50. DISTANCE

225 16 5
                                    

☯HAPPY READING☯

Langkah yang berat itu akhirnya sampai pada tujuan. Masih dengan ragu yang menggunung, tangan mungilnya terhenti tepat saat sel saraf merasakan sebuah gesekan pada kenop pintu. Dari tempatnya berdiri, sang terkasih masih berbincang dengan si sahabat, memicu sebuah lengkungan tipis pada bibir delima sang gadis.

Akhirnya dengan penuh kemantapan, gadis itu masuk. Sementara di otaknya sibuk mengusir bayang-bayang mengerikan saat Rafael memintanya pergi kemarin malam. Dua laki-laki itu menghentikan bicara setelah satu diantaranya tiba-tiba diam tak lanjutkan cerita. Setelah si taruna bersibobrok pandang dengan si gadis, secepat laju cahaya ia tarik pula pandangannya.

"Suruh dia pergi! Gue nggak sudi liat dia." Rafael berbicara pada sahabatnya, lalu menutup mata untuk tidur.

Mau tidak mau Soraya menelan mentah-mentah senyum merekah yang telah mengembang. Membawa segala bentuk rasa sakit pada hati sembari melangkah pergi. Sudah, jangan tanya seberapa sakitnya, karena tak ada satupun kata yang mampu mendeskripsikan. Di sini, seharusnya ia yang mengerti posisi, bahwa sang terkasih masih belum bisa didekati.

Dengan kepala yang ditundukkan dalam-dalam Soraya berjalan melalui lorong rumah sakit yang mulai ramai. Ia merapatkan cardigannya bersamaan dengan rasa sesak yang memenuhi dada. Tidak! Dia tidak boleh menangis!

Gadis itu berbalik ketika tangan kekar menghentikan langkahnya dari belakang. Leon, sahabat Rafael, yang mengejarnya. "Gue tau ini susah buat lo. Gue bakal berusaha bikin Rafael percaya sama lo lagi."

Soraya tersenyum tulus. Dia lega Rafael berteman dengan Leon yang sangat baik hati. Laki-laki itu hanya kesulitan mengekspresikan diri, sebab di balik kelakuannya yang terkesan dingin, cowok di depannya ini adalah orang yang pengertian. "Thanks."

"Ada sesuatu yang harus gue sampaikan ke Rafael?"

Soraya tahu ini adalah kesempatan bagus untuk menitipkan pesan pada Rafael. Namun, dia memilih menggelengkan kepala. Biarlah dia menyampaikan semuanya sendiri, walau semua itu sulit.

"Terima kasih banyak buat semuanya, gue sangat beruntung punya sahabat kayak lo. Apalagi Rafael." Alih-alih memberi pesan pada Rafael, Soraya lebih memilih mengucapkan terima kasih pada Leon. Bagaimanapun juga, semua yang telah Leon lakukan sangat berarti untuk hidupnya.

Mendengar secarik kalimat hangat itu, Leon menarik sudut bibirnya, membentuk kurva tipis yang jarang sekali terlihat oleh jangkauan mata. "Nevermind."

Setelah mengucapkan itu, si taruna ijin pergi, takut jika sahabatnya terlalu lama menunggu dan berakhir curiga.

"Dari mana aja lo?" Benar saja, Rafael sudah menunggunya dengan tatapan yang tak mengenakkan.

"Keluar bentar. Sini makan dulu!" Leon mengambil mangkuk bubur yang ada di atas nakas.

Saat sesendok bubur itu berada di depan mulut Rafael, cowok itu malah memalingkan wajahnya. Hal itu sontak membuat Leon berdecak.

"Makan nggak! Gue nggak tanggung jawab kalau lo mati kelaparan," paksa Leon sedikit membentak.

"Kalem kali, Pak. Galak banget sih ah," balas Rafael bercanda.

Leon mendengus lalu menyuapkan sesendok bubur pada Rafael.

"Udah."

Leon meletakkan mangkok bubur yang masih berisi cukup banyak itu ke atas nakas. Dia tidak ingin memaksa Rafael menghabiskan jatah makannya seperti kemarin-kemarin, sebab ia sudah cukup bersyukur melihat Rafael ingin memakan buburnya walau sesuap.

"Lo nggak ada niatan buat ketemu Soraya?" Rafael sontak menoleh ketika nama kekasihnya, ah ralat, nama gadis itu disebut.

"Bisa nggak jangan bahas dia?" balas Rafael tak suka.

RAFAELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang