third

53 17 25
                                    

21 Juni 2020

.

Jika ada yang menebak kalau Putra adalah orang yang aku maksud sejak awal cerita, aku tak akan menyangkalnya. Aku tak pernah begitu dekat dengan laki-laki karena aku tak punya alasan yang cukup kuat kenapa aku harus melakukannya.

Tapi untuk Putra, selain karena dia duduk di depanku entah kenapa aku merasa Putra selalu punya hal seru untuk dibicarakan. Putra juga seringkali membuatku ingin bertanya terus menerus karena gaya bicaranya yang sepotong-sepotong. Dan lagi, aku merasa apapun yang keluar dari mulutnya selalu menyenangkan untuk didengar.

Mungkin ini bisa saja terdengar berlebihan tapi kurasa Putra adalah cowok yang unik.

--

Waktu itu jam pelajaran matematika. Aku tak ingat pasti materi apa yang dibahas, tapi aku sangat ingat bahwa waktu itu aku tidak mengerti materi tersebut. Berbeda dengan Diva yang memiliki kapasitas otak di atasku, tentu saja dia mengerti.

"Div, ajarin aku soal tentang materi ini dong.. aku ga paham." Rengekku pada teman sebangku ku yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Materi apa? Coba liat soalnya." Balas Diva dan meletakkan ponselnya ke dalam tas. Aku menyerahkan bukuku pada Diva.

"Oh.. Soal yang ini mah-" Belum sempat Diva menyelesaikan kalimatnya seseorang memanggilnya dari arah pintu kelas.

"Eh, bentar ya.. Aku lupa tadi di suruh Buk Riri ke kantor." Kata Diva dengan terburu-buru meninggalkanku.

"Ntar balik dari kantor aku ajarin yak.." Pamit Diva.

Dengan sedikit kecewa aku mencoba bertanya pada Putra, karena aku tak punya banyak teman di kelas yang cukup akrab untuk sekedar meminta mereka mengajariku.

"Put." Panggilku cukup keras, "kamu pah-" kalimatku terputus karena ketika aku mengangkat kepalaku, aku bisa melihat wajah Putra berada cukup dekat dengan wajahku.

"Apa?" Sapa Putra kalem.

"Mundur dikit bisa kalii.." Kataku sambil mendorong kepala Putra agar lebih jauh.

Putra menggambil tanganku yang berada di kepalanya lalu menurunkannya dari kepalanya.

"Kenapa?" Tanyanya ramah seolah tak bersalah—kesalahannya adalah memegang tanganku.

"Paham materi ini ga, Put?" Kataku sambil menyodorkan soal di buku dan tentu saja melepas tanganku dari genggaman Putra. Putra hanya mengangguk pelan sebagai respon.

"Tunjukkin dong kalau paham." Putra tak merespon perkataanku.

"Paham ga, Put?" Tanyaku lebih keras. Menyebalkannya, Putra hanya merespon dengan melihatku sambil tersenyum. Dia pikir senyum doang bisa nyelesaiin soal MTK ya?

"Tunjukkin satu soal ini aja deh... Aku ga paham." Putra tetap tidak bergeming.

Aku mengulang pertanyaan yang sama sebanyak dua hingga tiga kali, tapi menyebalkannya Putra juga mengulang respon yang sama.

Aku mulai kehabisan kesabaran dengan respon Putra. "Putraa.. kalau kamu paham tolong banget ini mah tunjukkin aku." Kataku dengan nada yang sedikit lebih tinggi, tentu saja karena aku kesal.

"Kalau punya ilmu tuh ga boleh pelit-pelit." Ketusku.

Entah apa yang ada dipikiran anak laki-laki itu, ia malah tersenyum semakin lebar, lalu ia terlihat seperti berfikir sejenak dan akhirnya ia mengeluarkan jari telunjuknya lalu mengarahkannya padaku.

Aku terdiam untuk waktu yang entah berapa lama.

Hah? Ngapain? Batinku.

Aku menatap Putra linglung. Tidak tau berapa lama waktu yang aku habiskan hingga akhirnya aku mengerti apa maksud dari tindakan Putra. Lalu aku tertawa menyadari bahwa kata yang aku gunakan sebelumnya keliru.

hi, there!Where stories live. Discover now