21. Bisa Kita Bicara?

5 1 0
                                    

— ■ —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— ■ —

Stephanie berusaha membuka matanya perlahan. Rasanya berat untuk dibuka. Atau sesungguhnya, dia saja yang tidak siap membuka matanya. Melihat dunia yang terasa hampa baginya semenjak dua hari yang lalu.

Tapi pada akhirnya, Stephanie terbangun dari tidurnya.

"Kau sudah bangun," ucap seseorang terdengar dari atas kepala Stephanie.

Sang wanita menjawab dengan deheman ogah-ogahan. Namun pikirannya belum sepenuhnya sadar. Belum sepenuhnya menyadari siapa pemilik suara tersebut.

"Bagaimana kau bisa tertidur dengan keadaan seperti ini?" tanya sosok itu lagi.

"Entahlah," Stephanie menggedikkan bahu malas. Dan kepalanya masih bersandar nyaman di bahu seseorang. "Aku tidak ingat."

Tunggu. Bahu siapa ini?

Dengan mata yang perlahan membelalak, Stephanie terperanjat dan langsung meluruskan posisi duduknya. Menoleh cepat ke sisi dimana ia bersandar sebelumnya. Dan pada saat itulah, pikirannya serasa kosong ketika melihat siapa sosok yang berbicara dengannya tadi.

"Mr ... Melrose ...," sebut Stephanie dengan wajah horor.

"Hei," balas Patrick singkat.

Suasana berubah awkward detik itu juga. Baik Stephanie maupun Patrick, keduanya jelas terlihat menghindari tatapan satu sama lain.

Tapi tak berselang lama, Patrick memberanikan diri menatap Stephanie. Meski wanita itu masih menolak untuk balik memandangnya.

"Will," panggil Patrick yang membuat Stephanie tersentak. "Bisa kita bicara?"

Dalam sudut pandang Stephanie, wanita itu menegak ludah ketika mendengar tawaran atau permintaan Patrick. Sungguh, kenapa mereka justru jadi begini karena pembicaraan tempo hari? Dan andaikata Stephanie tak jatuh hati pada partner-nya, masalah ini pasti takkan serumit ini.

Memang, cinta itu membuat segalanya rumit.

Stephanie mengembuskan napas panjang. Menarik napas, lalu mengembuskan lagi. Sekali lagi, hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk menatap Patrick. Bertemu kembali dengan manik biru kehijauan yang memikat itu.

"Apa ... yang ingin Anda bicarakan?" tanya Stephanie. Tapi, nada bicara wanita itu terdengar gelisah.

Patrick membisu sejenak. Mungkin memikirkan kata yang cocok, dan menghindari masalah lain lahir hanya karena kesalahan kata. Karena Patrick ingat, berbicara baik-baik bukanlah keahliannya.

"Maafkan aku," ujar Patrick akhirnya setelah memikirkan ratusan bahkan jutaan kata di pikirannya.

Sedangkan Stephanie, ia tak bisa menutupi rasa terkejutnya saat mendengar dua kalimat yang diutarakan Patrick barusan.

"Maaf jika aku membuatmu terluka karena ucapanku tempo hari," lanjut Patrick lagi memperjelas.

Oh.

"Aku sungguh tak bermaksud menghinamu ataupun rekan Metanoia-mu. Sungguh, aku tak memiliki niatan semacam itu," tambah Patrick, "aku paham diriku ini bodoh dalam menilai situasi. Bahkan Johnny juga mengakui demikian. Tapi aku dengan bodohnya, justru mengabaikan kenyataan itu begitu saja. Mengatakanmu begini begitu, tanpa memikirkan perasaanmu.

Aku ... aku sungguh menyesal Stephanie. Kumohon, tolong maafkan aku. Dan tolong ...,"

Sang pria jangkung terhenti. Kepalanya tertunduk, kedua tangannya yang berada di atas pahanya tampak mengepal kuat.

"Tolong ... tolong jangan abaikan aku terus menerus seperti ini," sambung Patrick dengan nada memohon. Kepalanya ia angkat hingga lurus memandang Stephanie. Tapi, sorot dari manik biru kehijauannya jelas menunjukkan ketidakberdayaan. "Aku bisa benar-benar gila—!!"

Stephanie menutup mulut Patrick tiba-tiba dengan salah satu tangannya. Ia tahu itu tindakan yang lancang. Tapi ia akan abaikan hal itu sekarang.

"Tolong berhenti bicara," minta Stephanie sejenak menghindari tatapan Patrick. "Dan saya ... memaafkan Anda,"

Patrick diam mematung dengan rasa terkejut mendengar Stephanie memaafkannya. Perlahan, sang wanita mulai menurunkan tangannya dari bibir Patrick, bersama dengan tatapan Stephanie yang kembali padanya.

"Saya ... tak tahu harus bagaimana," ujar Stephanie, "saya sangat kesal dengan ucapan Anda tempo hari. Tapi disisi lain, saya paham bahwa itu memang faktanya. Saya hanya tak bisa menerima itu, dan justru melimpahkan kekesalan saya pada Anda. Maaf, saya sungguh minta maaf karena tidak bisa bertindak profesional,"

Semula, Patrick ragu. Tapi perlahan namun pasti, sang pria memberanikan diri mengangkat tangannya. Dan menepuk lembut puncak kepala Stephanie. Yang mana tindakan itu sukses membuat Stephanie membelalakkan mata.

"Terima kasih sudah mau berkata jujur," ujar Patrick menurunkan tangannya dari atas kepala Stephanie. "Dan aku tidak marah padamu. Tidak sama sekali. Lalu soal perasaanmu—"

"Tolong jangan membahas soal itu!" potong Stephanie tanpa sadar meninggikan suaranya. Dan tentu saja, nada bicara itu berhasil membuat Patrick terkejut. "Saya ... saya tak ingin mendengar apapun dari Anda soal itu. Tolong ... jangan membahasnya."

Patrick terdiam memandangi wajah Stephanie yang merona. Ia tak boleh berkomentar. Ia tahu kenapa, tapi ia harus bisa menahan diri untuk tidak berkomentar. Harus!

"Baiklah," Patrick akhirnya mengiyakan, "aku takkan membahas soal itu lagi,"

Stephanie menghela napas lega.

"Jadi ... itu artinya kita oke?" tanya Patrick kemudian mencoba mencairkan suasana. "Tak ada lagi silent treatment? Friend?"

"Yes, we're fine." Jawab Stephanie dengan senyum.

"Great!" Patrick berseru senang tanpa sadar. Melonjak tiba-tiba dari duduknya. "Sekarang, bagaimana jika kita keluar untuk makan?"

"Bukankah Anda sudah makan dengan Mr.Hall?" balas Stephanie heran dengan ajakan Patrick.

"Makan dengannya jelas berbeda jika bersamamu, Stephanie." Sahut Patrick dengan entengnya.

"Bodoh." Celetuk Stephanie tak habis pikir.

— ■ —

Metanoia - Patrick Melrose TV Series Fanfiction [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang