguan Kecemasan Sosial

2.1K 212 2
                                    

[lonely]

Karena sesungguhnya, orang lain tidak akan mengerti sebelum mereka merasakannya sendiri.

•••

Aresha menggigit lengan Gibran dan berlari keluar dari kantin. Gibran hanya mengendikan bahunya tak acuh lalu menghampiri sahabat tercintanya.

"Lo apain tuh cewek sebangku lo?" tanya Titan, cowok itu sedang asik makan bakso buatan ibu kantin.

"Mana gue tau, pinjam duit ntar gue bayar." Gibran duduk di depan Titan. Uang jajannya dipotong oleh sang Mama untuk membeli makeup, ia juga harus merogoh kocek sebesar lima ratus ribu rupiah untuk membeli aneka cemilan, tentunya untuk Gina yang tak terima karena si Bryan telah disulap menjadi bencong.

"Pesen aja ntar gue bayar, gak usah sok-sokan bilang pinjam kalau nggak dibayar."

Gibran hanya terkekeh pelan, "solidaritas, Bro."

"Solidaritas sih solidaritas, tapi kalau gue pinjam gope aja jadi hutang," ujar Titan mengebu-gebu.

"Santai dong, Bro."

Saat ini mereka sedang makan di kantin lantai dua yang dikuasai anak kelas sepuluh dan sebelas, sedangkan kantin lantai tiga dikuasai kelas dua belas.

Gibran naik ke atas meja, diikuti oleh Titan yang sudah selesai makan. Seorang adik kelas melempar mereka sapu lidi dan sapu injuk milik ibu kantin. Dengan sigap kedua cowok itu menangapnya.

Waktunya konser dadakan.

"Hei komunitas," teriak Gibran, tipikal buaya sekali, ia memegang sapu injuk yang ia anggap sebagai mikropon.

"Jreng," ujar Titan sambil memetik sapu lidi seolah-oleh itu adalah gitar.

"Mau request lagu apa para penghuni neraka?"

Para penghuni kantin menyoraki kelakuan dua manusia yang sudah tidak bisa dibilang normal itu, si pembuat onar dan pengheboh suasana.

"Fans gue teriak-teriak karena gak sabar pengen dengar suara emas gue nih."

"Bumi ini, semakin panas.
Bagai air, mengalir deras."

"Kehidupan pun semakin bebas
Kebebasan pun tidak terbatas."

"Aselole jos." Titan loncat ke bawah sambil memetik sapu lidi, bergaya seolah dia adalah seorang gitaris.

"Engkau telah terbujuk rayuan Titan." Titan melotot dan memukul kepala Gibran dengan sapu lidi.

"Woy, apa-apaan lo pukulin gue Markonah?!"

"Eh Sarbo'ah, lo pikir gue setan apa? Enak aja lo ganti kata setan jadi Titan," sungut Titan tak terima. Gibran turun dari meja dan menatap Titan garang.

Mereka saling melempar tatapan permusuhan. Lalu Gibran merangkul bahu Titan.

"Sesama setan jangan musuhan."

•••

Aresha menangis tersedu-sedu di taman sekolah yang sepi, ia duduk di bangku taman sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Gadis itu tidak suka ramai, tidak suka ditatap banyak orang, bisa pergi ke sekolah saja sudah menjadi sebuah keuntungan baginya.

Tiba-tiba ia merasa ada sebuah tangan yang mengelus rambutnya, seolah berusaha menenangkannya. Aresha mendongkakan kepalanya, ia melihat Keano terseyum memperlihatkan lesung pipinya.

Keano menyodorkan sebuah cokelat padanya. "Katanya cokelat bisa menghilangkan kesedihan seseorang." Aresha mengambil cokelatnya, ia sama sekali tidak berniat untuk memakan cokelat tersebut.

Keano mendaratkan bokongnya di sebelah Aresha. "Lo kenapa nangis?" Aresha menunduk dan menggeleng pelan.

"Gue tau kalau kita belum sedekat itu sampai-sampai lo harus kasih tau gue alasan lo nangis."

"Meskipun gue gak tau alasan lo nangis, gue siap jadi tempat bersandar ketika lo lagi sedih," sambungnya. Saat itu pula, tanpa sadar Aresha menaruh harapan pada sang ketua OSIS.

•••

"Lo kenapa sih diam aja? Lo sehat kan?" tanya Arisha, gadis itu sedang fokus menyetir mobilnya.

"Kakak tau kan kalau aku suka diam, kenapa sih kakak tiba-tiba nanya gitu?!" Arisha mengernyit heran, Aresha tiba-tiba saja sensitif.

Sebenarnya suasana hati Aresha sering berubah-ubah, Arisha baru menyadari hal itu.

"Re, kalau ada masalah cerita sama gue."

"Apa yang perlu aku ceritain lagi, kalau pun aku cerita apa kakak bakal ngerasain apa yang aku rasain? Kakak gak ngerti rasanya hidup tapi gak berguna sama sekali, gak ngerti rasanya jadi orang bodoh kayak aku,  gak ngerti rasanya dikekang, gak ngerti tersiksanya aku jalanin hari-hari, kakak gak nger—" Aresha terisak pelan dan membiarkan ucapan selanjutnya menggantung di udara.

Dia merasa bahwa hidupnya benar-benar tidak berguna, untuk orang lain bahkan untuk dirinya sendiri.

Arisha memberhentikan mobilnya di parkiran sebuah rumah sakit yang ada di ibu kota. Ia menarik Aresha masuk ke rumah sakit itu dan berniat membawanya ke sebuah ruangan.

"Kakak mau apain aku?"

"Hari ini gue ada janji sama Om Guntur."

Arisha mengetuk ruangan dokter Guntur dan masuk setelah mendengar sahutan.

"Eh kalian, duduk dulu." Dokter Guntur tersenyum ramah pada kedua gadis itu. Aresha menunduk dan meremas rok sekolahnya.

"Ris, gimana sama adik kamu? Apa ada perkembangan atau keluhan?" tanya dokter itu. Meskipun sudah tidak terbilang muda lagi, tapi ketampanannya tidak berkurang sama sekali.

"Om, saya rasa kalau Aresha depresi." Dokter Guntur membenarkan letak kaca matanya. Entah bagaimana bisa Arisha sedekat itu dengan Guntur, sampai-sampai ia memanggilnya om, bukan lagi dokter.

"Kenapa kamu bisa menyimpulkan begitu?"

"Aresha kayak gak punya semangat hidup aja, perasaan dia juga sering berubah-ubah, dia juga terlihat apatis terhadap lingkungan sekitarnya."

"Om ngerti, depresi termasuk salah satu gejala fobia sosial yang diidapnya."

Aresha Ravan Arabella, gadis itu mengidap gangguan kecemasan sosial sejak satu tahun yang lalu. Namun ia baru berkonsultasi ke dokter baru setengah tahun, itu pun karena Arisha yang menyadari kejanggalan pada Aresha.

Aresha yang biasanya ceria menjadi pendiam, tidak pernah mau diajak ke suatu tempat atau pun pesta, ia juga sering merasa panik saat ada yang menelpon.

Akhirnya Arisha membawa adiknya pada psikiater kenalannya. Guntur menyimpulkan bahwa Aresha mengidap gangguan kecemasan sosial. Arisha pun menduga bahwa penyebabnya adalah kejadian satu tahun lalu. Aresha menolak untuk melakukan terapi, ia lebih memilih mengonsumsi obat-obatan.

"Om saranin supaya kamu melakukan terapi, beri tahu orang tua kamu supaya mereka mendukung kamu. Bagaimanapun, kamu butuh dukungan."

Aresha menggeleng pelan, dia tidak ingin menjadi beban untuk orang tuanya.

"Keputusan ada di tangan kamu, sebaiknya kamu mengonsumsi obat antidepresan dulu."

To be continued....

Lonely [END]Where stories live. Discover now