Lembar Kesembilan Belas

4.9K 449 133
                                    

Nine Naphat menghabiskan setengah jam terakhir berdiri termenung di depan kaca raksasa ruang kerjanya, menatap kesibukan di jalan raya yang sangat ramai dan gaduh; jauh berbeda dengan situasi dalam kantornya yang sangat sepi dan hampa—seperti biasa. Rutinitas yang melelahkan ini terkadang membuatnya jemu, tapi itulah yang mampu membuatnya bertahan—dan setidaknya mampu membiarkan keluarganya hidup lebih dari sekedar berkecukupan.

Pria setengah baya itu tahu benar apa yang membuatnya jemu—hal itu tidak berhubungan dengan keluarga yang sekarang dia miliki, merekalah yang selama ini setidaknya masih menghargai dirinya. Pekerjaannya pun menyenangkan, sifat ambisius dan cerdiknya memberikannya kepuasan sebagai salah satu pengusaha terkaya di Asia.

Tidak.

Dia jemu dengan rasa gelisah dan bersalah. Dengan rasa sedih dan kecewa. Dengan rasa dendam dan amarah yang ditujukan hanya pada satu orang selama hidupnya.







Flashback.

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi."

"Mai, aku mohon. Biarkan aku bicara. Aku ingin bertanggung jawab atas malam itu!"

"Aku tidak perlu pertanggung jawabanmu, Nine. Sebaliknya, aku akan sangat menghargainya bila kau melupakannya dan menganggapnya tidak pernah terjadi."

"Tapi—bagaimana kalau kau hamil?"

"A—apa? Apa yang kau katakan?"

"Baifern bilang dia sering melihatmu muntah- muntah di pagi hari seminggu terakhir ini, dan kau juga pingsan dua hari yang lalu. Bukankah... lebih baik kalau kau membeli alat tes kehamilan?"

"Nine Naphat, Jangan bicara omong kosong dan jangan pernah menyebutkan kata itu di depanku. Aku tidak sedang hamil, dan kau tidak perlu khawatir tentang itu. Kita berdua masih sangat muda untuk menikah, kita juga punya impian masing- masing yang harus kita capai. Kau pikir kau bisa meneruskan usaha ayahmu kalau kau menikahiku? Ayahmu pasti akan mengusirku!"

"Mai Davika—"

"Dan aku pun ingin menjadi desainer ternama, aku tidak ingin menyerahkan impianku begitu saja. Karena itu, kalau kau perduli padaku—aku mohon, lupakan apa yang pernah terjadi malam itu, dan hiduplah dengan baik. Hanya itu yang bisa kau lakukan untukku."

End of Flashback.








Kerutan di dahinya berdenyut; pria tinggi itu melepaskan nafas tertekan sambil menutup matanya. Bagaimana, bagaimana caranya membayar dosanya selama lebih dari 20 tahun? Apa yang akan dia katakan pada anak itu bila mereka bertemu? Bagaimana dia sekarang? Apakah dia makan dengan baik atau tidak? Apakah dia hidup dengan baik ataukah menjadi gelandangan atau lebih buruk lagi... bekerja yang tidak- tidak? Mai Davika benar- benar seorang monster; membiarkan putra mereka dan Nine Naphat sendiri hidup terpisah tanpa tahu satu sama lain? Dan wanita itu bahkan tidak tampak bersalah, dia terlihat menikmati hidupnya sekarang—terlalu menikmati malahan.

Dia akan memastikan wanita itu tidak akan hidup tenang bila terjadi apa- apa pada putra mereka.

Suara ketukan pintu membangunkannya dari lamunan. Pria itu berdehem dan kembali memasang tampang dingin, berbalik dan menatap sekretarisnya dengan datar.

"M—maaf, Tuan Besar, tapi dia sudah datang."

Butuh kekuatan untuk menenangkan dirinya sendiri karena perasaannya sekarang jauh berbalik dari kata 'tenang'.

Terlebih karena dia tahu apa yang akan dihadapinya.

"Biarkan dia masuk."

*





The Story of Bear Family - TayNewWhere stories live. Discover now