5 | WALK HER HOME

11.4K 2K 289
                                    

"YOU are being extra, Daddy."

Darren sedang memasang baut terakhir pada teralis besi yang kini menghiasi jendela kamar Zevanya. Anak itu duduk di tepi tempat tidur dengan wajah menahan tangis. Kebebasannya telah direnggut.

"Cuma ini satu-satunya cara supaya kamu nggak kabur seenaknya lagi." Bunyi mesin obeng berdengung menyebalkan. Setidaknya bagi telinga Zevanya.

"What's so wrong with it? Zee cuma main ke rumah Didi! Seandainya Daddy kasih izin, nggak mungkin Zee nekat turun dari jendela!"

Selesai memasang semua baut di tempat masing-masing, Darren memandangi hasil kerjanya untuk yang terakhir kali. Ia mengangguk-angguk puas. Untuk memastikan teralisnya kuat, lelaki itu mengguncang teralis besi berkali-kali.

"Didi nggak suka nerima tamu, Zee."

"Didi nerima Zee, kok!" sergah Zevanya.

"No more coming over to Didi's place, understand?"

"But why?"

"Didi doesn't like you."

"But I like her!"

Wajah Darren mendung. "What do you like so much about her? She's rigid, unfriendly, and her beasts are dangerous!"

"Nanna isn't dangerous!"

"What about the snake?" Darren menggelengkan kepalanya karena baru menyadari kalau sejak tadi mereka berdebat dalam bahasa Inggris. Padahal salah satu misinya tinggal di Indonesia adalah agar Zevanya lebih luwes berbahasa Indonesia. "Ular itu binatang buas. Mereka berbahaya."

"Darren nggak berbahaya, Daddy! Dia ular jinak yang warnanya magical and beautiful!"

Ujung bibir Darren berkedut karena mendengar nama ular Didi yang sama dengan namanya. "Kita nggak bisa pastikan ular itu berbisa atau enggak."

"Tapi, Didi ada di sana! Dia nggak akan ngebiarin Nanna sama Darren nyakitin Zee! Lagian Didi nggak rigid seperti yang Daddy omongin barusan! She's super cool! Didi punya buku macam-macam, punya kebun, rumahnya adem padahal nggak pake aircon kayak rumah kita!" Aksen Zevanya keluar tanpa ia sadari. Logatnya campur aduk. Dalam sekali dengar, orang-orang pasti mengira Zevanya kebule-bulean.

"Didi took care of me!" Ia menunjuk pergelangan kakinya yang masih terbalut ankle brace. "Dokter bilang, Zee beruntung karena ligamen Zee tegang dan cepat diobatin, Daddy dengar sendiri kemarin! Didi juga yang naruh tangga di bawah jendela kamar Zee supaya Zee bisa turun hati-hati!"

Darren menghela napas lelah. "Sudah, Zee. Daddy capek. Lebih baik kamu tidur."

"Besok, kan, weekend. Jadi sekarang, Zee juga harus tidur jam ...." Ia melirik jam beker di nakas. "Jam delapan malam? Really? Grannie aja nggak pernah, lho, nyuruh Zee tidur seawal ini kalo besoknya libur!"

"Grannie sama Grandpa nggak ada di sini. This is my house and it's my rule now. Got it?"

Darren merutuki dirinya sendiri karena lagi-lagi berbicara dalam bahasa Inggris dengan Zevanya. Putrinya itu menyembunyikan wajah di balik bantal. Mungkin menangis. Darren jadi pusing. Membesarkan seorang remaja sendirian ternyata melelahkan.

***

Didi baru selesai mengepak dua buku klasik pesanan seorang pelanggan dari Singapura. Pihak ekspedisi datang mengambil paketnya sejam kemudian. Sekalipun ini hari Minggu, Didi tetap bekerja seperti biasa. Untungnya, perusahaan ekspedisi yang ia sewa untuk mengirim paket khusus ini selalu siap melayani bahkan di luar jam kerja. Karena isinya berharga, packing-nya juga tidak sembarangan. Didi memercayakan tugas itu kepada dirinya sendiri. Ia yang paling mengerti cara menyimpan naskah dan buku klasik rapuh agar tetap baik hingga ke tangan penerima.

Smitten [Published by Karos]Where stories live. Discover now