5

19 16 14
                                    

Happy reading~

"Pahami situasi Ayahmu, jika dia pulang bekerja, dia pasti akan lebih mudah marah, benar, kan?"

Wow! Apa dia cenayang?

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku juga seorang pria yang bekerja, okay? Jadi aku tahu bagaimana rasanya. Kau tahu, tekanan pekerjaan dan kelelahan itulah pemicu emosi yang tidak stabil, apalagi jika memiliki Anak nakal sepertimu. Pasti Ayahmu itu sudah meledak-ledak setiap kau membuat kesalahan."

"Cukup kau diam atau baiknya menyiapkan segelas kopi atau mengajaknya mengobrol ringan, itu akan mengalihkan pikirannya tentang pekerjaan," lanjutnya lagi.

Apakah begitu? Itulah sebabnya setiap kali Ayah pulang akan menanyaiku tentang sekolahku? Teman-temanku? Bahkan tugas rumahku? Oh, aku mulai mengerti sedikit demi sedikit sekarang.

"Yah, Ayahku biasanya suka berbasa-basi tentang banyak hal, tapi aku jarang menanggapinya dengan antusias, karena pada akhirnya dia hanya akan meluapkan emosinya padaku."

Memang, pembicaranku dan Ayah tidak pernah bisa berjalan lancar. Jika itu hanya pembicaran singkat seperti saling sapa maka tak akan ada masalah, tapi jika sudah membahas banyak hal, dia akan selalu menyalahkanku dan seolah-olah menyudutkanku.

"Bisa kau contohkan salah satu percakapan yang membuatnya emosi."

Ragu-ragu aku mulai memberitahunya. "Em ... itu tentang sekolahku. Dia bertanya mengenai bagaimana ujian matematikaku. Aku bilang nilaiku di bawah lima dan dia langsung mencaciku sampai berbusa."

Dia mengelus dagunya, menatapku dengan raut menjengkelkan. Seperti menunjukan padaku bahwa 'kau memang sebodoh itu'.

"Lalu kau marah?" tanyanya yang kuangguki tanpa ragu.

"Tentu saja! Siapa yang tidak marah saat diejek olehnya." Kupingku saja rasanya masih panas mengingat setiap caciannya yang pedas. Mana ada orang tua yang menjatuhkan anaknya saat mereka sedang terpuruk? Hanya orang tua yang gila.

"Apa kau berteriak saat marah?"

Hem, kenapa dia bertanya terus-menerus?

"Terkadang, tapi kupikir tidak sekeras terakhir kali. Hey, bagaimana kau tahu?" Aku menatapnya sekali lagi, dengan menyelidik.

Kupikir aku tahu pekerjaan apa yang sesuai untuknya daripada menjaul koran. Dia sebenarnya cocok untuk membuka jasa perdukunan karena wajahnya cukup bisa meyakinkan banyak orang.

"Hanya tebakan beruntung," jawabnya dengan angkatan bahu tak tertarik.

"Sepertinya kau tidak pandai diajak bercanda," ujarnya sekali lagi. Dan apa-apaan itu? Kapan kita membahas hal lucu?

"Apa maksud penilainmu itu, Paman?" Aku mengangkat sebelah alisku tinggi-tinggi, tanda meminta penjelasan padanya.

"Kau anak yang kaku dan pemarah."

Hell! Kenapa dia justru menghakimi sikapku?!

"Hentikan olokanmu itu! Atau aku pergi sekarang," kataku yang mulai bersiap-siap dengan postur tubuh 'kapan saja siap untuk meninggalkannya.'

"Lihat? Kau sudah marah, padahal aku berkata jujur. Kau terlalu sensitif seperti remaja wanita kala red day mereka."

"Aku tidak mengerti ucapanmu itu. Tapi, wanita memang suka sekali bertingkah absurd, dan sulit dipahami." Okay, aku tak mengerti lagi kemana bahasan kami ini berjalan.

"Nak, kau harus tahu, Ayahmu itu sebenarnya orang yang suka bercanda, meski wajahnya tampak garang, dia pria yang santai."

Bah! Apa dia mengarang bebas tentang siapa Ayahku? Aku jelas lebih tahu dia daripada Paman sok tahu ini.

"Paman kau pasti sudah buta, bagaimana bisa mengatakan Ayahku adalah pria yang santai. Aku berteriak sedikit dia akan langsung meledak-ledak seperti gunung berapi!" ujarku dengan sedikit emosi. Yah, apa pun yang menyangkut Ayahku pasti membuatku kesal.

Dia menggeleng, dia sepertinya fraksi pembela ayah-ayah. Atau memang orang dewasa saling membela begini?

"Itu karena dia tidak menyukai tindakanmu yang tidak sopan sama sekali. Dan mungkin seperti yang kubilang, dia ingin meluangkan waktu untukmu namun kau justru membuatnya marah jadilah dia memukulimu."

Aku sekuat mungkin menahan bola mataku berputar. Aku pikir cukup basa-basi tentang ini. Tapi, aku akan tetap menghargai semua perkataannya, jadi aku mengangguk seakan mengerti dan tersenyum manis padanya.

"Terima kasih paman atas nasehatmu, aku akan mengingatnya baik-baik."

Dia tersenyum lalu mengacak rambutku lagi.

"Kau akan pulang?"

Mana berani aku. Aku tersenyum simpul sebelum menggeleng.

"Aku butuh kesiapan mental Paman. Baik, kupikir ini sudah tengah hari," ujarku sembari melihat arlojiku.

Haha pantas perutku rasanya aneh.

"Paman apa makan siangmu hari ini?"

Dia menyentil dahiku sebelum beranjak ke dapur.

"Bagaimana dengan sandwich?" Tawarnya yang membuatku tersenyum lebar dalam benak.

Yeah! Saatnya mengisi perut. Bye-bye lapar.

Tbc.

Generation Why (?)#10 Shoot [END]Where stories live. Discover now