Something's Wrong

155 27 0
                                    

Agustus, 2015.

Tommy membuka matanya tak lama
setelah playlist yang ia dengar berhenti memutarkan lagu. Lehernya terasa kaku membuat Tommy bergerak tak nyaman tetapi enggan untuk beranjak dari bahu Jimmy. Gerakan itu justru membangunkan Jimmy yang tadinya juga tertidur sambil bersandar pada kaca kereta.

"Lehermu sakit, Phi?" tanya Jimmy. Suaranya sedikit serak.

"Eh? Maaf-maaf, aku tak bermaksud membuatmu terbangun."

"Tak apa, Phi. Sini, aku pijitin."

Selagi Jimmy memijit pelan leher Tommy, Tommy mengeluarkan sedotan dari dalam botol air mineral kemasan dan memberikannya pada Jimmy.

"Kira-kira berapa lama lagi kita akan sampai, Phi?"

"Sebentar lagi. Kau sudah tak sabar ingin bertemu dengan kedua orang tuaku, ya?" Tommy bertanya. Nadanya terdengar menggoda.

"Biasa saja. Lagi pula, kau tak akan mengenalkanku sebagai pacar pada orang tuamu nanti."

"Oh, ayolah, Jim ...." Tommy merengut. "Sudah kubilang, beri aku waktu."

Dua hari yang lalu, ayah Tommy menelepon dan bertanya apakah Tommy bisa datang ke rumah mereka pada akhir pekan yang akan datang. Ada hal penting yang ingin dibicarakan, katanya. Tommy bersedia, dan ia mengajak Jimmy untuk ikut serta pergi ke sana. Jimmy awalnya menolak dengan alasan tak mau mengganggu aktivitas kumpul keluarga tersebut. Namun, Tommy memaksa. Ia bilang agar Jimmy bisa sedikit lebih mengenal kedua orang tuanya. Sampai suatu hari nanti, Tommy yang akan mengenalkan Jimmy pada mereka.

"Katanya biasa saja. Kenapa sekarang mukamu tegang begitu?" Tommy tertawa ketika Jimmy memberinya tatapan tajam.

Pintu di hadapan mereka terbuka. Menampilkan sesosok wanita paruh baya yang langsung tersenyum lebar saat tahu siapa yang datang.

"Tommy!" Si pemilik nama lantas memberi pelukan. "Akhirnya kau sampai juga. Ibu rindu padamu, Nak."

"Maaf karena aku jarang ke mari. Tugasku banyak sekali."

Ibu Tommy melirik Jimmy yang sedari tadi berdiri di belakang anaknya sambil memasang senyum canggung. Jimmy langsung memberi salam pada ibu Tommy.

"Oh, iya. Perkenalkan, ini Jimmy. Dia ... adik tingkatku di kampus."

Ibu Tommy memandang Jimmy dari atas sampai bawah, lalu kembali lagi dari bawah ke atas. "Astaga. Kau bahkan lebih pendek darinya, Tom."

Tommy sontak menepuk ringan lengan ibunya yang langsung mengundang tawa sang ibu dan juga Jimmy tentunya.

"Itu sih karena dianya saja yang terlalu tinggi," gumam Tommy. Wajahnya menekuk sebal.

"Begitu saja kok ngambek. Ya sudah, ayo masuk. Temui ayahmu di dalam."

Kedatangan Tommy dan Jimmy yang hampir memasuki jam makan siang membuat mereka akhirnya makan bersama terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan lainnya. Jimmy terlihat akrab dengan ayah Tommy, terlebih saat mereka membahas perkara bisnis. Astaga. Tommy jadi geli sendiri mengingat Jimmy adalah mahasiswa jurusan seni teater dan drama, yang di mana tidak ada kaitannya sama sekali dengan bisnis. Namun, Jimmy tampaknya cukup pandai untuk mengimbangi obrolan meski ia lebih banyak tidak tahunya.

Waktu semakin bergulir. Ketika makan malam selesai dilaksanakan, ayah dan ibu Tommy izin untuk berbicara secara privasi dengan anak mereka. Jimmy tentu mengizinkan. Ia kemudian memilih untuk menunggu di pekarangan rumah Tommy sambil mengajak main anjing peliharaan keluarga Tommy.

Sudah hampir dua jam lebih Jimmy menunggu di luar tetapi tampaknya belum ada tanda-tanda keluarga Tommy selesai dengan perbincangan mereka. Jimmy baru saja hendak melempar bola milik anjing keluarga Tommy saat tiba-tiba Tommy berlari keluar dari dalam rumah.

Nothing Else MattersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang