Bag. 8

873 165 10
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam. 3 jam yang lalu Hinata baru kembali ke apartemen sederhananya. Ia duduk di sofa ruang tamu dengan menopang dagu ditemani sebotol air putih dingin yang ada di atas meja. Berharap bisa mendinginkan isi kepalanya yang mendadak gerah. Perubahan besar pada jam kerjanya membuat waktu, tenaga dan emosinya sedikit terkuras.

Jika ia berjualan sendiri, hanya dalam  hitungan jam dengan takaran 10kg adonan takoyaki. Ia sudah kembali pulang sebelum pukul 8 malam. Tapi sekarang apa ? Belum lagi tadi sempat ada keluhan dari pelanggan setianya yang membuat ia terhenyak sekaligus merasa tidak enak.

Gadis penjual takoyaki itu sedang dilanda gamang. Ia kembali menghela napas panjang dan meneguk air putih dingin yang ada dalam botol kaca berukuran 500ml tersebut. Permasalahan pelik kian banyak saat mereka memutuskan untuk bekerja sama dengan restoran milik keluarga Namikaze-Uzumaki.

"Apakah aku harus membatalkan kerja sama ini ya ? Kasian para pelangganku. Banyak dari mereka yang tak bisa memakan takoyakiku karena harganya yang naik 2x lipat. Ck," Hinata berdecak, raut wajahnya muram. Ia mengacak poni depan rambutnya, frustasi.

"Maaf, ada apa ini ?
Melihat ada keributan kecil di meja Customer Service membuat Hinata menghentikan aksinya. Beruntung, ia sudah menyiapkan semua pesanan yang ada. Ia menghampiri meja CS restaurant. Karena ia tahu, yang datang adalah salah satu pelanggan setia Hinata.

"Ehh, ini kakak yang penjual takoyaki itu 'kan ?"

"Ya, ada apa ?"

"Kami harap, kakak tak berjualan di sini lagi. Takoyaki kakak sudah naik kelas, pasti harganya jauh lebih mahal. Selain itu, kami juga harus menunggu lama untuk membelinya. Tak seperti waktu kakak memakai foodtruck dulu. Walaupun harus menunggu tapi tak lama," keluh salah satu pelanggan Hinata. Dia seumuran Hanabi. Sosok gadis berambut coklat yang bernama Yuki.

Hinata menatap satu persatu para pelanggannya yang tampak kecewa. Sudut hati Hinata ikut bersedih ketika mereka yang notabenenya adalah pelajar tak bisa menikmati takoyakinya yang terkenal enak dan murah.

"Aku minta maaf, ya.." ungkap Hinata tulus dengan sorot mata berkaca. Ada rasa sesal sekaligus sedih di dalam benaknya kenapa ia mau terjebak di situasi ini tanpa berpikir panjang terlebih dahulu mengenai efeknya. Bahwa ia sadar, kalau pelanggan Hinata rata-rata bukan dari kalangan orang berada. Tapi orang biasa, bahkan ada yang statusnya masih pelajar, sama seperti sang adik tercinta, Hanabi.

.
.
.
.
.
Keesokan harinya, saat Restoran sudah dibuka. Hinata berniat datang untuk menemui Kushina yang ruangannya terdapat di lantai atas.

"Ada apa, Hinata ? Tumben kau datang pagi," todong sebuah suara baritone khas milik Naruto. Pria tampan itu sedang duduk untuk menyesap espresso di restoran milik orang tuanya sendiri. Ia melihat Hinata yang mengenakan pakaian biasa menuju ke anak tangga. Mendengar suara Naruto, sontak membuat gadis itu berhenti. Karena posisi tubuhnya membelakangi Naruto.

Naruto berdiri dari duduknya dan menarik lembut pergelangan tangan Hinata. Gadis itu terkesiap, ia pasrah mengikuti kemauan putra sang pemilik restoran,"Duduklah, kau mau sarapan apa ? Aku akan membuatnya untukmu," titah Naruto, posisi pria itu berdiri sedangkan Hinata duduk dengan rasa canggung yang mendominasi. Naruto menatap Hinata yang tertunduk malu dengan senyum tipis.

Hinata dilanda gerogi, detakan jantungnya makin tak terkira bunyinya. Terlebih, saat ia melirik sosok menjulang yang kini ada di hadapannya. Ia meneguk ludah, ia mengakui kalau pria itu mempunyai kharisma dan pesona yang memikat. Apalagi saat ia mengenakan seragam chef berwarna oranye seperti sekarang ini.

"Hei, kau melamun ya ?" Naruto menggenggam bahu kanan Hinata, mencoba untuk menyadarkan gadis yang sedang termenung itu.

"A-ahh,i-ituu.." Hinata gelagapan dengan sipu merah yang kentara di kedua pipinya.

Takoyaki Girl (End) ✔️Where stories live. Discover now