[B] Ini Kisah Tentangnya - Jeno x Siyeon

97 14 2
                                    


Written by winniedepuh

***

Aku ingin bercerita, tentang sosok pemuda beriris segelap tinta pena. Tentangnya yang mengisi kisah cintaku di umur tujuh belas tahun. Tentang pemen kapas, sepatu roda, dan es serut pelangi depan taman kota. Tentang hal-hal yang mungkin saja menurutmu sederhana, padahal itu mengandung arti berlebih untuk seseorang. Tentang makna ikhlas dan lepas yang mungkin saja sulit untuk dikisahkan.

Ini tentangnya, yang kerap kupanggil Jericho.

Rabu pagi masa itu hujan turun dengan deras, menghambat beberapa aktivitas orang-orang yang sedang hilir mudik untuk melaksanakan kegiatan mereka. Banyak terdengar keluhan yang membuat telinga sakit. Katanya, hujan datang tidak tepat waktu. Ah, padahal seharusnya bersyukur saja Tuhan masih mau menurunkan hujan. Coba bayangkan seandainya hujan tidak turun, bisa-bisa terjadi kesulitan di mana-mana.

Langkahku agaknya terburu-buru menuju halte, takut tertinggal bus sebab pagi ini aku terbangun kelewat siang, hujan sudah tidak sederas tadi. Sedikit menyesal karena tadi malam aku malah kebanyakan baca komik, padahal pagi ini akan ada ulangan dengan Bu Wati, guru ekonomi yang galaknya minta ampun. Mataku membulat saat melihat bus tiba berbarengan denganku yang sampai di halte. Bagus, aku tidak terlambat.

Perjalanan terasa lambat saat aku melihat ke arah jam tangan. Sepuluh menit lagi bel akan berbunyi. Aku berdiri saat bus sudah tiba di dekat halte tujuanku. Dengan terburu aku berlari ke luar hingga tiba di depan gerbang yang sudah ditarik Pak Lilik, satpam sekolahku. Aku menghela napas lega saat melihat seseorang meminta Pak Lilik menunggu sebentar agar aku dapat masuk. Pemuda itu selalu menyelamatkanku.

"Terima kasih, Jericho," ujarku sambil tersenyum. Tangannya terangkat untuk mengusak rambutku, membuatku menggerutu kesal.

"Apa bekas hujannya masih tinggal? Kau terlihat basah," ujarnya yang hanya aku balas dengan anggukan kecil.

"Hari minggu mau bermain sepatu roda, tidak? Aku juga ingin mencicipi es serut depan taman. Ah! Kita juga bisa membeli permen kapas," ujarku sebelum berpisah menuju daerah kelas IPS, kebetulan jurusanku dan Jericho berbeda, ia berada di kelas IPA.

"Aku harus gereja pagi, bagaimana dengan siang?" tanyanya membuatku sedikit berpikir.

"Kalau sore selepas ashar bagaimana? Jika kita pergi habis zuhur, aku nanti tidak lega, takut kelewatan ashar," jawabku disetujui dengan cepat oleh Jericho.

"Oke, kalau begitu cepat masuk, kau harus ulangan pagi ini dengan Bu Wati." Jericho mendorong punggungku menjauh.

"Iya..., see you, Jericho!" Aku berjalan sambil melambaikan tangan ke arah Jericho yang masih diam di tempatnya.

"Salma?" panggilnya membuatku berbalik.

"Ya?"

"Semangat!" Jericho tersenyum di ujung sana, membuatku ikut menyunggingkan senyum pula.

Senyum itu bukanlah pertanda manis, yang ada hanyalah kepahitan. Sebab perkara perasaan memang tidak ada yang bisa mengatur, tetapi mengapa harus padanya yang jelas-jelas tidak akan pernah bisa kumiliki? Meski nyatanya Jericho adalah luka termanis dari perbedaan yang pernah kurasakan.

Bercerita tentang sosok Jericho, ia bukanlah laki-laki yang banyak mau. Jericho cenderung menurutiku, malah sepertinya aku yang banyak menuntut tentangnya. Dari awal aku dan Jericho sudah banyak perbedaan memang. Ia menyukai olahraga, sementara aku tidak. Aku menyukai cerita romansa, sementara ia lebih suka horor. Perbedaan yang kata orang-orang adalah pelengkap kesempurnaan, tidak pernah kualami sepenuhnya.

The Fiction of Valentine'sWhere stories live. Discover now