💞 Sweet Chapter 9 💞

23 10 2
                                    

Langkah seorang gadis menyusuri taman kompleks perumahan yang masih terlihat asri. Sesekali ia berlari kecil sambil meregangkan otot-ototnya agar merasa lebih rileks lagi. Rambutnya yang diikat tinggi dan memperlihatkan leher jenjangnya, membuat gadis itu terlihat seksi. Belum lagi baju olahraga yang ia kenakan, celana pendek di atas lutut dan baju kaos polos yang cukup ketat tetapi tetap terasa nyaman dipakai.

Lelahnya pun datang menghampiri, apalagi saat melihat sebuah bangku yang bertengger tepat di bawah pohon yang rindang. Dekat dengan pedagang kecil yang berjualan minuman. Audreylah gadis itu, langkahnya pun mendekat dan langsung mendaratkan tubuhnya di kursi kayu tersebut.

“Bang, air mineralnya satu,” ucapnya pada pedagang minuman tersebut.

Tiba-tiba sebuah telapak tangan menutup pandangannya. Audrey justru refleks menarik tangan tersebut dan melilitnya, hingga sang empunya mengaduh kesakitan. Ternyata itu Gavin.

“Lo ngapain di sini? Pake acara nutup mata gue segala.”

“Iya-iya, ampun. Lepasin dulu. Gue nyusul lo lah, tadi pagi gue mau ngajak lo lari. Eh, kata Bunda lo udah keliling kompleks deluan,” sahut Gavin yang sudah kesakitan. Audrey pun melepaskannya.

“Tumben? Biasa lo paling susah gue ajak lari pagi.”

Gavin hanya menyengir tak jelas. Ia memang paling susah kalau diajak Audrey hal seperti itu. Hanya saja hari ini, entah mengapa Gavin ingin melakukannya. Keduanya kini sama-sama duduk sambil bersandar pada punggung kursi.

Saat itu juga Audrey kembali mengingat kejadian kemarin, ketika ia di mal bersama Lila dan bertemu dengan Nabila. Rasa penasaran pun hadir, ingin sekali rasanya bertanya, tetapi tak tahu harus memulainya dari mana. Audrey pun menghirup udara sebanyak mungkin dan membuangnya secara perlahan.

“Oh, ya, Vin. Kemarin lo beneran enggak pulang sama Nabila?”

Kening Gavin pun berkerut. “Kenapa emangnya?” tanya Gavin balik.

“Enggak apa, gue tanya doang, kok,” jawab Audrey sedikit gugup.

“Kepo banget. Ya emang kemarin gue enggak pulang sama dia. Katanya ada janji mau ngerjain tugas bareng temennya, jadi sekalian bareng gitu. Enggak biasanya sih,” jelas Gavin.

Bergantian, kini kening Audreylah yang berkerut. “Enggak biasa gimana maksudnya?” tanyanya dengan heran.

“Ya enggak biasa aja. Lo tau enggak, selama gue pacaran sama Nabila itu, dia selalu ngajak gue kalau lagi ada tugas sekolah. Enggak peduli itu mau bareng sama temennya atau sendirian. Ya mungkin, emang lagi enggak butuh bantuan gue aja.”

Pandangan Audrey langsung berpaling, masih bingung dengan apa yang terjadi. Namun, sepertinya yang ia lihat kemarin di mal itu benar-benar Nabila.

“Hei, kenapa?”

“Ah, eng-enggak apa, kok.”

“Lo ada yang ditutup-tutupin ya dari gue?” desak Gavin yang melihat perubahan tingkah Audrey.

“Enggak ada, Vin.”

“Jujur lo sama gue. Awas kalau bohong,” ancam Gavin.

Audrey membasahi tenggorokannya dengan susah payah. Begitu terasa cekat, padahal sudah meneguk air mineral yang ia beli. Tatapan mereka saling beradu, Audrey semakin sulit mengatur napasnya yang tiba-tiba berembus dengan cepat. Ia tak tahan jika sudah mendapat tatapan mematikan dari Gavin. Salah satu kelemahan Audrey yang membuatnya tak bisa berbohong jika sudah ditatap demikian. Audrey menunduk membuang pandangannya.

“Ada yang pengin lo omongin, ‘kan?”

Akhirnya Audrey mengangguk. “Kemarin pas gue temenin Lila ke mal. Gue ... gue enggak sengaja ngeliat Nabila di toko baju,” ucapnya perlahan mendongak menatap Gavin, “dia enggak sendiri, tapi sama seorang cowok yang enggak gue kenal,” lanjutnya dan membuang pandangan kembali.

Hening, Gavin belum merespons apa yang ia dengar. Beberapa detik kemudian, tawa Gavin seketika pecah, membuat Audrey terheran-heran.

“Lo salah lihat kali, atau bisa aja itu saudaranya dia. Nabila itu pernah bilang sama gue, kalau dia emang punya saudara cowok yang deket banget,” jelasnya.

Sodara? Tapi kemarin gue lihat mereka rangkulan dan manggilnya sayang, batin Audrey yang masih terlihat bingung.

“Tapi, Vin. Kemarin gu—”

“Iya, dia sodara Nabila. Udah lo enggak usah mikir yang macem-macem, Nabila sayang banget kok, sama gue,” ucap Gavin yang tak memberi kesempatan pada Audrey untuk melanjutkan kalimatnya.

Audrey mendengkus dan tersenyum hambar. Ia bisa melihat kalau Gavin sangat percaya pada Nabila. Rasa tak tega pun membuatnya mengurungkan niat untuk memberitahu Gavin lebih lanjut. Namun, hati kecilnya tak tega kalau sahabat yang ia cintai justru akan disakiti.

Nanti aja, deh. Mungkin saat ini akan percuma ngomong sama lo, Vin. Semoga aja kalau nanti lo tau sendiri, lo bisa kuat, batin Audrey yang miris.

Lama berbincang, akhirnya mereka berdua pulang menyusuri jalanan kompleks perumahan yang memang sangat ramai jika di hari minggu seperti sekarang. Keduanya saling melempar canda dan tawa. Tak jarang pula kebiasaan Gavin yang suka mengapit kepala Audrey di bawah ketiaknya, ia lakukan di tengah perjalanan.

Audrey sangat menikmati momen-momen seperti ini saat bersama Gavin. Setidaknya, Gavin selalu merasa bahagia jika bersama dengan dirinya. Urusan Nabila, Audrey akan memikirkannya nanti. Ia akan mencari tahu tentang gadis itu tanpa sepengetahuan Gavin. Jika terbukti benar, Audrey senang bisa membantu sahabat kesayangannya itu.

Kamu itu seperti matahari, cahayanya begitu menyilaukan. Hingga membuat orang yang melihatmu menghalau cahaya yang datang. Akan tetapi, kamu terkadang seperti bulan. Cahayanya yang menyejukkan di kala kegelapan datang.

Ah, iya. Kamu bahkan seperti bintang. Terlihat kecil, tetapi memiliki banyak cahaya. Jika kamu di satukan, maka aku yakin cahayamulah yang paling berkesan.

Teruntuk Gavin, sahabatku.
Mungkin aku tidak bisa merangkai kata indah untukmu, tetapi aku bisa merangkai persahabatan kita dengan sepenuh hati. Mungkin aku punya sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, tetapi aku punya hati yang bisa kau mengerti.

Ternyata jatuh cinta denganmu terlalu rumit. Rasa takut kehilangan ini yang membuatku enggan berpaling darimu. Aku tidak tahu, apakah nanti setelah kamu tahu segalanya, semua akan masih terasa sama? Aku harap begitu.

Aku sadar, mungkin ini belum saatnya untukku bisa menjelaskan atau mengungkapkan isi hatiku padamu. Yang terpenting sekarang, kamu bahagia, itu sudah cukup. Karena aku juga sadar, jika tak semua cinta bisa digenggam dengan erat. Bagaimanapun, ia butuh berkelana untuk mencari yang tepat.


My Sweet








See you next chapter~~~~~

>>>>>Salam manis<<<<<
Mey :*
Balikpapan, 11 Januari 2020

Sweet Letter ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang