Bias Kama

25 11 19
                                    

Edmund terus berjalan menyusuri lorong dan masuk ke perpustakaan. Tempat di mana dia Selene pertama kali bertemu. Tempat yang menjadi saksi bisu hadirnya kama dalam asa yang terbuang. Pandangan matanya membaur pada setiap sudut ruangan sunyi itu, jejeran buku-buku yang di sukai Ele seolah terdiam menyaksikan kehadirannya. Mata Edmund masih mencari sisa-sisa bayangan Ele yang masih tertinggal.

"Sekarang ... tempat ini begitu sunyi. Tak ada lagi senyuman manismu yang aku lihat. Tempat di mana kita bertemu saat kali pertama." Edmund terduduk di lantai. Tubuhnya lunglai penyesalan sungguh tak berujung.

***

Seminggu sebelum pernikahannya, Edmund menemani Gracie melakukan fitting gaun pengantin di ibu kota. Sebenarnya dia malas melakukannya, hanya saja sang ibu mendesaknya. Matanya tertuju pada sebuah kereta kuda yang datang dan berhenti di seberang jalan. Dari dalamnya dia melihat sosok Selene dan Lionel yang turun lalu masuk kedalam gedung. Edmund tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, dia segera menyelinap dan mengikuti keduanya. Manik mata Ele dan Edmund bertemu, Ele paham kode yang di berikan oleh Edmund.

"Aku kebelakang sebentar," pamit Ele pada Lionel. Langkah kaki Ele berlomba dalam gegas, dia menuju lorong kecil antar gedung, di sana Edmund menunggunya. Tanpa pikir panjang Edmund langsung memeluk Ele yang ada di hadapannya, daya dorong yang dilakukan Ele tak membuat jarak di antara mereka. Edmund makin erat memeluknya. "Aku merindukanmu, Ele. Aku mencintaimu," lirih Edmund.

"Lepaskan aku, Tuan Muda. Bagaimana kalau ada yang melihat kita," elak Ele.

"Aku tak perduli," jawab Edmund cepat.

"Bagaimana kalau ...." Ele tak jadi melanjutkan ucapannya, dia membuang pandangannya kesembarang tempat. "Kalau apa, Ele? Kalau Duke tahu? Kamu takut tunanganmu tahu kalau aku memelukmu? Tidak! Jangan membuat jarak di antara kita makin menjauh, Ele," pinta Edmund.

Kali ini Ele berhasil mendorong tubuh Edmund menjauh darinya. "Lalu ... siapa yang akan kamu salahkan, jika waktulah yang memberikan jawabannya. Dia yang mengajarkan kita untuk saling melupakan. Jadi aku mohon ...." Lagi-lagi ucapan Ele terhenti, tangan Edmund menyentuh bibirnya, langkahnya makin merapat dan kini Ele terkunci di tembok. "Lupa? Apa kamu bisa melupakan ini, Ele?" tanya Edmund.

Perlahan-lahan bibirnya mendekati bibir manis Ele, tangan Edmund merangkul lehernya saat dia hendak menghindari serangan tadi. Kedua bibir mereka kini merapat, saling tekan dan menyesap. Ele tak sanggup menolaknya, tubuhnya kembali menghianati sukmanya. Seiring seirama bibirnya pun menari bersama bibir manis Edmund, deru nafas mereka makin memburu. Sulit bagi mereka untuk mulai melepaskan rasa manis itu. "Aku mencintaimu, Ele," bisik Edmund.

"Aku juga mencintaimu, Edmund. Ini tidak benar. Aku mohon bahagiakan perempuan itu sebagai gantiku, aku akan tetap di tempatku memandangmu. Lupakan aku, Ed. Lupakan cinta kita," isak Ele dan mulai menjauh.

Brug!

Tubuh Ele nyaris terjatuh menabrak seseorang saat berbalik dan berlari meninggalkan Edmund. Tangan kekar Lionel dengan sigap menangkap tubuh Ele. "Kamu tidak apa-apa, Sayang?" tanya Lionel lembut.

Mata Ele menatap Lionel, dia yakin sekali jika laki-laki itu melihat semuanya. Namun, Lionel masih bisa bersikap lembut padanya. Lionel menarik Ele dalam pelukannya, memberikan kekuatan pada gadis yang dipujinya. Di lain pihak matanya menatap tajam pada Edmund. Ini seperti genderang perang yang telah di tabuh dengan kencang. Beraninya bedebah ini mengusik, Selene-ku lagi, geram Lionel dalam hatinya. Dengan sabar Lionel membimbing Ele masuk kedalam kereta kudanya, mereka segera kembali ke Lienwoods sore itu juga.

***

Lionel hanya diam di sepanjang perjalanan hingga mereka masuk kekamarnya masing-masing, mereka hanya bicara lewat binar mata dan sentuhan. Mungkin butuh waktu untuk mereka -khususnya Selene- agar bisa melupakan cintanya pada Edmund.

Aime La Lune (Kisah Cinta Sang Bulan)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora