01. Mereka Pulang Karena Pergi

6.2K 556 54
                                    

Kisah untuk awal perkenalan dengan Dimas dimulai pada hari di mana pengambilan rapor saat ia akan naik kelas enam Sekolah Dasar, hari di mana ia berani bertanya tentang hal yang tidak pernah dilontarkan.

Siapa yang tidak tahu sosok Alfian Dimas Tarigan, anak laki-laki yang sering membuat kehebohan karena tingkah ajaibnya. Hanya bertanya 'Apa kau kenal Dimas?' makan sahutan berupa 'Dimas? Dimas yang itu?' 'Dimas yang nakal?'.

Hari itu, karena wali murid masuk ke kelas untuk memulai acara pengambilan rapor, seperti biasa, siswa-siswi yang memang tidak diliburkan bermain-main di luar ruangan. Dimas dan teman-temannya memilih untuk duduk berkumpul serta bebincang-bincang kecil.

Seperti biasa, Dimas menjadi objek perhatian pertama. Ocehan anak ini berhasil menghibur teman-temannya yang lain.

"Eh Dim, yang ngambil rapormu Kakek kamu lagi ya?" Salah satu teman kelas Dimas bertanya, menghentikan tawa yang tadi menggema. Pertanyaan yang sama disetiap tahun, pertanyaan yang sangat tidak disukai oleh Dimas.

Dimas itu punya banyak teman, dia senang dan suka berteman dengan semua orang. Namun, tidak semua orang suka menjadi temannya.

"Iya." Dimas menyahut dengan memamerkan senyum lebar.

Sayangnya, senyum lebar tersebut tidak membuat si penanya puas dengan tanggapan tadi, serta memilih untuk kembali berucap, "Orang tua kamu mana sih? Masa gak pernah ngambil rapor."

"Kerja," sahut Dimas.

"Kerja apa? Di mana? Kok gak balik-balik."

Kali ini Dimas tidak langsung menjawab. Dulu, ia pernah bertanya seperti tadi kepada sang kakek, tetapi jawaban pasti tidak ia dapatkan. Setelah itu, Dimas yang lelah karena tak kunjung mendapat jawaban, memutuskan untuk tidak pernah lagi mengeluarkan pertanyaan tersebut.

"Luar negri." Dari dulu kalimat tadi selalu Dimas lontarkan kepada orang-orang yang menanyakan hal serupa, sebab itulah yang kakek beritahu.

Tawa kencang terdengar setelahnya. Jika biasanya orang-orang tertawa bersama Dimas, kali ini mereka menertawakan Dimas. Entah apa yang lucu, sepertinya beberapa dari mereka memang sudah bersiap-siap. Sedangkan yang lain, hanya terdiam, tidak tahu apa yang harus dilakukan saat melihat raut wajah tak nyaman milik Dimas.

"Tuh kan, aku bilang juga apa. Dimas itu pasti gak punya orang tua."

"Ya kali gak punya orang tua, terus dia lahir dari mana?"

"Mungkin give away dari jin."

Mereka kembali tertawa, tetapi sayangnya Dimas tidak bisa ikut. Candaan kali ini tidak pas untuknya.

"Jangan gitulah kalian," tegur orang di sebelah Dimas. "Gak sopan."

"Apaan sih," sahut yang lain. "Jangan baperan deh. Dimas aja gak masalah, ya kan Dim?"

"Hehe. Iya, gak pa-pa kok."

Tidak seperti biasanya, Dimas benar-benar ingin segera pergi dari tempat ini. Dan entah bagaimana bisa, kakeknya benar-benar keluar dari ruangan, memberinya isyarat pertanda untuk mengajaknya pulang. Dengan senyum cerah Dimas bangkit serta menghadap ke teman-temannya untuk pamit.

"Aku pulang duluan ya?"

"Iya, hati-hati Dim."

"Siap! Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelahnya, dia berlari ke arah kakeknya.

"Nilaimu ada yang di bawah KKM lagi, gimana sih Dim?"

"Hehe, aku gak bisa berarti."

"Apanya yang gak bisa? Abangmu bisa kok."

Dimas terdiam, ikut masuk ke dalam mobil ketika mereka sampai di parkiran.

Tentang DIMAS✔Where stories live. Discover now