Chapter 20

3.2K 613 1
                                    

Prim meminta Henry untuk meninggalkannya sendirian, sebab dia membutuhkan waktu menenangkan diri.

Kenyataannya jadi lain, ketika tengah malam Prim menyadari kalau Ryan tidak pulang dan dia sendirian di ranjang yang terasa dingin.

Sekarang, di sinilah dia berada. Di ambang pintu yang baru saja dibuka oleh adik iparnya.

“Aku boleh masuk?”

Henry mengangguk karena dia tahu kalau dirinya dibutuhkan sekarang. “Masuklah. Ini juga kamarmu.”

“Sejak kapan?” sindir Prim. Sempat-sempatnya dia merasa cemburu, karena tadi bertemu Isla dan pikirannya langsung ingat tentang bagaimana di kamar ini Henry dan Isla telanjang total di depan matanya, walau sempat berusaha disembunyikan.

“Sejak awal ini bukan kamarku. Bukan rumahku. Aku sadar diri. Cuma menumpang pada kalian.” Henry terbahak lalu duduk di tepi ranjang, tepat di sisi Prim yang lebih dulu menghempaskan diri tanpa izin.

“Aku tidak bisa tidur.” Prim sadar kalau wajahnya di tatap lekat dari samping. Pura-pura santai dan menatap lurus ke dinding kamar.

“Berbaringlah. Akan kubuat kau bisa tidur nyenyak malam ini.” Menepuk-nepuk kasur, Henry bersemangat seolah mereka akan bercinta.

Prim berhalusinasi kalau seandainya itu ajakan untuk bercinta. Dia memang terburu-buru agar segera hamil, namun aneh rasanya kalau harus dia lagi yang meminta dimasuki.

“Ayo, cepat.” Tepukan Henry begitu tidak sabar. Memukul-mukul kasur dengan semangat. Dia bahkan telah berbaring menyamping siap sedia.

“Kau tidak bertanya apa-apa padaku?”

“Soal apa?” Henry menepatkan posisinya agar sejajar arah pandang dengan mata Prim.

“Melihatku agak gila hari ini.”

“Hahaha. Kau mengakuinya—aww! Prim! Kau hobi sekali mencubitku!” Henry mengusap-ngusap kasihan pada perutnya.

Prim mendekat, merapat dan memeluk Henry kuat-kuat. “Wanita itu ... hamil, Henry.”

Henry berpura-pura terkejut, sampai melepas paksa pelukan Prim dari tubuhnya. “Hei, kau serius? Tahu dari mana?”

Prim tertawa pelan yang berisikan kehampaan. “Alasan kegilaan yang terjadi padaku hari ini di rumah adalah karena dia datang dan memberitahuku tentang kabar kehamilannya.”

“Bisa saja itu tidak benar. Dia cuma memanas-manasimu.”

Prim menggeleng kuat-kuat sampai mencengkeram kaos Henry di bagian dada. “Dia datang bukan untuk itu.”

“Lalu?”

“Dia mengadu padaku tentang kelakuan Ryan yang berselingkuh dengan perempuan muda. Sementara dia baru akan memberitahu kabar tentang kehamilannya, tapi Ryan tidak ada di mana pun, tidak bisa dihubungi sama sekali.”

Henry terdiam. Mengenai perselingkuhan Ryan yang baru didengarnya ini, tentu dia tidak tahu sama sekali. Tentang kehamilan Kira, dia sudah menduganya. Memang mungkin yang bermasalah itu, Prim, bukan kakaknya.

“Tahu dari mana dia kalau Ryan selingkuh dengan wanita muda?” Masuk akal pertanyaan Henry.

Prim spontan menegak diri. Benar. Apa yang dipertanyakan oleh Henry tepat sekali. Tapi ... jauh di lubuk hati terdalam, dia yakin bahwa wanita itu benar. Sesama perempuan biasanya saling memahami, bukan?

“Mungkin saja ... dia tahu karena dia melihatnya secara langsung atau dia wanita kaya yang rela membayar orang suruhan untuk memata-matai Ryan. Ada ‘kan yang seperti itu?”

Henry berdecak dalam hati. Benar-benar bagus firasat wanita yang satu ini. Sayang sekali Ryan menduakan Prim yang tidak bisa hamil, padahal dari sisi lain, kakak iparnya itu tentu menang banyak.

“Yap. Kalau itu mungkin saja.” Henry angguk-angguk. Memang sudah pasti orang sekaya dan sehebat Kira Orpheus tidak sulit untuk menemukan fakta sekecil debu begitu. Ryan mau berselingkuh ke bulan pun, Kira pasti mampu melacaknya.

Henry menguatkan pelukan yang kini terasa melonggar dari pihak Prim. “Tidurlah. Jangan pikirkan orang yang telah mengkhianatimu.”

***

“Akh!” Sena lemas, sampai ke tulang-tulangnya, ketika cairan miliknya sudah keluar untuk ke tiga kalinya.

Pria yang telah berhasil membuat adik perempuan Prim itu nyaris kejang-kejang, kini memeluknya erat dari belakang. Adik ipar yang ditidurinya.

Mereka masih beraroma seks. Tetap telanjang total dan sedang mengatur napas agar kembali normal.

“Bercinta denganmu tidak akan ada puas-puasnya,” aku Ryan, lembut di telinga Sena.

Sena yang dipuji lantas cuma tersenyum masam tanpa memperlihatkan wajahnya pada Ryan. Terlalu ganas dalam permainan. Dia mengakui itu. Ryan bahkan tidak mau menggunakan kondom.

Mereka sama-sama terkejut saat mendengar dering telepon. Ryan memisahkan diri dari Sena sambil berdecak. Sudah mengaktifkan kembali nomornya, namun ada panggilan tertentu yang berupa mode diam. Selain penelepon dari Griffin Jewelry dan ... Prim?

Ryan melompat cepat dan meraih kasar ponselnya. Selama masalah yang menimpa rumah tangga mereka, jangankan menghubunginya, di rumah pun sang istri selalu menghindarinya.

“Halo, Sayang.”

“Jangan hanya gunakan otakmu di selangkangan. Pakai juga untuk berpikir. Jalangmu hamil! Dia menangis-nangis mendatangiku di rumah sambil melaporkan padaku perselingkuhanmu dengan perempuan muda. Meminta tolong agar aku mengabarimu tentang kehamilannya. Apa-apaan kalian ini, hah? Belum puas mengkhianatiku, Bajingan? Kuharap batangmu segera tak berfungsi lagi!”

Ryan sampai harus menjauhkan layar ponsel dari telinganya. Dia tertawa ketika Prim mematikan telepon dan sadar seketika kalau sang istri begitu mengerikan saat semarah itu.

Primrose Holden jarang tertawa, namun sulit juga untuk marah-marah kesetanan. Sebab itulah Ryan merasa takjub dan senang. Aku telah membangunkan sisi menyenangkan dalam dirinya.




𝐄𝐧𝐦𝐞𝐬𝐡𝐞𝐝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang