Pisah Ranjang

839 56 3
                                    

Air mata berhenti mengalir seakan telah terkuras habis. Jejak air bening itu kuhapus dengan punggung tangan lalu memosisikan diri duduk di samping Mas Wira, berusaha bersikap tenang. Aku mengembus napas perlahan, menghilangkan rasa sesak di dalam dada.

"Apa Mas punya anak dari Diana?" Aku menatap manik hitam Mas Wira.

Helaan napasnya terdengar berat. Cukup lama dia mengeluarkan suara memberikan jawaban atas pertanyaan yang mudah. Namun, bagi Mas Wira hal itu tampak terlalu sulit. Aku menunggu untaian kata kejujuran yang keluar dari bibir suamiku ini.

"Ada, Ra."

Jantung berdentam kuat. Napas ini pun kembali terasa sesak. Apa sudah terlalu jauh kebohongan Mas Wira kepadaku atau mungkin karena aku yang terlalu mudah dipermainkan?

"Berapa orang dan usianya?" tanyaku lebih jauh dengan nada yang tak lagi stabil.

"Satu, Ra. Sekarang umurnya lima tahun." Mas Wira menunduk.

"Lima tahun? Apa Mas gak kangen?" Aku terkesiap dengan jawabannya, tetapi mencoba mengontrol emosi.

"Maafin, Mas, Ra." Dia menyeka embun di sudut matanya dengan telapak tangan.

Kukira air mata telah mengering, tetapi kini kembali mengalir membanjiri pipi. Aku terpejam sejenak merasakan betapa pedihnya kenyataan yang dialami saat ini. Hati tersayat bagaikan diiris sembilu tajam.

"Kenapa dulu Mas gak jujur dan malah ngebiarin Papa ngejodohin kita?"

"Ra, jujur ... saat perkenalan pertama kita, Mas jatuh cinta sama kamu. Mungkin ini terdengar klise, tapi buat Mas merupakan anugerah. Mas gak mudah untuk jatuh cinta apalagi fall in love at first sight, Ra. Saat itu Mas hanya ingin memilikimu seutuhnya, Ra."

Aku tersanjung dengan ucapan Mas Wira. Namun, dia terdengar egois. Andai saja aku tahu dari awal saat hubungan terjalin, mungkin tak akan sesakit ini.

"Hingga melupakan istri yang telah Mas nikahi dan anak dari hasil buah cinta kalian? Hah?" Kutatap wajah Mas Wira dengan air matanya yang membasahi pipi.

"Ra, keluarga Mas berhutang budi sama keluarga Diana. Mas harus membayar dengan menikahinya. Sayang, Mas gak mencintai Diana. Mas akan menceraikan Diana." Dia menggenggam tangan ini, tetapi segera kutepis.

"Terus menelantarkan anakmu?"

Terlalu gampang bagi Mas Wira mengucap kata cerai untuk Diana dan melupakan begitu saja keluarga kecilnya itu. Aku melangkah menuju nakas dan mengambil tisu yang ada di sana. Kuseka air mata yang kian menjadi. Hidung pun tersumbat dan kepala ini terasa berat.

Sudah cukup menangisi semuanya. Aku harus kuat demi calon bayi yang ada dalam kandunganku. Mungkin sudah suratan tanganku harus memutuskan semua itu.

"Bukan Diana, Mas, tapi aku yang harus Mas ceraikan."

Aku menatap Mas Wira di cermin. Dia pernah memberi kebahagiaan dalam hidup sebagai seorang suami. Selalu membimbing diri di jalan kebaikan. Namun, kini seakan aku tak mengenali siapa lelaki itu sebenarnya.

Mas Wira menyugar rambutnya. "Ra, Mas mohon, jangan bilang seperti itu lagi. Mas, gak mau kehilangan kalian."

Aku mengusap perut sembari meminta kekuatan dari calon bayi kami. Sungguh malang nasib anak ini. Belum lahir sudah menyaksikan pertengkaran orang tuanya.

"Udah telat, Mas. Andai dari dulu Mas bilang, mungkin aku masih berpikir untuk bisa maafin, Mas. Kenapa harus nunggu, istrimu ngehina aku? Setelah calon baby kita lahir, jangan lupa urus surat perceraian kita!"

Mas Wira menahan pergelangan tanganku saat beranjak menuju kamar yang ada di bawah. Langkah pun seketika terhenti. Aku memejamkan mata sejenak.

"Mau ke mana, Ra?"

Aku menatap wajah Mas Wira. Begitu tampan dengan alis mata bak semut beriringan. Mata teduh yang mampu memikat hati ini. Namun, tak kutemukan lagi rasa nyaman di manik hitam itu.

"Aku mau tidur di bawah, Mas."

"Jangan, Ra. Jangan hukum Mas seperti ini. Kasihan baby kita."

Aku menelan saliva. Kerongkongan ini terasa sakit. Seharusnya dari dulu ia memikirkan hal itu. Bukan di kala sebuah kebohongan telah terbongkar oleh waktu.

"Terus, apa kamu gak kasihan dengan anakmu? Ini semua ulah kamu, Mas. Jika kamu bukan suami perempuan itu dan aku bukan istri keduamu, semua ini gak akan terjadi!"

"Ra, sekali lagi Mas minta maaf. Mas akan memperbaiki semuanya. Kamu mau 'kan, Sayang? Hem." Rayu Mas Wira dengan mimik sendu.

Mas Wira terus memaksa tanpa mau memperbaiki semua yang telah dilakukan kepada Diana dan anaknya. Andai bukan kejadian seperti ini, jelas saja rasa iba melihat wajahnya.

Setelah Setahun PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang