1. Awal bertemu dan pokok masalah

5.3K 315 58
                                    

Hinata duduk manis di kursi taman, dia sedang menunggu kekasihnya datang menjemputnya. Mereka akan pergi jalan-jalan hari ini, iya Toneri Otusuki, kekasih Hinata selama dua tahun terakhir. Hinata sangat mencintainya, mereka berencana menikah ahir tahun ini. Ah, membayangkan dirinya akan hidup bersama seseorang yang sangat di cintainya sejak dulu entah kenapa Hinata merasa sangat senang luar biasa.

Dengan sangat sabar Hinata menatap jalanan sambil bersenandung, dia sedang menebak-nebak bunga apa yang akan di bawakan kekasihnya itu untuknya hari ini. Toneri selalu membawakannya setangkai bunga ketika bertemu, entah itu bunga yang ia beli atau bunga yang ia petik di jalan Hinata tidak pernah ambil pusing. Dia bisa bertemu dengan Toneri saja hatinya sudah cukup senang.

Mata Hinata berbinar-binar saat melihat seseorang yang sangat familiar di matanya, Toneri melambaikan tangan dari sebrang jalan sambil tersenyum lebar. Mata keperakkannya bersinar terang di terpa sinar mentari. Dia sangat tampan. Hinata melambaikan tangannya lalu tersenyum lebar, “Toneri!! Di sini!!”

Hinata kian tersenyum saat melihat kekasihnya berlari menyebrangi jalan, dia sangat tidak sabar ingin memeluk pemuda itu.

Namun yang terjadi beberapa saat kemudian benar-benar menghancurkan kehidupan Hinata seketika. Dunianya runtuh dan melebur menjadi abu detik itu juga.

Di sana, tepat di hadapannya Hinata melihatnya secara langsung sebuah mobil pengangkut barang yang melaju sangat cepat dan menabrak tubuh kekasihnya sangat kencang hingga ia terpental sangat jauh.

Mata Hinata memburam, kepalanya pening luar biasa. Kakinya bergerak sendiri ke arah dimana orang-orang menjerit sambil mengerubungi tubuh kekasihnya.

“Toneri! Gak jangan tinggalin aku!!” Hinata menjerit, meraung dan menangis sejadi-jadinya sambil memeluk tubuh kekasihnya. Hancur sudah, satu-satunya alasannya hidup terluka seperti ini. Hinata tak sanggup, hatinya kelu dan tak sanggup merasakan apapun lagi.

***

Naruto menatap tajam seorang pasiennya yang menolak meminum obat, seorang anak kecil berusia sekitar dua belas tahun yang sedang menangis. Naruto tidak suka ini, apa sulitnya meminum obat? Kau tinggal menelannya bukan?

“Minum obatmu!” titah Naruto datar sambil menyodorkan segelas air dan beberapa butir obat.

“Gak mau dok! Itu pahit!” tolaknya sambil membekap mulutnya sendiri, dia sangat takut melihat ekspresi Naruto tapi anak itu juga takut obat pahit itu masuk ke tenggorokannya.

“Minum obatnya atau gue bedah lagi perut lo buat masukin obat ini?!”

Anak itu meneguk ludahnya kasar, membayangkan dokter itu membedah perutnya dan memotong ususnya lagi seperti tempo hari membuat nyalinya ciut seketika. “T-tapi dok,”

Naruto berdecak kesal lalu mengeluarkan sebuah pena dari saku jasnya, “BARING! Gue mau buat pola dulu buat masukin obatnya, lo mau di masukin dari mana?” tanyanya tajam.

Anak itu langsung menggeleng ketakutan dan merebut obat di tangan kiri Naruto, dia meminumnya bahkan tanpa air. “Gak usah dok, saya minum obat dari mulut aja.” Tolaknya sambil mengulas senyum di wajah pucatnya.

“Anak pintar,” Naruto mengeluarkan sebuah lollipop dari aku jasnya lalu meletaknnya di atas meja. “Makan biar gak pait.” Ujarnya lalu dia pergi keluar meninggalkan anak itu begitu saja.

“Dia dokter apa psychopath sih?” gumam Anak itu heran sambil memakan lollipopnya.

***

Naruto berjalan melewati lorong menuju lantai satu, dia sangat lapar dan mendadak ingin makan di kantin rumah sakit. Mata birunya begulir menyusuri lorong dengan tatapan sedingin es serut. Dingin-dingin manis pokoknya.

Pandangannya terhenti saat melihat seorang gadis cantik sedang menangi sambil memohon-mohon pada seorang suster yang ada di depannya. Pasti sedang memohon untuk meringankan biaya, atau memohon untuk melakukan pengobatan sebelum pembayaran.

Naruto sudah sangat hafal itu, dia berdecih pelan lalu berlalu. Kalau ingin yang murah harusnya dia tidak datang ke rumah sakit swasata bukan? Bodoh.

Tapi pada saat mendengar rintihan permohonannya entah kenapa dia merasakan darahnya berdesir panas, kenapa suaranya bisa selembut itu? Secantik apa dia kira-kira. Naruto ingin tau, entah kenapa dia berbalik lalu melangkahkan kakinya ke arah gadis itu.

Cantik, hanya kata itu yang terlintas di benak Naruto saat menatap matanya yang berkaca-kaca dan sembab.

“Plis dok selametin pacar saya,” mohon gadis itu sambil menangis pilu.

“Maaf Kak kami sudah melakukan yang terbaik,”

“Saya mohon dokter!!”

Naruto mendekati dokter cantik yang berdiri di sana dengan langkah santai, “Ada apa?” tanyanya dengan penuh wibawa.

“Dok, ada seorang pasien yang mengalami kecelakaan parah. Kami sudah melakukan sebisanya tapi kondisi pasien itu kritis sekarang..” ujar dokter itu.

“Terus kalian nyerah?” pertanyaan dari Naruto itu tida sanggup dokter itu jawab. Naruto berdecih pelan lalu berjongkok di depan Hinata, mata birunya menatap lurus kea rah netra sewarna rembulan itu tajam.

“Lo mau gue nyelametin pacar lo?” tanya Naruto sambil tersenyum miring.

Hinata mengangguk tanpa pikir panjang, “Tolong dok! Saya mohon selamatkan dia!!” mohon Hinata sambil menangis.
“Jadi milik gue, dan gue pastiin dia hidup.”

***

Hinata duduk di kursi tunggu sambil terus berdoa, semoga Tuhan masih berbaik hati dan mengembalikan kekasihnya kepelukannya. Entah bagaimana hidup Hinata nanti tanpa Toneri, selama ini dialah tumpuan hidup Hinata, selama ini Tonerilah cahayanya. Dia bukan apa-apa tanpa pemuda itu.

Pintu ruang operasi terbuka setelah tiga jam tertutup, Naruto keluar dengan bajunya yang berlumuran darah. Sorot matanya dingin dan tajam seperti biasa. “Masa kritisnya udah lewat, tinggal tunggu dia siuman aja.”

Hinata tak bisa membendung air matanya saat mendengar perkataan Naruto, dia membekap mulutnya sendiri untuk menahan tangisannya. “Makasih banyak dok! Makasih!”

“Hn,”

“Saya boleh masuk kan dok liat dia?” tanya Hinata sambil menatap ke arah pintu dengan tidak sabar.

“Lo punya waktu sampai jam 7 malam,” ujar Naruto sambil berlalu meninggalkan Hinata di sana. Tanpa pikir panjang Hinata memasuki ruangan tempat Toneri di rawat setelah mengganti bajunya dengan pakaian steril khusus.

Hinata merasakan nafasnya sesak aat melihat Toneri terkapar di hadapannya, hatinya sakit. Ia  tak mampu melakukan apapun untuk membantu menyelamakan kekasihnya. Dia gadis bodoh tak berguna, “Toneri, bangun sayang..” lirih Hinata sambil menggenggam tangan pemuda itu erat. Air matanya berjatuhan hingga membasahi telapak tangan pemuda itu.
Sekitar satu jam Hinata menghabiskan waktunya menangis di ruangan Toneri, kegiatannya terhenti saat mendengar seseorang membuka pintu.

Naruto di sana, dokter yang sudah menyelamatkan nyawa Toneri saat semua orang sudah menyerah.

“Dokter,” sapa Hinata sambil mengulas senyum ramah, dia merasa berhutang budi pada lelaki itu.

Tapi Naruto tak menjawab apapun, dia pergi mengecek infus Toneri lalu menyuntikan sebuah cairan ke sana. Matanya menajam kemudian bergulir menatap Hinata.

“Ayok,” ujarnya ambigu.

Hinata mengerutkan keningnya heran, “Kemana dok?”

“Oh jadi begini cara lo berterimakasih? Pura-pura lupa pas gue udah nyelametin orang yang lo sayang?” sinis Naruto sambil berdecih.

“Maksud dokter?”

“Lo punya gue mulai sekarang, dan lo udah setuju itu.”

Next__

The Choice | Namikaze Naruto ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang