Dua Hati

43 16 2
                                    

Buliran air langit makin keras menghujam bumi, kilatan cahaya membelah langit yang pekat. Lionel memandang keluar jendela. Tak mungkin dia akan pulang dengan cuaca seperti ini. Namun, jika harus menginap dengan perempuan yang baru di kenalnya, berdua di rumah dalam keadaan hujan lebat, tentunya dia harus benar-benar bisa menahan diri. Sial! Kapan hujan ini akan berhenti? Aku tak nyaman dengan keadaan ini. Aku takut menjadi buas jika hanya berdua seperti ini, umpat Lionel dalam hatinya. Senada dengan Lionel, Ele pun memiliki ketakutan yang sama. Bukan tak mungkin akan ada setan di antara mereka, membungkus nafsu dengan dalih apapun itu. Bagaimana ini? Aku takut jika harus menghabiskan malam pekat ini hanya berdua dengan laki-laki asing. Semoga dia adalah laki-laki yang baik. Bukankah dia baru menolongku. Ah, tidak! Bagaimana jika nanti dia mendadak liar dan buas? Bagaimanapun dia adalah seorang laki-laki, cemas Ele dalam hatinya.

"Tidurlah! Sepertinya hujan akan lama berhenti. Aku akan tidur di sofa ini. Tak mungkin aku melanjutkan perjalanan dengan cuaca seperti ini. Tenang saja. Aku masih bisa mengendalikan diriku. Aku tak seliar itu," ucap Lionel seolah tahu isi hati Ele. Gadis muda itu tersenyum, dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Selimut tipis membalut tubuhnya yang kurus. Sudah hampir tengah malam, tapi tak ada tanda-tanda hujan akan reda. Keduanya akhirnya tertidur lelap tanpa aksi dan reaksi. Menjelang matahari terbit, Ele yang terbiasa bangun pagi sudah bersiap menghangatkan sup jagung yang dia miliki, ada dua potong roti gandum di dalam lemari makannya. Walaupun itu bukan roti gandum terbaik, tapi hanya itu yang dia punya untuk menyambut tamunya. Apakah dia suka makanan sederhana ini? Hanya sup jagung dan roti gandum? Aku tak punya sesuatu yang layak untuk di sajikan. Selene sedikit kecewa, dia ingin menyajikan yang terbaik untuk penyelamat hidupnya, tapi apa daya hanya ini yang dia miliki. "Pagi sekali kamu bangun?" ucap Lionel.

"Ah! Aku sudah terbiasa." Ele meletakkan semangkuk sup jagung dan sepotong roti di meja. Di sisi sebelahnya ada secangkir teh bunga chamomile dan madu. "Semoga kamu menyukainya. Maaf tak ada yang lain yang bisa aku sajikan," ucap Ele.

Lionel hanya tersenyum menanggapi ucapan Ele. Dia menarik kursi kayu lalu menyendok sup hangat tadi. "Enak. Kamu pandai sekali membuatnya. Perutku terasa hangat." Pujian Lionel membuat wajah Ele memerah, entah sejak kapan dia merasakan malu jika seseorang memujinya. Hanya saja ini baru pertama di rasakan, entah kenapa dia merasa tak asing bahkan tak merasa canggung di hadapan Lionel. Seolah ada sesuatu di antara mereka. "Kamu terlalu berlebihan memujiku. Ini hanya sup jagung biasa," ucap Ele.

Lalu Lionel meneguk teh hangat tadi. Untaian garis lengkung indah mengukir di kedua sudut bibirnya. Teh bunga yang membuat syaraf otaknya melonggar dan nyaman. Manis dari madunya pas, saat itu gula adalah barang mahal yang hanya bisa di nikmati oleh kaum bangsawan. Untuk rakyat biasa madu dan air nira sudah cukup istimewa. Terlebih teh pun merupakan barang mewah, Ele meracik teh dari bunga chamomile yang di keringkan, rasanya agak sedikit sepat. Namun, manis madu yang tercampur akan mengurangi rasa sepat tadi. Manfaat yang luar biasa pun akan di dapat dari seduhan tadi, chamomile dapat merileksasikan sistem syaraf sehingga bagus untuk orang yang mempunyai gangguan tidur.

"Jika kamu berkenan, datanglah ketempatku. Aku akan dengan senang hati menyambutmu. Ah! Tidak ada maksud lain. Aku hanya ingin membalas kebaikanmu ini. Semoga kamu tak salah paham dengan apa yang aku katakan," ucap Lionel.

"Tidak! Aku merasa terhormat mendapatkan undangan darimu. Tapi apa pantas aku yang miskin ini menginjakkan kaki di rumahmu? Aku takut akan membuatmu malu," sergah Ele.

"Apa yang harus aku malukan? Statusmu? Wajahmu? Tidak, Ele. Kamu cantik dan menarik. Manusia tak di nilai dari statusnya. Tapi dari hati dan kepribadiannya. Aku pun sama denganmu, tapi mungkin nasibku sedikit lebih beruntung." Lionel menyandarkan tubuhnya di sofa. Matanya menatap Selene dengan lembut. "Saat aku kecil, aku kehilangan orang tuaku. Aku di temukan oleh ayah angkatku dalam keadaan terluka parah dan amnesia. Aku sama sekalu tak ingat keluargaku, yang aku ingat hanya gambaran perang dan kobaran api di mana-mana. Selebihnya otakku tak mampu mengingatnya," papar Lionel.

Aime La Lune (Kisah Cinta Sang Bulan)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora