9

3.1K 347 10
                                    

Seluruh karyawan langsung menuju meja mereka masing-masing saat seorang pria masuk ke dalam perusahaan mereka. Walaupun terbilang baru menginjakkan kaki, tapi, tak ada satupun karyawan yang menunjukkan ketidak sukaan dengannya. Aga memang tidak pernah dibenci orang lain. Selain sifatnya yang humble, dia juga memiliki sifat yang gentleman. Tak heran banyak wanita yang jatuh hati padanya. Termasuk Ara.

Aga melangkahkan kakinya menuju ruangan yang akan menjadi tempatnya selama menjadi CEO di perusahaan ini. Sebelumnya, pemilik perusahaan ini adalah milik kakeknya. Diturunkan ke pamannya, karena pamannya tak punya anak, sehingga perusahaan ini diserahkan ke Aga. Mengingat umur Aga sudah bisa dikatakan dewasa.

Ruangan yang wangi dan terawat, membuat Aga merasa nyaman. Ia duduk di sofa yang empuk dan matanya menyebar ke seluruh ruangan. Dia juga menghela napas. Rasa rindunya hari ini terobati. Ia bisa melihat wajah Ian walaupun wajah pria itu tak mau senyum di depannya.

Di waktu yang sama, Ian duduk di kursinya sambil menatap layar laptopnya yang mati. Tatapannya kosong. Pikirannya mengarah ke Aga yang kini terlihat berbeda. Dia bahkan melihat sisi Aga yang terlihat semakin berkarisma. Dan gadis yang bersamanya.

Ian tak ada hak untuk cemburu. Apa iya dia cemburu? Harusnya dia bangga, sahabatnya punya kekasih. Lantas mengapa Ian sampai detik ini tak ada niat ingin mencari kekasih? Saat ada gadis yang ingin mendekatinya, ia merasa tak nyaman. Sampai suatu hari, Ian pernah mencari seseorang yang memiliki sifat dan kelakuan seperti Aga. Tapi sayangnya, pria itu limited edition. Ian tak bisa menemukannya di mana-mana. Jujur selama 10 tahun, Ian rindu Aga. Tapi dia gengsi untuk mengatakannya.

Ian mengambil ponsel pintarnya. Dia mencari akun instagram yang kini sering dia kunjungi belakangan ini. Kemudian, membuka direct message mereka. Belum ada topik tambahan. Masih dengan pembicaraan kemarin.

Ruangan mendadak panas. Ian sedikit melonggarkan dasinya kemudian mulai mengetik sesuatu di sana. Dengan lihai ia memainkan jarinya.

"Bodoh! aku kangen!"

Lama Ian memandangi kalimat itu, kemudian dia urungkan untuk mengirimnya. Ia meletakkan ponselnya ke atas meja. Memyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi dan mengurur batang hidungnya. Kehadiran Aga membuat pikiran Ian semakin berantakan. Mengapa pria itu harus kembali lagi. Kalau memang ingin pergi, pergi saja, tak usah kembali.

Tapi, perasaan tak bisa bohong. Ian tak mau kehilangan sahabat seperti Aga. Pria itu yang mengerti Ian seperti apa. Dia yang tau bagaimana Ian kalau marah, sedih, kecewa dan lain-lain. Kalau Ian sedang merasakan itu, cuma Aga yang bisa membuat pikiran Ian tenang.

Setiap masalah yang Ian dapati dulu saat sekolah, Aga yang membuat ia bisa menghadapinya. Pria itu memang beda. Tidak munafik, Ian memang tak ingin kehilangan Aga. Tapi, dia juga yang benci sama Aga hanya karena pria itu gak mengatakan kalau dia akan kuliah di London. Hal itu yang membuat Ian benci dengannya.

Ian sadar, dia hanya sebatas sahabat. Tapi, apa sahabat tak bisa tau tentang apa yang ingin dicapai sahabatnya? Bukan suatu hal tabu jika seorang sahabat tau semua tentang sahabatnya. Bahkan, Ian tau merk celana dalam Aga, begitu pula dengan Aga. Itu adalah hal yang wajar.

Kejadian yang membuat hubungan mereka merenggang itu selalu tergambar di pikiran Ian. Dia sama sekali tak masalah dengan itu. Hanya saja, dia masih gak mau hal itu jadi semakin dalam. Dia takut, dirinya akan dibilang beda dari yang lain. Apa wajar sahabat suka sahabatnya sendiri? yang mana mereka memiliki kelamin yang sama.

Itu tidak wajar.

Jujur, Ian menyukai aksi Aga saat itu. Bahkan Ian merasa bodoh bisa sadar dengan waktu yang cepat. Tapi dia juga berterimakasih karena sudah disadarkan. Kalau tidak, mungkin hal yang lain bisa terjadi.

Ian & Aga [end]Where stories live. Discover now