7 : Aku Bukan Bocil (1)

8K 719 61
                                    

Jeje meremas kertas yang berisikan pesan dari Keano. Dengan napas panjang ia segera membawa kertas itu dan langsung memberikan kertas itu pada Kanaya.

"Mam, lihat kelakuan Keano. Dia pergi tanpa pamit, hanya ini yang dia tinggalkan," ujar Jeje sambil memberikan kertas tersebut pada Kanaya dengan nada marah. "Kekanakan!"

"Surat?" Kanaya mengambil kertas tersebut sambil membaca isinya. Raut wajahnya sih tampak kaget. Ya, pasti kaget, tentu saja, batin Jeje. 

Keano ternyata pergi karena tidak mau diperkenalkan dengan anak kenalannya. Raut wajah Kanaya cukup meyakinkan, bahwa dia ikut kesal dengan surat yang ditinggalkan Keano. Jeje pun yakin maminya itu pasti sedih.

Mengetahui hal itu Kanaya menyentuh dada sambil meringis miris. Melihatnya di depan mata, tentu membuat Jeje tidak tega, ia langsung memeluk maminya. Ah, sudah pasti, dia harus menghibur sang mami yang bersedih. Adiknya memang sangat keterlaluan, pikir Jeje menggeram tertahan.

"Sudahlah, Mam, jangan sedih, jangan nangis. Nanti Jeje akan menelpon Keano."

Kanaya menganggukkan kepalanya sambil sesekali menyentuh ujung matanya yang kering. 

"Biarkan dia pergi, intinya kan mami juga Daddy sudah tahu, dia pergi untuk kuliah lagi," tutur Jeje sambil mengusap punggung maminya dengan lembut. "Jeje tahu, Mami pasti sedih."

Naya mendongak, sambil memajukan bibirnya seperti anak kecil. Hal itu membuat Jeje mengerutkan kening. Kenapa Kanaya menatapnya seperti itu. Jangan-jangan? Tidak mungkin. Mamanya tidak boleh memikirkan seperti apa yang dia pikirkan.

"Mam, jangan katakan Mami ingin aku menggantikan posisi Keano?"

Naya memasang kembali raut memelas itu. Dia tau kelemahan sulungnya yang tidak tegaan.

"Jeje, kamu anak Mami yang paling pengertian, iyakan? Lagi pula, usiamu sudah cukup. Mami mohon, ya, Lea manis sekali. Mami sangat suka dia."

Jeje menggeleng cepat, lalu menjauh dari Kanaya. "Enggak, Mam. Jangan anak itu, Jeje nggak suka dia," tolak putra sulung Steve secara tegas tanpa banyak menimbang.

Dari sekian banyak gadis kenapa harus bocil itu, sih, pikir Jeje terus menolak tegas. Dipikir berulang pun Jeje tidak pernah menemukan kecocokan antara dia dan Aleandra.

Kanaya malah semakin bersedih. Dia harus tetap berjuang agar Jeje mau melakukan apa yang dia inginkan.

"Jeje kok gitu sih, lihat bundanya Lea, dia kena serangan jantung. Apa Jeje mau kalau Mami juga kena serangan jantung?"

Begitulah kira-kira cara Kanaya membujuk putranya.

Astaga, kenapa Mami jadi ikut kekanakan. Mana mungkin ada anak yang ingin orang tuanya terkena serangan jantung! Jeje membatin kesal.

"Mam, Jeje sedang tidak ingin berdebat apalagi tentang ini. Jeje harus kembali ke apartemen. Jadi, jangan bicarakan ini lagi, Jeje pusing."

Jeje mengecup singkat kening Kanaya, dan langsung pergi begitu saja.

"Jeje, jangan pergi, Nak!!"

Tapi tetap saja, Jeje pergi dan tidak mengindahkan ucapan maminya.
Bukan karena tidak ingin berbakti pada orang tua, tapi menikah dengan gadis yang sama sekali tidak ia cintai? Itu tidak masuk akal bagi Jeje.

Saat itu Kanaya bingung, harus berbuat apa. Padahal, kepergian Keano adalah rencananya. Ia yang menyuruh putra bungsunya untuk menolak, tentu saja hal itu dia lakukan karena ingin putra sulungnya yang menikah, bukan Keano yang masih muda. Tapi, Jeje malah tetap menolaknya. Lalu sekarang dia harus berbuat apa lagi ?

Istri Kecil Kesayangan Om Dosen • Pindah Ke INNOVEL ✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang