Happy Reading!😉🤗
Vote dan Komen dulu, dong. Jangan lupa taburkan bintang dan komen yang sebanyak-banyaknya.😉😙🌟🌟"Jika kita mempunyai dua mata, dua tangan, dua kaki, satu hati. Kenapa menilai seseorang hanya dari kedua telinga?"
~Azkia Aqilla Candra~
==============================
Detik, menit, hingga jam terus berlalu. Dentuman jarum jam terdengar berputar seiring detik demi detik yang terus berlalu pergi. Di luar aula sekolah SMA Nusantara semua menunggu dengan tidak sabar. Arta, Fikri, Putri dan juga Citra tampak menunggu dengan penuh kecemasan.
Sangat jauh berbeda dengan Azkia yang malah terlihat santai-santai saja. Ia bahkan lebih sibuk mengunyah dan menikmati coklat kesukaannya yang tadi diberikan Gibran. Tak lupa meminum lemon tea yang sebelumnya sudah disiapkan ibunya. Sedikit pun tidak terlihat ada kecemasan di wajahnya. Gadis itu benar-benar terlampau santai menanggapi tantangan pak Bahar.
"Azkia, tidak bisakah kamu merasa cemas sedikit saja? Ini bukan perkara sepele. Ini tentang keberlangsungan kamu di SMA Nusantara kedepannya," protes Citra yang memang sudah cemas setengah mati sejak tadi.
"Meski tidak peduli, setidaknya berpura-puralah seolah kamu sedang khawatir," timpal Arta yang tak kalah mencemaskan gadis itu.
"Benar, ini sama sekali bukan perkara mudah, Azkia." Putri ikut bersuara.
"Yaelah, aku sudah bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua akan baik-baik saja. Percaya sama aku." Azkia kembali melanjutkan mengunyah coklatnya setelah mengatakan itu.
"Sungguh, semua benar-benar akan baik-baik saja. Aku bahkan tidak merasa cemas sedikit pun. Karena aku percaya mereka bisa menyelesaikan semua soal-soal yang diberikan. Selama ini aku sudah banyak mengajari mereka," kata Azkia lagi.
"Apa kamu pikir Pak Bahar dan Ibu Maya akan memberikan soal yang sama dengan soal ulangan kemarin? Itu jelas tidak mungkin, Azkia. Pak Bahar dan Ibu Maya tidak akan mungkin sebaik itu. Kita semua tahu bagaimana mereka membenci Geng Thunder. Mereka akan melakukan apapun untuk mempersulit semua anggota Geng Thunder. Dan tentu saja, termasuk siapa pun yang berani ikut campur." Fikri menatap Azkia dengan tatapan kekhawatiran, tak jauh berbeda dengan Arta, Citra dan Putri.
"Kebenaran akan selalu menjadi pemenang. Tak peduli seberapa kuat keburukan menghadangnya, pada akhirnya kebenaran akan tetap menjadi kebenaran dan keburukan akan selamanya menjadi keburukan." Azkia terlihat begitu yakin saat mengucapkan kata-kata itu.
Tak ada lagi yang mencoba mengatakan sesuatu hingga akhirnya pintu aula terbuka dari dalam. Seluruh anggota Geng Thunder keluar menyisahkan para guru-guru di dalam sana. Memeriksa hasil tes ulang mereka yang akan menjadi penentu dari hasil kesepakatan Azkia dan pak Bahar.
"Bagaimana?"
"Kalian bisa menjawab soal-soalnya, kan?"
"Soal tesnya susah nggak?"
"Semua akan baik-baik saja, kan?"
Berbagai pertanyaan langsung dilontarkan Arta, Fikri, Citra dan Putri. Sementara Azkia masih setia bungkam. Bukan karena merasa takut atau pun khawatir hasilnya tidak akan baik, melainkan karena dia memang sama sekali tidak peduli dengan hasil tes itu. Sedikit pun ia tidak khawatir dengan tes ulang Geng Thunder.
Sekali lagi, Azkia percaya anggota Geng Thunder pasti bisa mengatasi semuanya. Mereka pasti bisa melakukan yang terbaik. Karena selama ini mereka semua benar-benar telah melakukan yang terbaik.
"Pak Bahar dan Ibu Maya sepertinya memang punya dendam kesumat sama kita, deh. Gila, mereka berdua sengaja membuat soal-soal yang luar biasa susah," tutur Bimo penuh amarah.
"Ja-jadi?" Arta menjeda.
"Tapi, kalian bisa menjawab soal-soalnya, kan?" sambungnya. Terlihat jelas bahwa pria tampan berdarah Timur Tengah itu sedang mengkhawatirkan Azkia. Gadis yang kini malah sibuk menikmati coklat kesukaannya.
"Tenang saja, kita semua bisa mengatasinya. Selama ini Azkia benar-benar sudah membimbing kami dengan baik," jawab Hendry. Tidak ada keraguan dalam kalimatnya. Membuat Arta, Fikri, Citra dan Putri kompak menghela napas lega.
Hanya berselang 15 menit kemudian para guru-guru juga keluar. Wajah pak Rahman terlihat berseri-seri, sangat berbeda jauh dengan raut wajah pak Bahar dan ibu Maya. Dari perbedaan ekspresi itu saja sudah cukup menjelaskan bagaimana hasil test ulang anggota Geng Thunder.
"Kalian sudah bekerja keras. Bapak bangga sama kalian. Terutama kamu, Azkia. Bapak benar-benar salut sama kamu, Nak. Berkat Nak Azkia, keparat-keparat ini akhirnya belajar juga." pak Rahman menepuk-nepuk pundak Gibran bangga.
"Yelah Pak, kalau mau menghina yaa hina aja kali, Pak. Nggak perlu dipuji dulu trus ujung-ujungnya ngehina juga." Semua tertawa mendengar ocehan Bimo.
"Jadi, semua baik-baik saja sekarang?" tanya Arta memastikan.
"Iya, mereka berhasil menjawab semua soal-soal yang diberikan. Mereka malah mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari ulangan kemarin. Gibran bahkan berhasil mendapatkan nilai sempurna," tutur pak Rahman bangga.
Azkia bangkit dari duduknya, berjalan dan berhenti tepat di depan pak Bahar. Wajah pria baya itu terlihat pias saat Azkia menatapnya penuh kemenangan. Harga dirinya yang selalu ia junjung tinggi tiba-tiba jatuh sejatuh-jatuhnya. Dan semua hanya karena anak ingusan di depannya. Ia kalah dari seorang bocah tak punya rasa takut itu.
Memalukan.
"Don't judge book by its cover. Apa Bapak dan Ibu tidak pernah mendengar pepatah itu?"
Azkia kembali tersenyum. Sebenarnya ia hanya tersenyum seperti biasa, namun itu malah terlihat seperti senyuman mengejek di mata pak Bahar dan ibu Maya.
"Jika kita mempunyai dua mata, dua tangan, dua kaki, satu hati. Kenapa menilai seseorang hanya dari kedua telinga?"
"Ahh, dan satu lagi. Bapak tidak perlu khawatir dengan kesepakatan kita sebelumnya. Anggap saja itu tidak pernah ada. Toh, tidak ada hitam di atas putih."
Jleb!
Pak Bahar dan ibu Maya kompak membulatkan kedua matanya sempurna. Antara malu dan juga tertampar telak dengan kata-kata Azkia. Sekali lagi harga diri mereka jatuh dan terinjak-injak oleh gadis kecil itu.
Sial!
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kan? Sekarang kami bisa pergi?" tanya Gibran mulai merasa bosan.
"Tentu saja, kalian boleh pergi sekarang." Itu adalah pak Rahman. Pak Bahar dan ibu Maya masih betah mengatubkan bibir mereka. Seakan enggan untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Orang lain memang selalu bisa melihat sisi luar seseorang, tapi hanya sedikit yang bisa melihat sisi dalamnya. Cover bukanlah jaminan atas isi dan begitu pun sebaliknya. Durian memiliki kulit berduri tajam tapi memiliki isi yang manis. Sementara kedondong mempunyai kulit yang mulus nan halus tetapi memiliki isi yang berduri.
Kesimpulannya adalah seseorang tidak bisa menilai seseorang yang lain hanya dari melihat luarnya saja. Seseorang tidak bisa menarik kesimpulan atas seseorang yang lain hanya dari satu sisi saja. Karena setiap orang memiliki sisi-sisi lain yang berbeda-beda.
Terima kasih sudah membaca AFTER A LONG TIME. Semoga kalian suka!😉😙
See you next part!👋👋👋

YOU ARE READING
AFTER A LONG TIME
Teen FictionHarap follow dulu baru baca!😉😙 Azkia Aqilla Candra Gadis ceria, optimis, sedikit pecicilan dan sangat ceroboh. Satu-satunya kelebihan Azkia adalah bisa menjadi satu-satunya gadis yang bisa dekat dengan Arta Tristan Abrisam. The most wanted boy, bu...