Ketika si Baik Pergi

352 63 5
                                    

Tidak tahu.

Saya hanya ingin melow malam ini.

Bukan mengeluh atau apa. Sekadar ingin meresapi hidup selama tinggal di dunia, terlebih di usia yang sebenarnya bisa dikatakan menjelang dewasa.

Namun, saya tidak tahu, apakah saya memang sudah dikatakan dewasa secara makna?

25 Desember tahun lalu, saya dikejutkan berita meninggalnya seseorang yang saya kenal. Tidak dekat, tapi kenal. Saya tidak tahu betul bagaimana kepribadiannya sehari-hari, tapi kehilangannya, membuat dada terasa sesak. Mendengar berita kepergiannya, air mata perlahan jatuh, sesenggukan, dan saya masih tidak mengerti alasan apa yang membuat saya bisa sampai sedramatis itu.

Setelah merenung cukup lama, akhirnya saya mengerti, mengapa bisa saya bersikap demikian. Dia, orang baik. Definisi klise kelihatannya, tapi sungguh, pribadinya benar-benar baik secara hakikat. Beberapa kali berbincang dengannya, melihat pembawaan diri dan sorot mata penuh ketenangan miliknya, akhirnya saya tahu, mengapa bisa saya sesedih itu.

Orang-orang baik, memang selalu memiliki tempat tersendiri, ya. Mereka mungkin, tidak pernah meminta untuk dikenang, tapi hati kita tahu, bahwa mereka layak untuk disimpan di dalam ingatan.

Dibanding ingin dikenang seperti dirinya, saya justru bertanya-tanya, apa amalan yang ia lakukan, hingga Allah memberi anugerah semacam itu kepadanya?

Bagaimana cara ia me-manajemen dunia dan akhirat sebegitu profesionalnya?—ia rahimahullah adalah lulusan terbaik di angkatan saya, dan setelah kelulusan, pindah mondok di kota Tangerang khusus untuk menghafal Al-Qur'an, masyaAllah.

Dengan semua hal yang ia miliki, baik kecerdasan dan gaya hidup yang mencukupi, bagaimana cara ia menjaga hati dari hasrat meremehkan berbagai hal— terutama orang lain—, menahan diri dari hasrat ingin dilihat, ingin dielu-elukan dan dipandang hebat, sungguh, saya penasaran, bagaimana ia bisa?

Mungkin terkesan berlebihan, tapi, ketika melihatnya—kini hanya bisa mengingatnya—, saya semakin percaya akan sifat Uswatun Hasanah-nya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Saya terkagum-kagum dengannya, dan tentu lebih dari itu kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wassalam.

Beliau yang tetap baik dimanapun berada, bagaimanapun keadaannya, kapanpun waktunya ... betapa hebat.

Saya dahulu selalu berpikir bahwa, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bisa demikian karena sudah dibersihkan kotoran hatinya pada masa kecil—begitu diceritakan dalam Sirah Nabawiyah—, maka tentu berbeda dengan kita—saya terutama—, yang hanya manusia biasa.

Namun, melihat ia rahimahullah, yang bisa-bisanya ketika bersikap tidak disetir oleh mood, tetap tenang apapun yang terjadi, saya semakin percaya, bahwa setiap orang sebenarnya pasti bisa dan berpotensi mengikuti bagaimana Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersikap.

Namun pertanyaannya,

apakah saya bisa?

Saya sendiri saja ragu.

Tetapi, tentu melakukannya adalah suatu keharusan, bukan? Sesulit apapun itu, dan memang sangat sulit.  Jalan yang akan berakhir hanya saat ajal menjemput. Usaha yang akan selalu berkesinambungan. Entah sampai kapan, entah sampai mana level yang bisa diraih, ketidaktahuan semacam ini memang selalu menjadi misteri setiap dari kita—lagi dan lagi, saya terutama.

Dan, berita jatuhnya pesawat beberapa hari ini semakin menyesakkan dada. Lebih sesak saat mengetahui ada orang baik di dalam sana.

Saya khawatir pada diri sendiri. Betapa banyak orang baik yang Allah panggil. Terlalu nyata diangkatnya ilmu agama, orang-orang shalih dan pecinta Al-Qur'an dari muka bumi ini.

Saya benar-benar khawatir setiap melihat tulisan di gambar ini. Terlebih, ketika orang-orang baik mulai 'pergi' dari zaman yang telah disebut dalam hadits di bawah ini.

 Terlebih, ketika orang-orang baik mulai 'pergi' dari zaman yang telah disebut dalam hadits di bawah ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Saya, sungguh khawatir saat semakin membaca hadits tersebut dan meresapinya cukup lama.

Saya, berpikir seperti ini...

Tahun, kini telah berganti.

Dan, dikatakan bahwa, zaman sesudahnya lebih buruk daripadanya.

Saya, merupakan salah satu penghuni dari zaman lebih buruk tersebut.

Dan, suatu zaman dikatakan buruk tentu karena penghuninya buruk.

Apakah itu artinya saya ...

Astaghfirullah...

Astaghfirullah...

Astaghfirullah...

Panggil Aku IntroverWhere stories live. Discover now