34. Episode Nyinyir

831 84 74
                                    

Happy Reading

*****

"Sayang, kita ke dokter Irma sekarang," kata Haidar panik.

Beberapa menit lalu, Sania mengabarkan ada peningkatan suhu tubuh Aliyah. Masih dengan pakaian tidurnya, Haidar langsung ke rumah sang Bunda. Hazimah pun ikut dengannya sambil menggendong Ilyas.

"Mas, aku gak apa-apa," jawab Aliyah lemah.

"Selalu bilang gitu. Nyatanya badanmu panas, Al. Mas sudah peringatkan tadi, jangan sampai kecapean." Haidar melihat orang-orang di sekelilingnya, tatapannya kemudian jatuh pada Hazimah. "Tolong ponselku!" pintanya.

Hati Aliyah menghangat melihat keduanya yang tampak mesra. Kini dia tahu keinginannya tak pernah salah, hadirnya Hazimah akan melengkapi keluarga mereka. Keraguan akan keterpaksaan pernikahan mereka musnah sudah.

Dari balik saku gamisnya, Hazimah mengeluarkan ponsel yang Aliyah tahu pasti, itu milik Haidar. "Ini," ucapnya, "aku nidurin Ilyas dulu di kamar Bunda. Kalau butuh bantuan panggil aku aja."

"Mbak," panggil Aliyah, "maaf sudah mengganggu malam pertama kalian."

"Sayang, kamu ngomong apa?" Haidar berseru.

"Bunda terlalu cemas, Mas. Sampai beliau meneleponmu malam-malam, padahal aku cuma kecapean aja. Besok insyaallah dah hilang panasnya," terang Aliyah merasa bersalah.

"Gimana Bunda ndak panik. La wong badanmu panasnya ra umum, Nduk. Kalau ada apa-apa sama kesehatanmu, masmu itu mesti ngresulo ring Bunda. Iyo tho, Le?" Sania berusaha memberi alasan kenapa dia sampai menelepon putranya.

"Leres (betul), Bun," jawab Haidar pada bundanya, "Mas, tadi juga kepikiran terus sama kamu, Al." Satu tangan Haidar memegang kening Aliyah. Satu tangan lagi berusaha mengetikkan sesuatu di ponselnya menghubungi Dokter Irma.

Suara Hazimah yang baru saja memasuki kamar membuat Sania dan Haidar menoleh. "Biar aku aja yang jaga Aliyah. Bunda istirahatlah, kamu juga, Ain." Aliyah dan Sania melotot pada Hazimah. "A-pa ada yang salah?"

"Putrane Bunda kan sudah jadi suamimu, Mbak. Alangkah baiknya kamu tidak menyebut namanya lagi. Pamali kata orang tua dulu." Sania memegang kedua pundak Hazimah dari samping kanan.

"Ngapunten, Bun. Saya belum terbiasa," sesal Hazimah disertai wajah sedihnya.

Kalimat yang menjadi jawaban Hazimah, entah mengapa mampu membuat orang yang ada dalam ruangan itu tertawa lirih. Bagian atas tubuh Hazimah makin menunduk malu. Dia memang tidak terbiasa menyebut nama suaminya dengan embel-embel di depan.

*****

Lengkingan suara muazin membangunkan Hazimah, di sampingnya ada Ilyas dan juga Sania. Semalam, karena memang sudah larut sekali dia dan sang putra menginap di rumah Bunda mertuanya. Kamar di rumah ini,  hanya tiga, salah satu yang kosong sudah ditempati Yana.

Sepelan mungkin dia turun dari ranjang agar tak mengganggu tidur Ilyas dan mertuanya. Gegas Hazimah mengambil wudu dan melaksanakan kewajibannya. Kemarin, sewaktu akad akan di mulai dia melihat sebuah ruangan yang digunakan khusus salat. Letaknya dekat dengan kamar Haidar dan Aliyah, dia melangkah tanpa ragu ke sana.

Pintu kamar keduanya yang sedikit terbuka membuat Hazimah menengok. Terlihat Haidar yang mencium kening Aliyah dengan sepenuh hati. Sekalipun istri pertamanya itu masih tidur, tetapi Haidar tetap melakukannya. Dalam hatinya, Hazimah mempertanyakan mungkinkah pada dirinya Haidar akan melakukan hal seperti itu juga?

Seindah Surga Yang Dirindukan (Tamat) Where stories live. Discover now